Oleh: EKA BUDIANTA
Penyair; Komunitas Penulis Deo Gratias;Â Pemenang Hadiah Nasional 2012
Sastrawan Taufiq Ismail tampil dengan daftar keÂbutuhannya. Sebelum 1930-an, lulusan sekolah menengah atas (AMS) minimal baca 25 novel, mengenal puisi, dan menulis 180 karangan dalam tiga tahun, atau lima tugas menulis dalam sebulan. Alhasil, kita mendapat pemimpin bangsa yang hebat, dengan pengetahuan luas dan kemampuan berbahasa yang prima.
Akan tetapi, “template†pendiÂdikan berbudi-bahasa itu tidak ada lagi sekarang. Padahal, kita tetap perlu generasi unggul sekualitas Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, Muhammad Yamin, dan Sutan Takdir Alisjahbana. Untuk itu, pendidikan sastra dan bahasa harus diperbaiki. Tanpa berpiÂjak pada ranah bahasa, kita akan terombang-ambing dalam gelomÂbang globalisasi yang melenyapÂkan jati diri bangsa. Begitu pikiran banyak penggiat bahasa.
Jadi, Badan Bahasa punya poÂsisi strategis dan tugas yang berat. Penyair F Rahardi mengusulkan agar posisi badan ini ditingkatÂkan. Syukur kalau bisa langsung di bawah Presiden. Mengapa? Karena selama di bawah menteri, badan ini tak berani menegur guÂbernur dan kementerian lain yang tertangkap mengabaikan pentingÂnya berbahasa dengan benar dan baik.
Harus Hadir
Lebih penting lagi kehadiÂran negara memang diharapkan di berbagai lini kehidupan berÂbangsa. Kita tahu Presiden Joko Widodo mengoptimalkan “kehadÂiran†ini, tidak terkecuali dalam pembangunan bahasa dan sastra Indonesia. Sudah bertahun-tahun negara abai pada persoalan-persoÂalan nyata di lapangan.
Ketika ada sekelompok funÂdamentalis menyerbu sebuah pembacaan puisi, negara tak ada di sana. Kita ingat Teater Koma asuhan N Riantiarno dicegah penÂtas di sejumlah kota juga tak ada pembelaan dari Badan Bahasa. Bahkan ketika seorang pegawai laboratorium divonis penjara 8 tahun gara-gara membaca novel Pramoedya Ananta Toer, negara seolah-olah tidak tahu.
Sekarang, kegiatan bahasa dan sastra berkobar-kobar dan berkiÂbar-kibar. Ajip Rosidi membuka pusat studi Sundanologi yang megah. Para sastrawan Sunda di Bandung berpikir pada 2055 (hanya 40 tahun lagi!) warga Jawa Barat akan lebih suka berkomuÂnikasi dalam bahasa daerahnya. Bahasa Indonesia semakin tidak menarik bagi mereka. Hal itu mencuat dalam Seminar InternaÂsional Indonesia-Malaysia di UniÂversitas Padjadjaran di Jatinangor, 19 September 2015.
Untunglah produk sastra naÂsional juga berlimpah ruah. Pada awal September, terkumpul 120 judul buku puisi terbitan tahun ini yang berlomba untuk menÂjadi antologi terbaik, menyambut Hari Puisi. Belum pernah bangsa kita “panen raya†karya sastra sedemikian melimpah. PersoalanÂnya, 99 persen karya itu terbit secara indie. Setiap orang bisa menulis dan menerbitkan buku dengan desain bagus dan dicetak terbatas secara digital di kedai fotokopi terdekat.
Akan tetapi, itulah kreativitas anak bangsa. Badan Bahasa haÂrus mencatatnya. Perpustakaan Nasional telah berperan optimal dengan memberikan ISBN (InterÂnational Standards Book Number) yang berlaku global. Itu sangat membantu memberikan legalitas, membuat setiap buku menjadi sah, resmi. Sekarang, apa peranÂan Badan Bahasa?
Adakah negara hadir, ikut merestui pemilihan buku terbaik itu? Seharusnya: ya! Dalam acara formal pemberian hadiah, juga hadir korps diplomatik. KedutaÂan Besar Perancis, Iran, Turki, dan banyak negara lain ikut meÂnampilkan data besar berikut puisinya. Dari Kementerian Luar Negeri pun mendukung dengan berbagai cara. Yang tidak terlihat adalah peranan Badan Bahasa.
Padahal, badan ini mestinya juga menangani penerjemahan. Banyak yang mengeluh minat baca dan menulis rendah bila diÂlakukan dalam bahasa Indonesia. Sementara minat menulis dalam bahasa Inggris dan membaca terÂjemahan bisa sangat tinggi. SasÂtrawan dan guru besar Sapardi Djoko Damono mengatakan remaÂja Indonesia bisa melahap novel Harry Potter yang tebalnya 600 halaman dalam tiga malam.
Badan Bahasa tidak boleh meninggalkan proyek besar pencerdasan bangsa melalui penÂerjemahan. Apalagi bulan depan Indonesia menjadi tamu kehorÂmatan dalam Pasar Buku InternaÂsional di Frankfurt, Jerman. RaÂtusan bahkan ribuan judul buku karya anak bangsa mendapat pelÂuang masuk ke pasar dunia.
Basis Komunitas
Lebih dari itu, Badan Bahasa wajib memperhatikan perkemÂbangan komunitas dan kegiatan bahasa-sastra di berbagai pelosok Tanah Air. Ada ribuan sanggar sastra, puisi, teater bertumbuh di daerah. Salah satu contoh adalah kegiatan Komunitas Sastra IndoÂnesia, yang dimotori oleh para penulis buruh sejak krisis monÂeter 1998. Sekarang komunitas itu sudah berkembang di lebih 70 kota dan beberapa kali mengadaÂkan musyawarah nasional.
Komunitas lain adalah pengÂgiat sastra cyber yang menjamur di dunia maya. Forum Lingkar Pena yang diasuh novelis Helvy Tiana Rossa memiliki lebih dari 4.000 pendukung. Sungguh baÂgus bila Badan Bahasa merangkul dan mendukung kegiatan komuniÂtas-komunitas sastra yang marak di internet. Sebaliknya, sudah wajar bila para penggiat juga menÂdukung pemerintah untuk memÂperjelas kehadiran negara.
Kita tidak menutup mata pada perusakan bahkan penghancuran praktik berbahasa dan bersastra yang muncul akibat lemahnya pendidikan di sekolah. Namun, kita juga percaya adanya daya lenting, daya juang kaum partikeÂlir di bidang perpustakaan, penuÂlisan, dan kegiatan sastra. (*)
Sastra dan bahasa Indonesia termasuk anggota baru di kalanÂgan bahasa dan sastra dunia. BaÂhasa dan sastra Inggris sudah dimÂulai sejak kisah-kisah Canterbury 1.000 tahun lalu. Novel Jepang juga sudah berkembang sejak Genji Monogatari belasan abad siÂlam. Tetapi, sastra Indonesia baru menggeliat berkat Azab dan SenÂgsara karya Merari Siregar, awal 1920-an, belum satu abad silam. Masih banyak kesempatan hidup dan berkembang. Kehadiran negÂara mungkin bisa jadi terobosan yang brilian. (*)