KALAU perebutan kekuaÂsaan dan jabatan adalah untuk penumpukan harta pribadi dan golongan, bagaimana mungkin ada keÂsatuan hati antara pejabat dan rakyat, antara pimpiÂnan dan yang dipimpin, antara yang berkuasa dan yang mewakilkan kuasa. Kalaulah kekuasaan dan jabatan itu untuk kemaÂslahatan umum, maka pemegang kekuasan dan jabatan itu tak hanya akan dinobatkan sebagai pemÂimpin melainkan juga sebagai guru dan orang tua.
Kini memang sulit menemukan pemimpin seperti Abu Bakar Asiddiq yang mengucapkan “Innaa lillaah” ketika dipilih dan diangkat menjadi khalifah. Tak diketemukan lagi pemimpin sekelas Umar bin Abdul Aziz yang menolak memakan makanan enak sebelum rakyatnya hidup nyaman dan makmur.
Yang menyolok mata kini adalah mereka yang berebut kuasa dan jabatan seakan dirinÂyalah yang pintar, layak dan kapabel untuk jadi pemimpin. Sementara yang lain penuh cacat dan kelemahan. Yang ramai kini mereka yang tertawa lebar dan bersorak bahagia ketika terÂpilih dan dilantik sembari menghina dan memuÂsuhi siapapun yang tak sejalan. Yang marak kini mereka yang berpesta di atas derita rakyatnya, menari di atas luka para pemilihnya. Rakyat kini bagaikan makmum yang telah kehilangan imam.