BOGOR, Today – Abah Sukardi kokolot (tetua adat) Kampung Urug Tonggoh, Desa Urug KeÂcamatan Sukajaya Kabupaten Bogor mengaku sangat malu menjadi kasepuhan Kampung Urug, karena kampung yang dikenal sebagai salah satu situs budaya adat tersebut sudah kehilangan maknanya. Semua tetekon (aturan) karuhun suÂdah ditinggalkan oleh para pemanggku adat. “Jangankan menjadi kokolot (tetua adat-red) jadi warga biasa saja saya merasa malu, apa lagi di perÂsimpangan jalan masuk tertulis besar sekali papan nama Situs Budaya Kampung Urug. Apa yang dibanggakan di Kampung Urug saat ini, tak ada bedanya dengan kampung-kampung lainya,†tegas Abah Ukar, beÂgitu dia biasa disapa.
Secara historis, lanjut dia, yang harus dipelihara dan dileÂstarikan dari para leluhur KamÂpung Urug adalah budaya perÂtanian, sebab kata Urug yang dibaca dibalik menjadi Guru sangat erat kaitannya dengan dunia tersebut. Hal ini tersirat dalam sejarah Kampung Urug yang selalu dikisahkan dalam setiap upacara Seren Taun. Menurut Abah Ukar, Nyi Sri PoÂhaci yang mendapatkan menÂstruasi pada hari Jumat, baru ketahuan pada hari Minggu oleh ayahnya (Eyang Prabu) keÂmdian darah tersebut baru disÂiram dan mengenai tanah pada hari Senin.
“Di Jumat warga Kampung Urug dilarang ke sawah atau ladang, hari Minggu tidak boÂleh mengurus padi di sawah dan di hari Senin sama sekali tidak boleh berhubungan dengan padi, baik di sawah maupun di rumah, nutu (meÂnumbuk padi) misalnya,†paÂparnya. Namun semua aturan yang pernah diwariskan itu sudah banyak yang dilanggar, diantaranya, tidak menanam padi berumur pendek seperti varitas sekarang ini, padahal leluhur kami mewajibkan menanam jenis padi Sri KunÂing, Pare Beureum Cempa, Kewal, Raja Wesi, Limar serta Ketang Gado yang umurnya diatas 5 hingga 7 bulan. Hal ini, lanjut Abah Kardi sangat berkaitan dengan kesuburan alam, juga padi tidak boleh diheueleur, masih mengurus padi di hari Jumat dan Senin serta yang lainnya.
“Beberapa dari kami (kasÂepuhan) sudah melakukan itu. Apa yang diwariskan para leÂluhur sudah banyak yang diÂlanggar. Dahulu warga kami menolak beras raskin, sekarang ini malah berebut,†ujarnya. Ukar berharap pihak Pemkab Bogor segera turun tangan mengatasi hal tersebut. DianÂtaranya dengan mengembaÂlikan Kampung Urug menjadi kampung adat sesungguhnya. Caranya dengan menjadikan Kampung Urug sebagai plasma nuftah varitas padi yang sekaÂrang ini masih ada. Agar kelesÂtarian benih padi tetap terjaga.
“Seperti di wilayah CianÂjur yang mengharuskan menanam padi varitas terÂtentu dan dibeli dengan harga mahal,â€pungkasnya. Namun tudingan dari Abah Ukar itu ditepisa Kasepuhan Cipatat KoÂlot, Abah Memed. Menurutnya khusus untuk dirinya, padi maÂsih ditumbuk, walaupun sudah tidak banyak lagi yang mau meÂnumbuk padi.
Sementara itu. Sekdes Urug Chandra mengungkapkan bahÂwa pihak Pemerintahan Desa sudah mengupayakan agar para kasepuhan menanam padi varitas asal dan menanam serempak. Saat dikumpulkan di kantor desa, mereka sepakÂat, namun dalam prakteknya tetap saja tidak sama terganÂtung ego mereka masing-masÂing. “Terus terang saja sebagai generasi muda yang lahir dan besar di Kampung Urug, saya merasa sangat prihatin kalau sebutan kampung budaya hanÂya sebatas papan nama saja, ruhnya sudah hilang tergerus jaman,â€pungkasnya.
(Dadang HP/Rifky Setiadi)