Untitled-6BOGOR, Today – Abah Sukardi kokolot (tetua adat) Kampung Urug Tonggoh, Desa Urug Ke­camatan Sukajaya Kabupaten Bogor mengaku sangat malu menjadi kasepuhan Kampung Urug, karena kampung yang dikenal sebagai salah satu situs budaya adat tersebut sudah kehilangan maknanya. Semua tetekon (aturan) karuhun su­dah ditinggalkan oleh para pemanggku adat. “Jangankan menjadi kokolot (tetua adat-red) jadi warga biasa saja saya merasa malu, apa lagi di per­simpangan jalan masuk tertulis besar sekali papan nama Situs Budaya Kampung Urug. Apa yang dibanggakan di Kampung Urug saat ini, tak ada bedanya dengan kampung-kampung lainya,” tegas Abah Ukar, be­gitu dia biasa disapa.

Secara historis, lanjut dia, yang harus dipelihara dan dile­starikan dari para leluhur Kam­pung Urug adalah budaya per­tanian, sebab kata Urug yang dibaca dibalik menjadi Guru sangat erat kaitannya dengan dunia tersebut. Hal ini tersirat dalam sejarah Kampung Urug yang selalu dikisahkan dalam setiap upacara Seren Taun. Menurut Abah Ukar, Nyi Sri Po­haci yang mendapatkan men­struasi pada hari Jumat, baru ketahuan pada hari Minggu oleh ayahnya (Eyang Prabu) ke­mdian darah tersebut baru dis­iram dan mengenai tanah pada hari Senin.

BACA JUGA :  Pj.Bupati Bogor : Peringatan Nuzulul Quran Jadi Refleksi Pengamalan Nilai Al Qur’an Dalam Kehidupan Sehari-Hari

“Di Jumat warga Kampung Urug dilarang ke sawah atau ladang, hari Minggu tidak bo­leh mengurus padi di sawah dan di hari Senin sama sekali tidak boleh berhubungan dengan padi, baik di sawah maupun di rumah, nutu (me­numbuk padi) misalnya,” pa­parnya. Namun semua aturan yang pernah diwariskan itu sudah banyak yang dilanggar, diantaranya, tidak menanam padi berumur pendek seperti varitas sekarang ini, padahal leluhur kami mewajibkan menanam jenis padi Sri Kun­ing, Pare Beureum Cempa, Kewal, Raja Wesi, Limar serta Ketang Gado yang umurnya diatas 5 hingga 7 bulan. Hal ini, lanjut Abah Kardi sangat berkaitan dengan kesuburan alam, juga padi tidak boleh diheueleur, masih mengurus padi di hari Jumat dan Senin serta yang lainnya.

“Beberapa dari kami (kas­epuhan) sudah melakukan itu. Apa yang diwariskan para le­luhur sudah banyak yang di­langgar. Dahulu warga kami menolak beras raskin, sekarang ini malah berebut,” ujarnya. Ukar berharap pihak Pemkab Bogor segera turun tangan mengatasi hal tersebut. Dian­taranya dengan mengemba­likan Kampung Urug menjadi kampung adat sesungguhnya. Caranya dengan menjadikan Kampung Urug sebagai plasma nuftah varitas padi yang seka­rang ini masih ada. Agar keles­tarian benih padi tetap terjaga.

BACA JUGA :  Restoran Ramen Populer di Bogor, Hotmen Puaskan Selera dan Perut Para Penggemar

“Seperti di wilayah Cian­jur yang mengharuskan menanam padi varitas ter­tentu dan dibeli dengan harga mahal,”pungkasnya. Namun tudingan dari Abah Ukar itu ditepisa Kasepuhan Cipatat Ko­lot, Abah Memed. Menurutnya khusus untuk dirinya, padi ma­sih ditumbuk, walaupun sudah tidak banyak lagi yang mau me­numbuk padi.

Sementara itu. Sekdes Urug Chandra mengungkapkan bah­wa pihak Pemerintahan Desa sudah mengupayakan agar para kasepuhan menanam padi varitas asal dan menanam serempak. Saat dikumpulkan di kantor desa, mereka sepak­at, namun dalam prakteknya tetap saja tidak sama tergan­tung ego mereka masing-mas­ing. “Terus terang saja sebagai generasi muda yang lahir dan besar di Kampung Urug, saya merasa sangat prihatin kalau sebutan kampung budaya han­ya sebatas papan nama saja, ruhnya sudah hilang tergerus jaman,”pungkasnya.

(Dadang HP/Rifky Setiadi)

============================================================
============================================================
============================================================