HEBOH pembalut wanita mengandung klorin—zat pemutih—mendapat reaksi beragam. Masyarakat minta Kemenkes segera melakukan audit produk. Sementara Kemenkes minta pihak Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menjelaskan temuannya yang memicu kontroversi di masyarakat.
YUSKA APITYA AJI ISWANTO
[email protected]
Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Maura Linda Sitanggang mempertanyakan metode penelitian yang dilakukan YLKI tersebut. “Sebaiknya YLKI memberikan klarifikasi atas temuannya. Jelaskan lebih detil wujud dan senyawa kimia dari klorin yang ditemukan itu,†kata Linda dalam acara konferensi pers di KeÂmenkes, Jakarta SeÂlatan, Rabu(8/7/2015).
 Menurut Linda, selama ini pihaknya selalu melakukan pengujian ulang terus menerus terhadap pembalut yang ada di pasaran. Karena itu, YLKI juga perlu menjelaskan senyawa klorin jenis apa yang ditemukan dalam penelitiannya. “Wujudnya seperti apa? Apakah ion atau gas?†kata Linda.
Berdasarkan hasil sampling yang dilakukan terhadap pembalut peremÂpuan yang beredar di pasaran sejak 2012 hingga pertengahan 2015, menuÂrut Linda, Kemenkes tidak pernah menÂemukan pembalut wanita yang tidak memenuhi syarat.
Dalam memberikan izin edar, KeÂmenkes mewajibkan setiap pembalut perempuan memenuhi persyaratan sesuai dengan SNI 16-6363-2000. PerÂaturan ini meliputi tentang daya serap minimal sepuluh kali dari bobot awal dan tidak berfluoresensi kuat. “PenÂgujian dilakukan di laboratorium yang terakreditasi antara lain PPOMN dan Sucofindo,†kata Linda.
Aturan fluoresensi kuat sendiri, katanya, juga selalu dilakukan dalam proses pengujian sampling pemÂbalut wanita. “Fluoresensi adalah uji yang dilakukan untuk melihat adÂanya klorin dalam pembalut,†katanya.Namun, sejauh ini, Linda menegaskan pihaknya belum pernah menemukan adanya pembalut atau pantyliner yang mengandung zat berbahaya klorin sepÂerti yang ditemukan YLKI. “Perlu dipaÂhami bahwa yang berbahaya adalah gas klorin atau Cl2. Sementara ion klorÂin tidak berbahaya karena ada dalam tubuh manusia juga. Klorin tidak berÂbahaya misalnya ada dalam garam atau NaCl,†kata Linda.
Seperti diberitakan sebelumnya, hasil penelitian YLKI menyebutkan bahÂwa pembalut yang mengandung klorin paling banyak adalah merek CHARM dengan 54,73 ppm. Di bawahnya, Nina Anion di posisi kedua dengan kandunÂgan klorin sebanyak 39,2 ppm.
Merek My Lady berada di posisi keÂtiga dengan kandungan klorin 24,4 ppm dan menyusul di bawahnya VClass Ultra dengan 17,74 ppm. Sementara itu, KoÂtex, Hers Protex, LAURIER, Softex, dan SOFTNESS juga masuk dalam daftar dengan kandungan klorin 6-8 ppm.
Selain pembalut, penelitian YLKI tersebut juga mengungkapkan bahwa kandungan klorin juga ditemukan pada tujuh merek pantyliner, yaitu V Class, Pure Style, My Lady, Kotex Fresh LinÂers, Softness Panty Shields, CareFree superdry, LAURIER Active Fit.
Tentang paparan nilai klorin dari data YLKI, yaitu 5-55 ppm (part per milÂlion), Menteri Kesehatan Nila Moeloek juga menegaskan bahwa kandungan ini masih dalam ambang batas aman.
Namun temuan YLKI ini telah memÂbuat geger seluruh wanita di Indonesia. “Ya, saya was-was. Apalagi saya pakai merek CHARM. Nggak mungkin juga kan pindah pakai pampers. Ini harusÂnya disikapi serius oleh Kemenkes,†kata Eka Ardhinie(25), warga PerumaÂhan Villa Mutiara, Kelurahan MekarÂwangi, Tanahsareal, Kota Bogor, Rabu (8/7/2015).
Eka yang dosen Sastra Inggris UniÂversitas Gunadharma Depok itu juga telah menyurati Kemenkes agar segera melakukan audit produk. “Minimal ada revisi dalam quality control produk pembalut. Saya sudah surati Menkes melalui email Kemenkes,†kata dia.
Terpisah, penulis buku dan praktisi kesehatan, Handrawan Nadesul, menÂgatakan penggunaan pembalut berpeÂmutih bisa mempengaruhi kesehatan daerah kewanitaan. Dokter yang juga dikenal sebagai motivator kesehatan ini mengungkapkan, pembalut wanita bisa menimbulkan berbagai penyakit.
Menurut Handrawan, ketika wanita memakai pembalut yang mengandung dioksin, senyawa kimia dalam dioksin itu akan menguap. Dioksin berasal dari klorin. “Zat-zat itu menempel pada leÂmak-lemak di sekitar area kewanitaan,†katanya, Rabu (8/7/2015).
Handrawan mengatakan, zat-zat yang telanjur menempel pada lemak di sekitar daerah kewanitaan itulah yang menyebabkan wanita rentan terkena kanker serviks. Dioksin dari pembalut tidak hanya akan menempel pada leÂmak di sekitar daerah kewanitaan, tapi juga kandung kemih dan usus.
Ia menegaskan, penggunaan pemÂbalut berklorin berpotensi menyebabÂkan kanker kandung kemih dan kanker usus. Handrawan menyarankan wanita mengganti pembalut dengan
kain, khususnya handuk, yang suÂdah jelas aman. Tapi ia setuju bahwa daya serap pembalut memang lebih dahsyat. “Klorin itu terdapat dalam dioÂksin yang bersifat karsinogenik. MenuÂrut WHO, ada 52 juta yang berisiko terkena kanker serviks, salah satunya dipicu oleh zat-zat dalam pembalut,†ujar Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, Rabu (8/7/2015).
Dilansir dari laman resmi Centers for Disease Control and Prevention (CDC), klorin merupakan salah satu baÂhan kimia yang paling sering diproduksi di Amerika Serikat. Bahan kimia ini banyak digunakan dalam industri dan ditemukan di beberapa produk rumah tangga. Namun, klorin kadang-kadang ditemukan dalam bentuk gas beracun.
Penggunaan klorin yang paling penting adalah sebagai pemutih dalam pembuatan kertas dan kain, tetapi juga digunakan untuk membuat pestisida (pembunuh serangga), karet, dan pelarut.
Klorin digunakan dalam air minum dan air kolam renang untuk membunuh bakteri berbahaya, juga digunakan sebÂagai bagian dari proses sanitasi limbah industri. Klorin dapat memengaruhi keÂsehatan, tergantung pada tingkat dan durasi paparan. Klorin bersifat korosif dan mengiritasi pada mata, kulit, dan saluran pernapasan bila berbentuk gas atau cair.
Salah Kemenkes
Pihak YLKI menyatakan, beredarÂnya sembilan merek pembalut wanita dan tujuh merek pantyliner yang menÂgandung klorin tak sepenuhnya kesÂalahan produsen. Kesalahan pertama justru ada pada Kemenkes yang tidak pernah membuat standar keamanan terhadap alat kesehatan rumah tangÂga. “Padahal itu hal yang sangat menÂdasar,†ujar anggota Pengurus Harian YLKI, Lilyani Sudrajat, Rabu(8/9/2015).
YLKI melakukan pengujian kadar klorin selama Januari-Maret 2015 di laboratorium independen terakreditasi dengan mengambil sampel pembalut dan pantyliner yang dijual di retail modern (supermarket).
Hasil pengujian lab menunjukkan seluruh sampel mengandung klorin dengan rentang 5-55 ppm yang berisiko menyebabkan keputihan, iritasi, bahkan kanker leher rahim dan kemandulan.
Selama ini, Kementerian Kesehatan hanya membuat pedoman umum terÂkait dengan pengamanan bahan berbaÂhaya bagi kesehatan melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 472/MENKÂES/PER/V/1996. Aturan itu pun dirasa Lilyani sudah perlu penyesuaian karena sudah sekian lama tidak direvisi.
Dalam aturan tersebut, klorin diseÂbut sebagai bahan beracun dan menÂgakibatkan iritasi. Namun Kemenkes tidak memiliki beleid khusus yang menÂgatur kadar maksimum klorin dalam produk sehingga menyulitkan pengusaÂha dalam proses produksi.
Kementerian Kesehatan juga diniÂlai Lilyani tidak mempunyai pagar legal untuk mencegah dan menanggulangi produk berklorin di pasaran. KewenanÂgan pencegahan dan penanggulangan selama ini hanya ada pada Badan PenÂgawas Obat dan Makanan. Tujuannya, ketika ada temuan produk berbahaya, lembaga tersebut bisa bergerak cepat untuk menindak. “Saya rasa Kemenkes bisa mempertimbangkan pembentuÂkan satuan tugas seperti BPOM, karena mereka tidak punya penyelidik PNS dalam kasus ini,†tutur Lilyani. (*)