Makanan tradisional berbahan dasar tepung ketan dan sagu, mochi, dan cilok alias ‘aci dicolok’ memang digemari banyak kalangan. Terlebih, kedua makanan ini dapat divariasikan dengan aneka rasa dan bahan. Hasilnya moci dan cilok menjadi santapan lezat dan kekinian.
Oleh : Apriyadi Hidayat
[email protected]
Kesuksesan seseorang berbisnis kuÂliner memang bisa berawal dari kreatif melakukan inovasi produk. Cara ini pula yang dilakukan ImanÂuddin dalam membesarkan Kedai Mochilok. Di kedainya, pria yang akrab disapa Iman ini menjual camilan aci dicolok alias cilok dengan kemasan dan citra rasa baru serta moci aneka rasa hasil inovasinya sendiri.
Lazimnya, camilan cilok hanya dikukus atau digoreng. Tapi, cilok khas Iman yang diberi brand Mochilok ini disajikan dengan perpaduan resep olahan. Cilok ini disajikan dengan cara dibakar terlebih dahulu kemudian dibaluri denÂgan bumbu barbekyu. Lalu dilumuri saus samÂbal dan mayones. Maknyus.
Sementara moci buatannya diisi dengan es krim sembilan rasa seperti rasa taro, green tea, stroberi, cokelat dan lainnya. Kreativitasnya membuat cilok dan mochi inovasi mengantarÂkan Imanuddin menjadi juara I Program WiÂrausaha Muda Mandiri (WMM) 2014 kelompok pascasarjana dan alumni kategori boga.
Keberhasilan Iman melakukan inovasi cilok, boleh dibilang berawal dari coba-coba. Dia berkisah, pada Januari 2012, ia terinspirasi membuat usaha camilan yang sudah popular di masyarakat, namun dibuat versi inovasi baru.
Dari situ, Iman mulai mendata menu makanÂan yang sudah tidak asing di telinga dan digeÂmari oleh masyarakat. Pilihannya, akhirnya jatuh pada dua menu jajanan yang sudah akrab bagi masyarakat, yakni moci dan cilok.
Dengan bermodal uang Rp 5 juta, Imanuddin membeli bahan baku moci dan cilok, kompor dan freezer. Dia melakukan banyak percobaan untuk menciptakan aneka rasa moci dan cilok. “Selama enam bulan, saya banyak gagal mencipÂtakan inovasi rasa dua camilan ini,” kata dia.
Saat itu terlintas dalam pikirannya bahwa usahanya akan gagal. Namun pria satu anak ini kembali memberanikan diri untuk terus membuat resep sampai berhasil. Awalnya dia melakukan tes pasar dengan menjual moci es krim dan cilok bakar inovasinya di depan teras rumah kakak iparnya di Bandung.
Lokasi usahanya ini berada di gang sempit yang hanya bisa dilalui oleh sepeda motor dan pejalan kaki. “Karena belum punya cukup uang untuk sewa tempat jadi saya pakai teras rumah kakak ipar untuk buka usaha,” sebutnya.
Nyatanya, camilan yang dia beri nama MoÂchilok ini cukup laris. Hasil produksi 100 buah moci dan 50 buah cilok habis terbeli dalam tiga hari penjualan perdana. Sebab, wilayah itu adalah kawasan kos-kosan mahasiswa, jadi raÂmai. “Hingga sempat dikomplain tetangga kareÂna area rumah dipenuhi motor dan kunjungan pembeli menimbulkan kemacetan,” ujarnya.
Kini, Iman mengaku telah punya enam geÂrai Mochilok. Tiga gerai di antaranya berada di Bandung, selebihnya Jakarta dan Cianjur. DenÂgan strategi promosi melalui media sosial dan reseller, Mochilok semakin dikenal masyarakat luas. Dia juga menawarkan kemitraan usaha unÂtuk mengembangkan usahanya ini.
Bahkan, yang membuatnya bangga, cilok yang dulu dikenal jajanan kalangan bawah telah digemari oleh pelanggannya dari berbagai lapisan masyarakat. Pembelinya sudah hampir menyebar di seluruh Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Lampung, Medan, Bali, dan Makassar.
Iman mengklaim kini mochilok buatannya pernah dipesan wisatawan asing dari Jerman, Polandia, dan Swedia yang singgah di Bandung. “Saya bangga bisa memperkenalkan mochilok. Respon turis asing sangat bagus, karena mereka suka,” imbuh Iman.
Kini, dalam sehari, Iman bisa memproduksi 3.000 mochilok. Harganya Rp 2.000−Rp 5.000 per buah. Dengan harga jual terjangkau, Iman mengaku bisa mengantongi omzet Rp 5 juta per hari. Alhasil dalam sebulan, Iman bisa menganÂtongi omzet sekitar Rp 150 juta. (KTN)