Opini-2-Agus-Pakpahan

APA makna kebakaran hutan dan lahan sebagaimana yang terjadi dewasa ini? Apakah ada faktor kesengajaan, termasuk pembiaran, sehingga kebakaran hutan di Indonesia terus terjadi?

Oleh: AGUS PAKPAHAN
Ekonom Kelembagaan

Kalau jawabannya “ya” ada faktor kes­engajaan termasuk pembiaran di dalam­nya, maka tingginya peradaban kita yang sering kita agungkan itu sedang berada dalam kancah pengujian yang serius tentang kebenarannya. Diperlukan ribuan tahun untuk suatu permukaan bumi mencapai status klimaks dari hutan alam tropika sebagaimana yang terjadi pada hutan-hutan alam di Suma­tera, Kalimantan, atau Papua se­belum mereka dikonversi menjadi lahan-lahan budidaya, seperti per­tanian, perkebunan, hutan tana­man industri, atau pertambangan dan wilayah permukiman. Seba­liknya, untuk mengubah hutan-hutan alam tropika klimaks terse­but menjadi jenis penggunaan lain dengan cara membakarnya secara membabi-buta, hanya diperlukan waktu sekejap.

Perubahan hutan untuk peng­gunaan lain tidak didorong oleh motivasi alamiah, melainkan untuk tujuan ekonomi. Apakah motivasi ekonomi selalu tidak kompatibel (incompatible) dengan motivasi alamiah? Konsep pembangunan berkelanjutan mencoba mensink­ronkan kedua motivasi tersebut me­lalui, antara lain, penetapan batas ambang sistem alam/ekologis yang tidak boleh dilampaui. Konsep car­rying capacity dari suatu ekosistem merupakan ilustrasi penerapan batas ambang dari ketahanan alam dalam memikul beban ekonomi yang dikenakan kepadanya.

Instrumen ekonomi juga sering diterapkan agar perilaku manusia dalam mengeksploitasi sumber daya alam/lingkungan ti­dak mencapai batas ambang alami tersebut. Instrumen ekonomi me­liputi, antara lain, kontrol perilaku ekonomi melalui mekanisme harga atau biaya termasuk sistem pajak atau insentif/disinsentif lain­nya. Jadi, motivasi ekonomi dalam suatu negara yang beradab tidak­lah mengikuti demokrasi ekonomi model–yang kuat maka merekalah yang menjadi pemenang.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Dengan pengetahuan bahwa masa pemulihan kerusakan hutan itu memerlukan ribuan tahun, se­dangkan masa perusakan hutan hanya memerlukan waktu seke­jap, sudah sepantasnya kita meli­hat kebakaran hutan dan lahan ini bukan lagi sekadar pertimbangan untung-rugi berdasarkan sudut pandang ekonomi, melainkan kita tempatkan di dalam ruang-lingkup peradaban umat manusia di muka bumi ini. Modal atau dana bisa milik pengusaha yang kaya raya, tapi alam sebagai sistem pendu­kung kehidupan adalah milik umat manusia dan makhluk hidup lainnya, baik yang hidup sekarang maupun yang akan datang.

Apakah menghentikan keba­karan lahan dan hutan ini masih memerlukan masa tunggu sampai dua atau tiga generasi yang akan datang? Kalau jawabnya “ya”, maka kemungkinan besar Indone­sia sudah berubah menjadi “pulau-pulau gurun pasir” dan peradaban Nusantara akan segera punah.

Mari kita renungkan, apakah pengetahuan tentang kepuna­han peradaban hanya ungkapan rasa ketakutan saja? Apabila kita menerima sejarah sebagai pen­getahuan, maka tentu kejadian kepunahan suatu peradaban di masa lalu perlu menjadi sumber pembelajaran bagi kita. Kisah Nabi Nuh menggambarkan betapa dah­syatnya air menjadi zat pemusnah.

Dalam berbagai publikasi, se­bagaimana halnya dengan banjir, kita bisa belajar bagaimana keba­karan hutan mengubah alam. C.W. Lowdermilk dalam bukunya Con­quest of the Land Through Seven Thousand Years (1948) mengisah­kan bagaimana kita dapat belajar dari peradaban kuno yang hancur akibat marahnya api-tanah-air ini.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Salah satu bagian dari buku Lowdermilk yang perlu menjadi bahan pemikiran kita bersama adalah punahnya 100 kota di ba­gian utara Syria, yaitu wilayah an­tara Hama, Aleppo, dan Antioch. Penyebab kepunahan 100 kota itu adalah erosi tanah sebagai dam­pak dari pembukaan lahan oleh suku Semit untuk membangun pertanian di bagian pantai timur Mediterania dan mendirikan kota pelabuhan Tyre dan Sidon. Erosi tanah tersebut “mematikan” wilayah-wilayah di mana erosi itu terjadi. Hutan hancur, tanah hancur, dan kota-kota mati. Per­adaban pun akhirnya terkubur.

Apa relevansinya uraian di atas? Motivasi ekonomi yang berkem­bang selama ini telah mengalahkan kearifan bangsa Indonesia seb­agaimana tecermin dalam berbagai ajaran nenek-moyang kita yang sangat mencintai alam sekitarnya. Pembakaran hutan untuk mem­bangun perkebunan atau hutan tanaman industri (HTI) bertentan­gan dengan nilai-nilai luhur yang telah diajarkan kepada kita. Hilan­gnya nilai luhur pertanda hilangnya peradaban yang luhur pula.

Apa kata dunia ketika mereka tahu bahwa tren harga minyak kelapa sawit terus menurun, tapi pada saat yang bersamaan kita membakar lahan dan hutan yang tak ternilai? Kita diperangkap oleh bayang-bayang nilai ekonomi konversi hutan yang sangat besar nilainya. Belenggu itu sangat kuat. Hanya dengan kehadiran seorang hero, social trap dapat diatasi, menurut Platt dalam tulisannya Social Traps (1973). Semoga hadir para hero yang memiliki api nura­ni yang bisa dan kuat mematikan bara keserakahan perusak tanah-air Nusantara. (*)

============================================================
============================================================
============================================================