DALAM Konferensi Ketua Parlemen Dunia IV yang digelar di New York pada 31 Agustus-2 September 2015, yang kebetulan dihadiri Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai panelis, pemimpin parlemen Kenya, J. Muturi, mengatakan banyaknya penyelewengan yang dilakukan sejumlah legislator, seperti korupsi, telah membuat masyarakat makin antipati terhadap parlemen.
Oleh: FRANSISCA AYU KUMALASARI
Alumnus Fakultas Hukum UGM
Kritik Muturi tampakÂnya hanya hiasan kata-kata yang membentur dinding. Buktinya, di tengah agenda kenegaÂraan tersebut, Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon tiba-tiba ikut menghadiri kampanye kandidat Presiden AS dari Partai RepubÂlik, Donald Trump. Kehadiran Novanto dan Fadli itu oleh banÂyak kalangan dianggap melangÂgar etika. Sejumlah anggota DPR membawa kasus itu ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) karena keduanya dianggap telah melangÂgar ketentuan yang diatur dalam Pasal 292 Tata Tertib DPR tentang Kode Etik, yang menyebutkan seÂtiap anggota DPR harus menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPR. Bukan hanya itu, kedua pemimpin DPR itu diduga telah melanggar Pasal 1 sampai 6 tentang Kode Etik yang memerÂintahkan anggota DPR mengutaÂmakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi.
Kenapa melanggar etika? SeÂlain karena pertemuan tersebut bagi publik di luar agenda lawatan DPR, Novanto dan Fadli bertemu dengan calon Presiden Amerika Serikat yang tengah menggalang simpati dan dukungan publik. Dalam video yang bisa kita saksiÂkan di YouTube, pada waktu itu Trump sebenarnya sudah menyÂelesaikan sesi jumpa persnya yang antara lain membahas bagaimana daya tahan ekonomi AS menghaÂdapi pengaruh ekonomi dari Cina dan bagaimana Amerika Serikat tidak akan terpengaruh.
Setelah turun dari podium, Trump berjalan ke arah kiri, menÂemui sekumpulan pendukungnya sambil melambaikan tangan. Lalu ia mendekat ke beberapa orang dan disodori selembar kertas. Ia pun kembali lagi ke podium, dan kali ini bersama Novanto. Novanto tampak tersenyum kecil. Dalam momentum itulah Trump memÂperkenalkan Novanto sembari menepuk pundak Ketua DPR itu: “Hey ladies and gentlemen, this is a very amazing man. He is as you know…the speaker of the House of Indonesia. He’s here to see me, Setya Novanto.†Trump memuji Novanto sebagai “one of the most powerful men and a great man… and his whole group is here to see me todayâ€. Trump lalu menoleh ke Novanto. “And we will do great things for the United States, is that correct?†Kepala Trump menÂgangguk seolah-olah meminta persetujuan. Novanto tersenyum dan menatap Trump sambil menÂjawab, “Yes.†Persis di belakang mereka, ada Fadli Zon yang ikut tersenyum.
Dalam pertemuan yang disiarÂkan langsung oleh televisi AmeriÂka Serikat itu, Trump mengucapÂkan: “Novanto one of the most powerful men and a great man… and his whole group is here to see me today. And we will do great things for the United States.†Ada dua poin yang patut digarisbawaÂhi. Pertama, Novanto dianggap sebagai orang berpengaruh dan masyarakat Indonesia, menurut Novanto, mencintai Trump.
Ini secara tak langsung menunÂjukkan bahwa Novanto memakai kehadiran dan posisinya sebagai Ketua DPR untuk mendukung sikap dan kebijakan Trump. PaÂdahal opini Trump kerap kontroÂversial dan bertentangan dengan prinsip dan nilai-nilai kebangsaan kita. Ia pernah menyebut kaum imigran di Meksio sebagai kaum pemberontak dan pemerkosa. Trump juga adalah raja kasino dan pencetus penyelenggaraan kontes Miss Universe-acara yang diprotes kaum agamawan di Indonesia.
Kedua, kalimat “we will do great things for the United Statesâ€, yang terjemahannya “kami akan melakukan banyak hal hebat untuk Amerika Serikatâ€, membikin kita bertanya. Masak, seorang Novanto disuruh berkomitmen bagi kejayÂaan AS, atau bahkan untuk seorang Trump? Kepentingan Indonesia di mana posisinya? Meski sebatas kampanye, artikulasi tersebut bisa saja memantik kecurigaan: jangan-jangan ada agenda lain di balik perÂtemuan tersebut. Apalagi Trump dalam waktu dekat akan berinÂvestasi di Bali dan Bogor. Ditambah pula bahwa, konon, pertemuan Novanto dan Trump difasilitasi oleh pengusaha Hary TanoesoediÂbjo, yang tentu mempunyai keÂpentingan bisnis. Jika ini benar, tuntutan agar MKD segera memerÂiksa Novanto dan Fadli menjadi relÂevan untuk mencari tahu apa motif pertemuan tersebut. Juga meminta pertanggungjawaban Rp 4,6 miliar dana kunjungan yang sangat tidak masuk akal dan penuh pemboÂrosan itu.
Selama ini, DPR selalu diseÂbut-sebut sebagai lembaga yang dipersepsikan terkorup oleh masyarakat-bersama partai poliÂtik, lembaga peradilan, dan keÂpolisian. Ini bukan tanpa alasan. Bayangkan saja, belum satu tahun DPR 2014-2019 bekerja, sudah ada satu anggotanya yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain itu, DPR tetap mempertonÂtonkan ketidakpekaan nuraninya dengan mengajukan anggaran pembangunan Kompleks ParleÂmen yang menelan biaya sekiÂtar Rp 1,6 triliun. Pada saat yang sama, Dewan Perwakilan Daerah ingin melanjutkan rencana memÂbangun kantor perwakilan di daeÂrah yang tentu saja makan dana tak sedikit.
Padahal masyakat saat ini seÂdang bersedu-sedan, terutama karena efek perlambatan ekoÂnomi. Gelombang pemutusan hubungan kerja serta kenaikan harga bahan pokok pun mulai merebak di mana-mana. DPR mestinya lebih menyuarakan perÂgumulan rakyat ketimbang mengÂhitung-hitung kepentingannya sendiri. Inilah gejala demokrasi yang ke-PD-an, saat para politiÂkusnya berlomba-lomba berbuat sesuatu karena merasa memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja, termasuk mengajukan angÂgaran irasional, studi banding ke mana dan tentang apa saja, bebas bertemu dan “berdiplomasi†denÂgan siapa dan tentang apa saja, tanpa peduli muruah bangsa. PaÂdahal, menurut Nurcholis Madjid, salah satu tatanan yang berguna untuk memperkuat bangunan deÂmokrasi ialah kebebasan nurani, juga persamaan hak dan kewaÂjiban bagi semua orang (egalitariÂanisme). Nurani harus menjadi patokan mutlak dalam bersikap agar nilai egalitarianisme dapat diwujudkan. (*)