jaksa-agung_0JAKARTA TODAY– Sudah dua ta­hun Jaksa Agung Muhammad Pra­setyo memimpin korps Adhyaksa. Selama itu pula, gebrakan yang diharapkan bisa menaikan pamor kejaksaan dalam memberantas ko­rupsi masih dipertanyakan.

“Kita bingung apa gebrakan yang dibuat oleh Prasetyo,” kata anggota Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter dalam diskusi Catatan Terhadap Kejak­saan RI di kantornya, Jalan Kalibata Timur, Jakarta Selatan, kemarin.

Lola menilai saat ini banyak perkara yang mandek di kejaksaan. Kasus-kasus besar yang menjadi perhatian publik seperti Setya No­vanto, dan Riza Chalid, hingga saat ini belum tampak kejelasannya. Selain itu, kejaksaan juga memiliki tunggakan eksekusi untuk perkara korupsi seperti kasus Bantuan Li­kuiditas Bank Indonesia dan Cessie Bank Bali (BLBI).

BACA JUGA :  Hampir 5.000 Pemudik Mulai Datangi Kawasan Jakarta

Menurut Lola, kejaksaan sangat lambat menangani kasus BLBI. Up­date terakhir kali adalah Kejaksaan Agung berhasil memulangkan terpi­dana kasus BLBI Samadikun Hartono. Namun, hingga hari ini, belum jelas soal penggantian kerugian negaranya.

Selain itu, Lola menganggap Kejak­saan Agung kurang transparan dalam memberikan informasi terkait peny­elamatan aset negara. Menurut dia, pidana uang pengganti harus benar-benar dieksekusi karena berkaitan dengan pembayaran kerugian negara. “Kalau sampai itu eksekusi tidak berja­lan, negara akan tekor,” kata dia.

BACA JUGA :  Bejat, Ayah Perkosa Anak Kandung di Serang hingga Hamil dan Melahirkan

Sementara itu, Hasil temuan ICW besaran kerugian negara di se­mester 1 tahun 2016 mencapai Rp 1,4 triliun. Dari total tersebut ada sekitar Rp 400 miliar yang belum dibayarkan.

Indonesia Corruption Watch menilai vonis hakim semakin men­guntungkan pelaku korupsi. Hal itu terlihat dari hasil kajian dan peman­tauan yang dilakukan ICW sepan­jang Januari-Juni 2016.

Anggota Divisi Hukum dan Mon­itoring ICW, Aradila Caesar, men­gatakan sebagian besar koruptor hanya mendapatkan hukuman rata-rata 2 tahun 1 bulan penjara. “Ada kecenderungan hakim hanya me­milih hukuman minimal,” katanya di kantor ICW, Jakarta, kemarin.

============================================================
============================================================
============================================================