Untitled-12PERJANJIAN Pajajaran – Portugis dan pemban­gunan benteng di Sunda Kalapa, segera memicu kecurigaan besar. Terutama dari Pangeran Trenggono. Pembangu­nan benteng itu, diang­gap akan menghambat kepentingan ekspor dan perdagangan laut Demak.

Oleh : Bang Sem Haesy

KABAR yang bertiup dan sam­pai kepada Trenggono me­mang pantas mengusik, karena perdamaian yang terjadi antara Portugis dengan Pasai sebelumn­ya, dianggap sebagai penaklukan atas Pasai. Jadi, bila Sunda Kelapa juga terkuasai oleh Por­tugis, maka sempurnalah tiga pelabuhan utama jalur lintas perdagangan interna­sional ke Eropa dan Afrika (Pasai, Melaka, dan Sunda Kelapa) berada dalam pen­guasaan Portugis.

Konsentrasi Prabu Sura­wisesa membangun Pakuan dan mengembangkan produk­si pertanian, dianggap sebagai pembiaran bagi berkuasanya Portugis. Pangeran Treng­gono mempersiapkan angkatan lautnya, untuk membebaskan Sunda Kelapa. Sabrang Lor ikut ambil bagian dengan sikapnya yang grasa-grusu. Pangeran Trenggono menugaskan Wong Agung Pasai untuk bertindak, menyerbu Sunda Kelapa.

Tindakan itu dilakukan, ka­rena Pangeran Trenggono men­ganggap penguasaan Portugis atas Pasai dan Sunda Kelapa dengan sendirinya akan mem­buat para pedagang dari Arab, Persia, dan China mengalihkan orientasinya ke wilayah lain. Pembebasan atas Sunda Kelapa dan Pasai, merupakan pilihan strategis untuk menarik minat para pedagang itu, langsung ber­hubungan dagang via Pelabuhan Banten.

BACA JUGA :  Menu Makan Siang yang Sederhana dengan Telur Puyuh Balado Bumbunya Meresap

Penyerbuan dilakukan dalam pergerakan serempak dari Barat dan Timur, yaitu Ban­ten, Cirebon, dan Demak. Sunda Kalapa berhasil dikuasai pasu­kan gabungan Banten, Cirebon, dan Demak. Prabu Surawisesa bereaksi, tetapi terhenti ka­rena teringat pesan mendiang ayahnya untuk tidak melakukan perang saudara dengan Banten dan Cirebon.

Pasukan Pajajaran menjaga wilayahnya melalui formasi ling­kar uga dan poros melintang dari Cikeas sampai Parung, disertai dengan pertahanan pasukan dari Indraprasta dan Tanjung Barat. Kelak, pasukan Portugis dipimpin Francisco de Sa mel­akukan serangan balik (30 Juni 1527) dan menguasai muara Cisa­dane yang kemudian berubah nama menjadi Rio de Sa Jorge. Brigade yang menguasai wilayah ini, kemudian dipimpin oleh Du­arte Coelho.

Tahun ini juga (1527) Sun­da Kelapa takluk, ketika Coe­lho meninggalkan Sunda Kalapa yang kemudian dipimpin oleh Wong Agung Pasai bergelar Adi­pati Sunda Kalapa. Banten dan Cirebon bergabung dengan De­mak, dan berhasil menguasai Sunda Kelapa memicu aksi pem­berontakan yang digerakkan Ratu Galuh Jayaningrat.

BACA JUGA :  Resep Membuat Cah Kangkung Saus Tiram yang Lebih Sedap Bikin Ketagihan

Mereka mengganggap, sepeninggal Prabu Siliwangi, Prabu Surawisesa berstatus sama dan setara dengan mereka. Lalu, Ratu Galuh Jayaningrat menghidupkan ‘hak historis’ dan menuntut kepada Cirebon untuk mengirim upeti kepadanya. Cire­bon menolak. Tahun 1528, pasu­kan Galuh menyerang Cirebon, tapi dihadang oleh Adipati Kun­ingan – Suranggajaya.

Prabu Surawisesa berusaha keras mengendalikan situasi, tapi tak berhasil. Harewosan (ru­mors) tentang melemahnya Pa­jajaran, menyebar ke berbagai wilayah lain. Peringatannya ten­tang masih banyak rakyat yang sengsara, tak digubris.

Para pujangga dan juru pan­tun, mengekspresikan dengan lirih situasi ini: “.. kiwari geunin­gan sagala gati. Bongana pahiri-hiri. Parebut dipayung tangtung. Pagirang-girang tampiyan. Calik girang gede ajang. Naha alok henteu nyaho, somah nu lara balangsak. [..kini semua berda­rah-darah. Saling iri hati. Saling berebut kebesaran. Berebut reje­ki. Berebut pangkat dan kedudu­kan. Merasa paling bersih. Jan­gan berpura-pura pada fakta sosial masih banyak rakyat yang hidup menderita – sengsara]. (*)

============================================================
============================================================
============================================================