Oleh: HARYONO SUYONO
Penulis adalah mantan Menko Kesra dan Taskin RI.

Alasannya, antara lain karena tidak tepatnya sasaran, tidak adanya keterpaduan lokasi, waktu dan lemahnya koordinasi antarprogram dan ke­giatan antara pemerintah pusat dan daerah yang belum selaras.

Di samping itu diakui masih adanya social exclusion atau mar­ginalisasi pada penerima program penanggulangan kemiskinan dan beberapa sebab lain yang biarpun akibatnya tidak terlalu tinggi ber­skala nasional, namun bisa meng­ganggu skala lokal.

Dalam paparan lainnya, se­cara jujur diakui masih terdapat ketimpangan pemahaman atau ketidak-samaan kebijakan makro dalam melihat upaya pengen­tasan kemiskinan antara pusat dan daerah.

Di samping itu, di setiap dae­rah terdapat kesenjangan di an­tara pemegang tanggung jawab stake holder terhadap hal yang sama. Biarpun tidak seluruhnya tepat, Bappenas melihat kesada­ran sebagian masyarakat men­gakses layanan pendidikan dan kesehatan ibu dan anak, masih rendah.

Dari segi kebijakan, ada ju­rang penyerapan tenaga kerja yang belum optimal serta sistem logistik yang kurang efisien, baik dalam hal distribusi, persaingan maupun peran lembaga pangan yang belum memihak masyarakat miskin.

Sementara dari sudut akses, jangkauan pelayanan dasar, ak­ses kredit usaha, dan pemilikan aset bagi keluarga miskin masih kurang. Akibatnya, menurut Bap­penas, perkembangan ekonomi mengarah ke sektor industri dan jasa, sementara keluarga miskin bekerja di sektor pertanian.

Sementara peningkatan produksi dalam negeri bersifat padat modal dan padat skill labour yang secara rasional akan diikuti oleh golongan menengah ke atas.

Akibatnya, kesenjangan ber­tambah menganga dan keluarga miskin bertambah miskin karena berada di tengah kumpulan pen­duduk sekitarnya yang makin kaya, sementara kesempatan baginya terasa makin sukar ter­sungkur persaingan yang makin tajam dan tidak terjangkau.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Karena sebab-musabab itu membuat upaya kita menanggu­langi kemiskinan selama 15 tahun terakhir ini boleh dikatakan gagal tidak sesuai harapan amanat PBB dalam kegiatan global Pemban­gunan Abad Millennium (MDGs) tahun 2000.

Kalau komitmen kita dari segi makro tidak diperbaiki, dapat dipastikan memasuki era Global Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yang diputuskan dalam Sidang Umum PBB, akhir Sep­tember lalu, akan gagal pula.

Kesenjangan sosial dapat dipastikan akan semakin men­ganga karena keluarga kaya akan melejit dan keluarga miskin akan jauh lebih sengsara.

Di tingkat kebijakan makro, pemerintah pusat dan daerah harus komit terhadap upaya pen­gentasan kemiskinan dan pen­anggulangan kelaparan sebagai target uta-ma, seperti disepakati para kepala negara dalam SU PBB, akhir bulan lalu.

Komitmen politik ini harus segera diimplementasikan den­gan dukungan anggaran yang secara khusus diarahkan untuk mengawal program pengentasan kemiskinan.

Akan memakan waktu yang lama kalau kita harus menunggu keluarga miskin sadar dan ber­bondong-bondong mengakses ke­sempatan pendidikan, pelatihan ketrampilan dan modal usaha.

Apalagi, keluarga miskin akan ‘takut’ mengakses kesempatan itu mengingat keluarga miskin akan bersikap dan bertingkah laku miskin, tidak berani men­gakses sesuatu yang dianggapnya ‘mustahil’.

Karena itu pelayanan kes­ehatan sebagai penyangga utama tidak boleh hanya ‘disediakan’, tetapi harus diantarkan kepada keluarga miskin dengan penuh kasih sayang. Ukuran pelayanan bukan hanya kualitasnya yang luar biasa tetapi perlu diantar dengan kasih sayang yang lang­sung memberikan dampak.

Ini akan merubah sikap kelu­arga miskin memanfaatkan pelay­anan kesehatan dan pendidikan guna meningkatkan kesempatan untuk bekerja hingga memiliki pendapatan lebih baik untuk mengantarkan keluarganya men­jadi lebih sejahtera.

Jangan lupa, penduduk dan keluarga Indonesia umumnya tidak ingin hidup dalam isolasi, maka diperlukan suatu forum untuk membangun kebersamaan dan solidaritas.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Itulah sebabnya kita mengan­jurkan pembentukan pos pem­berdayaan keluarga (posdaya) di setiap desa sebagai forum si­laturahmi antarkeluarga untuk berbakti dan saling menolong sesamanya.

Melalui forum ini setiap ke­luarga bisa saling memberi dan menerima sehingga mereka merasa tidak terkucil dalam ma­syarakatnya.

Kegiatan pelayanan kesehat­an dan pendidikan macam ini tidak mudah. Keputusan politik seperti itu memerlukan dukun­gan komitmen dari pimpinan daerah, seorang bupati atau gu­bernur, termasuk pula menteri dan kepala negara.

Keputusan politik itu bukan suatu keputusan mudah karena pasti keluarga menengah dan atas akan merasa iri hati dan menginginkan kemudahan yang sama.

Selanjutnya, kemudahan dalam bidang kesehatan dan pen­didikan itu harus segera diikuti dengan kemudahan yang sama dalam bidang wirausaha. Itulah sebabnya, setelah kita melak­sanakan 8 target MDGs, PBB memperluas targetnya menjadi target SDGs dari delapan target menjadi 17 target.

Ke-17 target didorong be­berapa opsi baru dalam banyak bidang, antara lain bidang kelau­tan, hasil laut dan potensi bawah laut, dalam lingkungan darat den­gan segala upaya yang bisa meny­ajikan kesempatan baru.

Di samping, ajakan mengak­tifkan kewaspadaan terhadap perubahan musim serta kemam­puan mengatur pola konsumsi sehat dan tidak meninggalkan sisa yang tidak bermanfaat. Di­masukkan juga syarat-syarat yang harus dianut aparat pemerintah yang makin peduli terhadap kelu­arga miskin atau keluarga prase­jahtera.

Ke-17 sasaran itu, menu­rut pengalaman kita sewaktu melaksanakan MDGs, bukan di­laksanakan seperti antri karcis, mulai nomor 1-8 atau nomor 1-17. Nomor 1 dan 2 adalah target utama, sedangkan nomor 3-17 diarahkan memberi du-kungan penuh. ***

Sumber: suarakarya.id

============================================================
============================================================
============================================================