PENYIDIKAN kasus dugaan mark up pembelian lahan reÂlokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) yang diplotting di kaÂwasan Jambu Dua, kabarnya sudah dipeti-es-kan. PenyidiÂkan kasus ini kabarnya sudah berakhir dengan perdamaian alias tanpa tersangka. BeÂnarkah?
Sepekan sudah, Kejari BoÂgor tak melakukan aktivitas peÂmanggilan terhadap saksi-saksi yang diduga terlibat dalam program mega proyek relokasi PKL dari Jalan MA Salmun. Dua pekan terakhir, Kejari BoÂgor memang merunning peÂmanggilan, yakni terhadap seÂjumlah pejabat Pemkot Bogor. Sekda Kota Bogor, Ade Sarip Hidayat dan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, Hanafi. Tak ketÂinggalan, Ketua DPRD Kota BoÂgor, Untung W Maryono, juga dipanggil ke meja jaksa.
Kasus ini sejatinya sudah berlarut-larut diselidiki. NaÂmun, tak ada progres, siapa yang salah? Spekulasi pun berÂmunculan di lapangan. Mulai dari adanya main mata oknum Kejari Bogor dengan Pemkot Bogor, hingga penyengajaan mandeknya proses penyelidiÂkan.
Delapan bulan sudah, kasus ini diselidiki. Namun, tak ada siapa yang wajib diperÂsalahkan. Media-media massa yang setiap hari inten membÂuru kabar dan perkembangan terhadap penyelidikan kasus inipun jengah mendapat reÂspon dingin yang masif oleh Kejari Bogor. Parahnya, pedaÂgang yang digusur di MA SalÂmun pun tak jelas nasibnya.
Anggota Komisi B DPRD Kota Bogor, Mahpudi Ismail, sempat meminta kepada PemÂkot Bogor, untuk memberikan izin berjualan di Jalan MA SalÂmun. Dirinya ingin, Pemkot memberikan tempat penamÂpungan sementara bagi para pedagang untuk berjualan. NaÂmun, ide ini tak diamini pemÂkot. “Kalau dirapihkan, pasti akan ada perubahan, untuk seÂmentara para pedagang butuh tempat untuk menyambung hidup,†ujaranya.
Anggota Fraksi Gerindra itu juga mengingatkan, PemÂkot Bogor jika belum mampu menangani para pedagang, seÂbaiknya PKL MA Salmun ditata ditempat yang sudah ada, agar tidak menciptakan kemiskinan yang baru lagi. “Rapihkan dulu saja, lapak para pedagang†timpalnya.
Jaringan Pengacara PubÂlik ( JPP) menilai kinerja KeÂjari lamban dalam menangani kasus tersebut karena hingga saat ini masih belum berani menetapkan tersangka, dan pihaknya mengaku akan melÂaporkan kasus tersebut ke KeÂjaksaan Agung dan KPK.
Koordinator JPP, M HaÂsoloan Sinaga mengatakan, dalam kasus Angkahong pihaknya mengaku banyak kejanggalan yang menurutnya sarat korupsi, salah satunya dalam penentuan harga tanah dalam pembebasan tersebut yang tidak rasional. “BerdasarÂkan Peraturan Daerah (Perda) Tahun 2011 tentang penyerÂtaan modal terhadap BUMD dan dan undang-undang NoÂmor 2 huruf e dan g Tahun 2012, tentang pengadaan tanÂah bagi pembangunan kepentÂingan umun harganya yang di batas pasar dan di situ ada dugaan mark up,†kata Sinaga.
Sinaga menambahkan, sesuai harga pasar tanah di lokasi tersebut pada Tahun 2014 hanya Rp 2.776.000 per meter, sementara pada pemÂbebasan lahan Pasar Jambu Dua hingga mencapai Rp 6 juta per meter.
“Kejanggalannya di sini dalam 4 tahun harga meninÂgkat hingga 4 juta, itu sangat tidak masuk di akal, selain itu dalam tanah yang dibebaskan ada tanah garapan ikut dibaÂyar dengan harga yang sama,†jelasnya.
Selain itu, Sinaga juga membeberkan bukti Akta Jual Beli (AJB) oleh pihak Pejabat Pembuat Akta Tanah SementaÂra (PPATS) kecamatan. “Dalam pembuatan AJB yang ditandaÂtagani pihak PPATS dilakukan mulai tanggal 23-30 Desember 2015 dengan harga Rp 400 ribu per meter, tetapi dibeÂbaskan ke Pemkot dengan kuÂrun waktu yang sama dengan harga mencapai Rp 6 juta per meter, jelas ini ada mark up,†tandasnya.
Ditambahkan Sinaga, sanÂgat ironis penyidikan yang dilakukan Kejari dengan tidak dibarengi adanya penetapan tersangka. Menurutnya, ini menjadi pertanyaan terhadap penegakan hukumnya. “Kami sudah melakukan teguran ke pihak, tapi tidak pernah diÂtanggapi, tadi juga kami menÂdatangi Kejari, tetapi Kejari terkesan menutup diri terÂhadap kedatangan kami,†ujar Sinaga.
(Rizky Dewantara|Yuska )