LANGKAH Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membersihkan Mahkamah Agung (MA) dari praktik korupsi, mendapat dukungan luas. Praktik suap yang melibatkan Sekjen MA Nurhadi menjadi pintu masuk KPK ke jantung lembaga yudikatif
YUSKA APITYA AJI
[email protected]
Wakil Ketua Komisi PemberÂantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang, memastikan KPK akan memanggil dan memeriksa Nurhadi. PeÂmanggilan terhadap Nurhadi terkait peÂnyidikan kasus dugaan suap pengamanan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Penyidik diketahui sempat menggeledah ruang kerja dan rumah Nurhadi dalam kaÂsus yang telah menjerat Panitera/Sekretaris PN Jakarta Pusat, Edy Nasution itu “Iyalah (akan dipanggil),†kata Saut dalam pesan singkat saat dikonfirmasi mengeÂnai pemanggilan Nurhadi, Senin (25/4/2016).
Kendati demikian, Saut mengaku belum mengetahui kapan jadwal pemeriksaan terhadap Nurhadi terseÂbut. “Sabar,†ujar dia. Diketahui, KPK telah menetapkan PaniÂtera/Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, sebagai tersangka kaÂsus dugaan suap. Dia diduga telah menerÂima uang ratusan juta dari seorang swasta bernama Doddy Aryanto Supeno. Suap tersebut diduga diberikan terkait pengajuan Peninjauan Kembali di PN Jakarta Pusat. Edy diduga dijanjikan uang hingga sebesar Rp500 juta.
Namun kasus tersebut terungkap setelah Edy dan Doddy tertangkap tangan oleh Tim Satgas KPK usai penyerahan uang di Hotel Acacia, Jakarta Pusat, Rabu 20 April 2016. Keduanya kemudian ditetapkan sebÂagai tersangka oleh KPK.
Usai penangkapan itu, pihak KPK langÂsung bergerak cepat dalam melakukan pengembangan. Salah satunya adalah denÂgan melakukan penggeledahan di sejumÂlah tempat, termasuk kantor dan rumah Nurhadi. Bahkan, KPK menemukan dan menyita uang dalam bentuk Dolar AmeriÂka. Namun hingga saat ini, penyidik masih belum menjelaskan keterkaitan Nurhadi dalam perkara ini.
Berdasarkan penggeledahan di rumah pribadinya, KPK menyita uang ratusan ribu dolar Amerika Serikat. Wartawan telah berusaha meminta konfirmasi kepada Nurhadi tetapi ia tidak bisa ditemui baik di rumah atau di kantornya. Alhasil, orang berÂspekluasi dari mana asal uang itu dan apa kaitannya dengan kasus yang tengah ditanÂgani KPK. “Ini nggak masuk logika, ada sekÂretaris menyimpan uang ratusan ribu dolar. Apa dia bendahara? Kan bukan. Harusnya sekretaris itu ya menyimpan banyak berkas, bukan uang,†kata ahli hukum Prof Dr Hibnu Nugroho, Senin (25/4/2016).
KPK terpaksa menggeledah rumah Nurhadi di Jalan Hang Lekir V Nomor 2-6, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Jumat (22/4) lalu karena tercium jejak Edy NasuÂtion di rumah tersebut. Edy merupakan paÂnitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang dibekuk KPK saat menerima sejumlah uang dari pengusaha Doddy di seÂbuah hotel di bilangan Gajah Mada, Jakarta Pusat. “Apa itu uang pribadi dia? Kalau uang pribadi, ya umumnya menyimpannya di bank, bukan di rumah,†papar Hibnu.
Dengan temuan ini, maka menjadi tanÂtangan besar bagi KPK untuk menyatukan puzzle-puzzle menjadi sebuah gambar yang utuh. Didukung KPK juga telah memeriksa Nurhadi untuk tersangka bawahannya, AnÂdri Tristianto Sutrisna (ATS) yang telah diÂtangkap lebih dulu pada 14 Februari lalu.
“Ya ini akan menjadi efek domino, kareÂna ini sentralnya di MA dan akan mengarah ke pusat epicentrumnya dan menjadi soroÂtan nasional. Tinggal KPK bisa menjabarkanÂnya atau tidak,†cetus pengajar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) itu.
Wartawan telah berusaha menemui NuÂhadi di kantornya tetapi Nurhadi tidak memÂberikan keterangan atas kepemilikian ratusan ribuan dolar tersebut. Pihak yang memberiÂkan keterangan di kasus ini adalah jubir MA Hakim Agung Suhadi. Wartawan juga telah mencoba meminta konfirmasi kepada Nurhadi berjam-jam lamanya di depan pagar rumahnya, tetapi Nurhadi atau kerabatnya tidak ada yang menemui wartawan. “Iya, tapi uang apa kan? Yang kita tanya itu uang apa kan? Apakah ada korelasi perkara, atau melanggar hukum, atau itu uang milik pribadi yang bersangkutan. Kan itu, belum jelas,†ujar juru bicara MA Hakim Agung Suhadi.
Dukungan terhadap KPK juga mengalir dari Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin). MerÂeka mendesak KPK segera menempatkan personelnya di MA guna mengawasi kinerja lembaga peradilan tertinggi di Indonesia tersebut. Hal itu penting dilakukan, menyuÂsul adanya operasi tangkap tangan Panitera Sekretaris PN Jakarta Pusat Edi Nasution dan penggeledahan ruang kerja Sekjen MA Nurhadi.
“Penempatan personel KPK di kantor MA sangat diperlukan untuk mengusut tunÂtas kasus dugaan korupsi yang terjadi di lemÂbaga tersebut. Di samping itu, penempatan personel KPK juga bisa untuk mengantisipaÂsi kejadian serupa,†ujar Ketua Umum DPP Ikadin Sutrisno kepada wartawan di Jakarta, Senin (25/4/2016).
Sutrisno menyarankan, KPK hendaknya melakukan penyidikan terhadap pihak terÂkait di semua tingkat peradilan, yaitu PN, Pengadilan Tinggi (PT), sampai MA. PasalÂnya, praktik mafia peradilan tidak akan seleÂsai jika tidak dilakukan penyelidikan secara menyeluruh.
Berdasarkan data Ikadin, kata dia, di beÂberapa daerah ada indikasi praktik mafia peraÂdilan yang semakin marak dan membabi buta. Hal itu disebabkan lemahnya kinerja Ketua MA Hatta Ali dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja pengadilan di Indonesia.
Sutrisno menyatakan, MA seolah tidak bisa lagi membendung praktik mafia peraÂdilan. “Dalam beberapa bulan terakhir ini bisa terungkap dengan ditangkapnya Andri Tristianto Sutrisna dan Edi Nasution yang melibatkan pejabat di Mahkamah Agung RI,†tambahnya.
Sutrisno menjelaskan semakin maraÂknya praktik mafia peradilan saat ini dipicu adanya Surat Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 73/KMA/HK.OL/IX/2015 tanggal 25 September 2015 yang memperbolehkan semua organisasi advokat selain Peradi unÂtuk mengajukan pengambilan sumpah adÂvokat kepada ketua PT.
“Ini bentuk pelanggaran Ketua MahkaÂmah Agung RI terhadap UU Nomor 18 TaÂhun 2003 tentang Advokat karena dengan adanya surat tersebut secara tidak langsung telah menurunkan kualitas advokat, sehingÂga kalau banyak advokat yang tidak berkualÂitas maka akan semakin marak praktik mafia peradilan,†jelasnya.
Informasi terakhir menyebutkan, Nurhadi baru melaporkan dan melengkapi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), akhir pekan kemarin. BerÂdasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi, Nurhadi memiliki kekayaan dengan total nilai Rp33.417.646.000.
Dilansir dari laman resmi KPK, acch.kpk.go.id, Nurhadi tercatat melaporkan harta kekayaannya itu kepada Komisi PemberanÂtasan Korupsi pada 7 November 2012.
Dalam laman tersebut, tercatat sumber kekayaan Nurhadi yang paling besar adalah dari harta bergerak, yakni senilai Rp15,280 miliar. Nurhadi juga diketahui memiliki aset giro setara kas yang cukup besar juga, yakni mencapai Rp10.775.000.000.
Beberapa aset milik Nurhadi antara lain 4 unit mobil mewah. Berikut daftar mobil Nurhadi, satu unit mobil Toyota Camry taÂhun 2010 senilai Rp600 juta, satu unit mobil Mini Cooper tahun senilai 2010 Rp700 juta, satu unit mobil Lexus tahun 2010 senilai Rp1,9 miliar, dan satu unit mobil Jaguar taÂhun 2004 senilai Rp805 juta.
Harta bergerak Nurhadi juga disumÂbang logam mulia sejak 1996 senilai Rp500 juta dan batu mulia sejak 1998 Rp8,625 miliar, barang-barang seni dan antik sejak 1997 Rp1 miliar, dan lainnya sejak 1999 Rp 1,150 miliar.
Tak hanya itu, Nurhadi juga memiÂliki aset tanah dan bangunan senilai Rp 7.362.646.000. Dia memiliki 18 bidang taÂnah bangunan di beberapa tempat.
Sebelumnya, kontroversi dan perdeÂbatan seputar suvenir iPod muncul saat Nurhadi menggelar hajatan pernikaÂhan anaknya, Sabtu 15 Maret 2014. Putri Nurhari, Rizki Aulia Rahmi menikah dengan Rizki Wibowo dalam sebuah pesta mewah di Hotel Mulia, Senayan. (*)