wakil-ketua-kpk-saut-situmorang-_160203170930-770LANGKAH Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membersihkan Mahkamah Agung (MA) dari praktik korupsi, mendapat dukungan luas. Praktik suap yang melibatkan Sekjen MA Nurhadi menjadi pintu masuk KPK ke jantung lembaga yudikatif

YUSKA APITYA AJI
[email protected]

Wakil Ketua Komisi Pember­antasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang, memastikan KPK akan memanggil dan memeriksa Nurhadi. Pe­manggilan terhadap Nurhadi terkait pe­nyidikan kasus dugaan suap pengamanan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Penyidik diketahui sempat menggeledah ruang kerja dan rumah Nurhadi dalam ka­sus yang telah menjerat Panitera/Sekretaris PN Jakarta Pusat, Edy Nasution itu “Iyalah (akan dipanggil),” kata Saut dalam pesan singkat saat dikonfirmasi menge­nai pemanggilan Nurhadi, Senin (25/4/2016).

Kendati demikian, Saut mengaku belum mengetahui kapan jadwal pemeriksaan terhadap Nurhadi terse­but. “Sabar,” ujar dia. Diketahui, KPK telah menetapkan Pani­tera/Sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, sebagai tersangka ka­sus dugaan suap. Dia diduga telah mener­ima uang ratusan juta dari seorang swasta bernama Doddy Aryanto Supeno. Suap tersebut diduga diberikan terkait pengajuan Peninjauan Kembali di PN Jakarta Pusat. Edy diduga dijanjikan uang hingga sebesar Rp500 juta.

Namun kasus tersebut terungkap setelah Edy dan Doddy tertangkap tangan oleh Tim Satgas KPK usai penyerahan uang di Hotel Acacia, Jakarta Pusat, Rabu 20 April 2016. Keduanya kemudian ditetapkan seb­agai tersangka oleh KPK.

Usai penangkapan itu, pihak KPK lang­sung bergerak cepat dalam melakukan pengembangan. Salah satunya adalah den­gan melakukan penggeledahan di sejum­lah tempat, termasuk kantor dan rumah Nurhadi. Bahkan, KPK menemukan dan menyita uang dalam bentuk Dolar Ameri­ka. Namun hingga saat ini, penyidik masih belum menjelaskan keterkaitan Nurhadi dalam perkara ini.

Berdasarkan penggeledahan di rumah pribadinya, KPK menyita uang ratusan ribu dolar Amerika Serikat. Wartawan telah berusaha meminta konfirmasi kepada Nurhadi tetapi ia tidak bisa ditemui baik di rumah atau di kantornya. Alhasil, orang ber­spekluasi dari mana asal uang itu dan apa kaitannya dengan kasus yang tengah ditan­gani KPK. “Ini nggak masuk logika, ada sek­retaris menyimpan uang ratusan ribu dolar. Apa dia bendahara? Kan bukan. Harusnya sekretaris itu ya menyimpan banyak berkas, bukan uang,” kata ahli hukum Prof Dr Hibnu Nugroho, Senin (25/4/2016).

KPK terpaksa menggeledah rumah Nurhadi di Jalan Hang Lekir V Nomor 2-6, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Jumat (22/4) lalu karena tercium jejak Edy Nasu­tion di rumah tersebut. Edy merupakan pa­nitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang dibekuk KPK saat menerima sejumlah uang dari pengusaha Doddy di se­buah hotel di bilangan Gajah Mada, Jakarta Pusat. “Apa itu uang pribadi dia? Kalau uang pribadi, ya umumnya menyimpannya di bank, bukan di rumah,” papar Hibnu.

BACA JUGA :  Lokasi SIM Keliling Kota Bogor, Rabu 24 April 2024

Dengan temuan ini, maka menjadi tan­tangan besar bagi KPK untuk menyatukan puzzle-puzzle menjadi sebuah gambar yang utuh. Didukung KPK juga telah memeriksa Nurhadi untuk tersangka bawahannya, An­dri Tristianto Sutrisna (ATS) yang telah di­tangkap lebih dulu pada 14 Februari lalu.

“Ya ini akan menjadi efek domino, kare­na ini sentralnya di MA dan akan mengarah ke pusat epicentrumnya dan menjadi soro­tan nasional. Tinggal KPK bisa menjabarkan­nya atau tidak,” cetus pengajar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) itu.

Wartawan telah berusaha menemui Nu­hadi di kantornya tetapi Nurhadi tidak mem­berikan keterangan atas kepemilikian ratusan ribuan dolar tersebut. Pihak yang memberi­kan keterangan di kasus ini adalah jubir MA Hakim Agung Suhadi. Wartawan juga telah mencoba meminta konfirmasi kepada Nurhadi berjam-jam lamanya di depan pagar rumahnya, tetapi Nurhadi atau kerabatnya tidak ada yang menemui wartawan. “Iya, tapi uang apa kan? Yang kita tanya itu uang apa kan? Apakah ada korelasi perkara, atau melanggar hukum, atau itu uang milik pribadi yang bersangkutan. Kan itu, belum jelas,” ujar juru bicara MA Hakim Agung Suhadi.

Dukungan terhadap KPK juga mengalir dari Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin). Mer­eka mendesak KPK segera menempatkan personelnya di MA guna mengawasi kinerja lembaga peradilan tertinggi di Indonesia tersebut. Hal itu penting dilakukan, menyu­sul adanya operasi tangkap tangan Panitera Sekretaris PN Jakarta Pusat Edi Nasution dan penggeledahan ruang kerja Sekjen MA Nurhadi.

“Penempatan personel KPK di kantor MA sangat diperlukan untuk mengusut tun­tas kasus dugaan korupsi yang terjadi di lem­baga tersebut. Di samping itu, penempatan personel KPK juga bisa untuk mengantisipa­si kejadian serupa,” ujar Ketua Umum DPP Ikadin Sutrisno kepada wartawan di Jakarta, Senin (25/4/2016).

Sutrisno menyarankan, KPK hendaknya melakukan penyidikan terhadap pihak ter­kait di semua tingkat peradilan, yaitu PN, Pengadilan Tinggi (PT), sampai MA. Pasal­nya, praktik mafia peradilan tidak akan sele­sai jika tidak dilakukan penyelidikan secara menyeluruh.

Berdasarkan data Ikadin, kata dia, di be­berapa daerah ada indikasi praktik mafia pera­dilan yang semakin marak dan membabi buta. Hal itu disebabkan lemahnya kinerja Ketua MA Hatta Ali dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja pengadilan di Indonesia.

BACA JUGA :  Menu Sarapan dengan Cah Kangkung Bawang Putih yang Harum Menggugah Selera

Sutrisno menyatakan, MA seolah tidak bisa lagi membendung praktik mafia pera­dilan. “Dalam beberapa bulan terakhir ini bisa terungkap dengan ditangkapnya Andri Tristianto Sutrisna dan Edi Nasution yang melibatkan pejabat di Mahkamah Agung RI,” tambahnya.

Sutrisno menjelaskan semakin mara­knya praktik mafia peradilan saat ini dipicu adanya Surat Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 73/KMA/HK.OL/IX/2015 tanggal 25 September 2015 yang memperbolehkan semua organisasi advokat selain Peradi un­tuk mengajukan pengambilan sumpah ad­vokat kepada ketua PT.

“Ini bentuk pelanggaran Ketua Mahka­mah Agung RI terhadap UU Nomor 18 Ta­hun 2003 tentang Advokat karena dengan adanya surat tersebut secara tidak langsung telah menurunkan kualitas advokat, sehing­ga kalau banyak advokat yang tidak berkual­itas maka akan semakin marak praktik mafia peradilan,” jelasnya.

Informasi terakhir menyebutkan, Nurhadi baru melaporkan dan melengkapi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), akhir pekan kemarin. Ber­dasarkan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi, Nurhadi memiliki kekayaan dengan total nilai Rp33.417.646.000.

Dilansir dari laman resmi KPK, acch.kpk.go.id, Nurhadi tercatat melaporkan harta kekayaannya itu kepada Komisi Pemberan­tasan Korupsi pada 7 November 2012.

Dalam laman tersebut, tercatat sumber kekayaan Nurhadi yang paling besar adalah dari harta bergerak, yakni senilai Rp15,280 miliar. Nurhadi juga diketahui memiliki aset giro setara kas yang cukup besar juga, yakni mencapai Rp10.775.000.000.

Beberapa aset milik Nurhadi antara lain 4 unit mobil mewah. Berikut daftar mobil Nurhadi, satu unit mobil Toyota Camry ta­hun 2010 senilai Rp600 juta, satu unit mobil Mini Cooper tahun senilai 2010 Rp700 juta, satu unit mobil Lexus tahun 2010 senilai Rp1,9 miliar, dan satu unit mobil Jaguar ta­hun 2004 senilai Rp805 juta.

Harta bergerak Nurhadi juga disum­bang logam mulia sejak 1996 senilai Rp500 juta dan batu mulia sejak 1998 Rp8,625 miliar, barang-barang seni dan antik sejak 1997 Rp1 miliar, dan lainnya sejak 1999 Rp 1,150 miliar.

Tak hanya itu, Nurhadi juga memi­liki aset tanah dan bangunan senilai Rp 7.362.646.000. Dia memiliki 18 bidang ta­nah bangunan di beberapa tempat.

Sebelumnya, kontroversi dan perde­batan seputar suvenir iPod muncul saat Nurhadi menggelar hajatan pernika­han anaknya, Sabtu 15 Maret 2014. Putri Nurhari, Rizki Aulia Rahmi menikah dengan Rizki Wibowo dalam sebuah pesta mewah di Hotel Mulia, Senayan. (*)

============================================================
============================================================
============================================================