kurnia-syaranie-landscapeJAKARTA, TODAY — Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mulai melakukan pe­nyelidikan terhadap penaikan harga beras di pasaran. Paso­kan beras di Jabodetabek mulai berkurang dan menyebabkan ketidaksehatan harga pasar.

“Ada indikasi mengkhawat­irkan di perdagangan beras yang merugikan masyarakat dengan terjadinya kenaikan harga beras sehingga KPPU masih terus memantau perda­gangan bahan pangan utama itu di seluruh provinsi,” ujar Wakil Ketua KPPU, R Kurnia Sya’ranie di Jakarta, Jumat (22/1/2016).

Dia me­nyebut­kan, ada dugaan praktik mo­nopo­li stik dan oligopolistik yang sudah ter­jadi di perdagangan beras. Menurut Kurnia, para pelaku usaha besar diduga mulai ma­suk ke dalam industri beras dengan menguasai pembelian dari petani, mengolahnya dan mendistribusikan ke kon­sumen melalui kelompok ter­tentu atau sendiri. Penyalahgunaan oligopoli dalam bentuk kelangkaan dan harga tinggi tampaknya sudah terjadi seperti de­wasa ini. “Pemerintah harus menga­tasinya. Penetapan harga pembelian gabah dan beras petani di Bulog harus diubah karena nyatanya selama ini har­ganya selalu di bawah harga pasar yang membuat Bulog akhirnya tidak bisa membeli beras petani,” ujarnya.

Ia juga menegaskan, KPPU pada 2016 semakin memfokuskan memoni­tor persaingan usaha bidang pangan untuk melindungi masyarakat. “Ma­syarakat harus bisa mendapatkan har­ga bahan pangan wajar bahkan murah yang hanya bisa diperoleh dengan ter­jadinya persaingan sehat dan tentunya produksi memadai untuk memenuhi kebutuhan,” katanya.

KPPU mendukung rencana pemer­intah menyerahkan penanganan ba­rang strategis khususnya bahan pangan kepada Bulog dengan catatan perusa­haan BUMN itu juga tidak menjadi mo­nopoli.

“Masuknya KPPU dalam TPID (Tim Pengendali Inflasi Daerah) semakin membuat KPPU meningkatkan moni­toring harga dan ditemukan harga be­ras, ayam dan daging sapi mengalami kenaikan di Januari ini,” katanya.

BACA JUGA :  Nahas, Diduga Tersambar Petir, Warga Agam Sumbar Ditemukan Tewas dalam Kondisi Gosong

Sementara itu, Ekonom Pertanian Institute for Development of Econom­ics and Finance (INDEF) Bustanul Ari­fin menyampaikan pemerintah perlu melakukan koordinasi baik di tingkat pusat maupun di tingkat pemerintah daerah untuk dapat meredam gejolak harga.

“Perlu ada penguatan baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Awal tahun ini bisa terjadi lonjakan harga, bisa kita lihat dari data yang dipantau oleh pemerin­tah,” ungkapnya.

Bustanul menjelaskan kenaikan harga bahan pokok saat ini tidak hanya terjadi di Jabodetabek tapi juga merata secara nasional.

Dia mengatakan salah satu faktor yang diprediksi dapat mengerek harga terutama beras yaitu belum masuknya musim panen raya. Musim tanam bah­kan tercatat mundur selama 1,5 bulan sehingga akan berdampak pada vol­ume produksi beras.

Kementerian Pertanian pun sebel­umnya menyampaikan luas tanam pun mengalami kemunduran. Pada Okto­ber, misalnya, luas tanam lebih rendah 190.000 hektare dari realisasi bulan yang sama tahun sebelumnya. Petani cenderung mewaspadai kekeringan agar padinya tidak mengalami gagal panen.

Menurut Bustanul, salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu menginten­sifkan operasi pasar oleh Perum Bulog. Operasi pasar sebaiknya tidak hanya digenjot di pasar-pasar di Jabodetabek, tapi juga di pasar-pasar di daerah.

Kadisperindag Kota Bogor, Bam­bang Budiyanto, membenarkan jika ada mafia beras di pasar-pasar tradis­ional. “Kami telusuri memang ada. Kami sudah laporkan ini ke Bareskrim untuk ditindaklanjuti,” kata dia.

Bambang juga menyangkal jika be­ras untuk Bogor tak terlasurkan dengan baik. “Kalau tersalurkan ya normal. Ma­salah harga beras di Bogor itu saya ya­kini adalah permainan pasar,” kata dia.

Kementan Membantah

Soal keterbatasan stok beras di pas­ar Kepala Pusat Data dan Sistem Infor­masi Pertanian, Suwandi, menyatakan, sebanyak 900.000 ton beras impor saat ini masih tersimpan di Gudang Bulog. Kondisi tersebut, kata dia, mem­buktikan bahwa impor yang dilakukan pemerintah hanya untuk keperluan cadangan nasional.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

“Hingga hari ini, masyarakat In­donesia belum mengonsumsi beras impor. Kebutuhan beras sebesar 2,6 juta ton per bulan cukup dipenuhi dari produksi dalam negeri,” ujar Su­wandi dalam siaran persnya, Jumat (22/1/2016).

Terkait impor beras, kata dia, menurut data BPS pada 2 November 2015 merilis Angka Ramalan-II (ARAM-II) 2015 produksi padi sebanyak 74,99 juta ton gabah kering giling (GKG) atau naik 5,84 persen dari produksi tahun 2014.

Dengan produksi gabah tersebut, diperoleh beras setara 43,61 juta ton. Hal ini, kata Suwandi, berarti surplus untuk memenuhi kebutuhan pangan dan non pangan sekitar 33,35 juta ton beras nasional.

“Surplus beras sebesar 10,25 juta ton saat ini berada tersebar di produ­sen, penggilingan, pedagang, industri, rumah makan, restoran, konsumen dan di Bulog,” jelas dia.

Suwandi melanjutkan, saat ini ketersediaan beras dalam negeri me­limpah. Bahkan, lanjut dia, Indonesia sempat mengekspor beras kelas khusus (organis) sebanyak 148 ton di Novem­ber 2015.

Sementara itu, ketersediaan beras untuk periode Januari – Maret 2016 di­pastikan melimpah. Hal tersebut dik­arenakan, akan ada panen 5 juta ton gabah yang setara dengan 3,1 juta tok beras di bulan Februari mendatang. “Sedangkan untuk Maret, akan ada panen gabah sebanyak 12,56 ton atau setara dengan 7,9 juta ton beras. Se­mentara itu konsumsi beras penduduk hanya 2,6 juta ton per bulan,” kata Su­wandi.

(Yuska Apitya Aji)

============================================================
============================================================
============================================================