Oleh: ABRAHAM FANGGIDAE
Mantan Widyaiswara Utama Pusdiklat Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial, Jakarta.
Moratorium artiÂnya penundaan atau penangguhan suatu kegiatan untuk periode terÂtentu oleh lembaga yang punya kewenangan untuk itu. Jadi, sejak 2015 pemerintah menangguhkan atau tidak menerima pendaftaran penerimaan CPNS.
Moratorium penerimaan PNS pada umumnya adalah ‘jargon’ pemerintah untuk diimplementaÂsi di sektor birokrasi dengan perÂtimbangan rasional logis. Tujuan utamanya agar roda pemerintahÂan berjalan lebih efektif, tidak terÂjadi pemborosan dana/anggaran pemerintah.
Kebijakan moratorium peneriÂmaan CPNS 2015 tampaknya kurang menggembirakan bagi sebaÂgian warga masyarakat usia muda.
Dari sisi waktu pemberlakuan cukup panjang, sebab kebijakan ini berlangsung selama lima tahun.
Jutaan pemegang ijazah S1, S2, S3 yang berminat mengabdi di sektor pemerintahan sebagai PNS, pintu untuk mereka tertutup. WaÂlau peluang tetap terbuka bagi mereka mengabdi sebagai pegaÂwai BUMN/BUMD.
Setidaknya dua hal perlu memperoleh perhatian dalam keÂbijakan moratorium penerimaan CPNS yang mulai diterapkan taÂhun 2015.
Pemerintah harus melakukan pengkajian dan membuat ‘peta’ kebutuhan PNS pada beberapa K/L (kementerian/lembaga), serta Pemda tentang formasi serta keÂbutuhan pegawai.
Kementerian Keuangan, cq Ditjen Pajak merupakan satu-satÂunya kementerian yang mencari pemasukan negara terbesar untuk APBN setiap tahun.
Jumlah wajib pajak pemegang Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) telah mencapai puluhan juta waÂjib pajak. Mereka sebagai sumber penerimaan negara. Wajib pajak harus dikejar, agar penerimaan negara bisa mencapai target.
Masalahnya, jumlah petugas pajak yang bekerja pada Ditjen PaÂjak belum ideal saat ini. Ditjen PaÂjak masih mengalami kekurangan ribuan PNS.
Seandainya pemerintah selaÂma bertahun-tahun lampau memÂrioritaskan pengangkatan/peneriÂmaan CPNS untuk mengisi formasi pada Ditjen Pajak, maka peluang memperbesar pundi-pundi negaÂra setiap tahun terbuka lebar.
Perbedaan beban kerja jusÂtru berdampak K/L serta Pemda tingkat provinsi, kabupaten/ kota tertentu membutuhkan PNS dalam jumlah besar atau memadai sehingga fungsi K/L dan Pemda bisa berjalan optimal.
Hal ini bisa dicontohkan pada instansi pendidikan dan kesehatÂan yang hingga kini masih memerÂlukan PNS dalam jumlah besar yaitu guru SD, SLTP, SLTA, juga dosen perguruan tinggi. Instansi kesehatan memerlukan tenaga kesehatan seperti tenaga media (dokter), tenaga paramedis, terÂmasuk bidan.
Pemerintah bisa melakukan reÂdistribusi tenaga guru dan tenaga kesehatan dari wilayah perkotaan yang berlebihan guru dan tenaga kesehatan agar mereka dipindahÂkan ke provinsi, kabupaten/kota yang masih mengalami banyak kekurangan tidak hanya dalam diÂmensi kuantitaf/jumlah tetapi juga secara kualitatif atau mutu.
Persoalannya, apakah pemerÂintah mampu (baca: berani) memÂbuat kebijakan redistribusi dimakÂsud? Sebab kebijakan mutasi perlu mempertimbangkan kemampuan anggaran untuk biaya pindah, juga pertimbangan kemanusiaan, seperti hubungan keluarga PNS bersangkutan.
Jika pemerintah berhadapan dengan macam-macam tantangan dalam menggelontorkan kebiÂjakan redistribusi PNS, maka tidak ada jalan lain, yaitu pemerintah harus mengangkat CPNS untuk mengisi kekurangan formasi guru dan tenaga kesehatan di K/L serta Pemda agar pembangunan berÂbagai sektor bisa berjalan maju/ efektif karena manusia Indonesia di seluruh wilayah NKRI dalam kualifikasi pintar dan sehat.
Tampaknya, kebijakan moraÂtorium penerimaan CPNS tidak bisa diimplementasi pada seluruh K/L dan Pemda, karena disparitas kebutuhan pegawai negeri serta beban tugas K/L serta Pemda meÂmang berbeda.
Khususnya Ditjen Pajak, guru, serta tenaga kesehatan mungkin akan dikecualikan pemerintah dalam implementasi moratoriÂum 2015 yang akan berlangsung sepanjang lima tahun.
Tiga instansi tersebut selama ini memang terasa mengalami kekurangan PNS, namun formasi untuk instansi tersebut masih jauh dari mencukupi.
Ke depan, mulai tahun angÂgaran 2015 penerimaan negara yang diplot untuk instansi perpaÂjakan diharapkan mencapai target penerimaan, bahkan lebih baik lagi jika realisasi penerimaan paÂjak bisa melampaui target.
Sektor pendidikan dan keseÂhatan merupakan lokomotif bangÂsa karena kedua sektor tersebut yang ‘menghela’ (menarik) dan memberi kontribusi agar sektor lain tergolong maju. Negara bisa maju jika dihuni penduduk yang sehat dan berotak encer sehingga bisa bekerja secara produktif.
Jumlah 4, 4 juta PNS menurut kondisi tahun 2014 telah membeÂbani keuangan negara cukup beÂsar, mencapai sekitar 41 % APBN merupakan pos belanja pegawai (PNS, TNI/Polri).
Pemerintah memprediksi, dengan kebijakan moratorium maka belanja pegawai selama lima tahun akan menyusut tinggal sebesar 30%.
Penyusutan pos belanja pegaÂwai bukan terjadi disebabkan oleh kebijakan mengurangi gaji serta tunjangan PNS, TNI/Polri, melainÂkan sebagai dampak moratorium.
Apalagi khusus bagi PNS yang bekerja pada K/L serta Pemda jumlah PNS dipastikan berkurang secara alamiah karena ratusan ribu PNS akan masuk usia pensiun dalam lima tahun mendatang.
Di antara 4, 4 juta PNS komÂpetensi, kapabilitas dan integriÂtas sebagian PNS masih di bawah standar alias dedikasi mereka kurang baik. Misalnya, tindak koÂruptif yang merugikan negara dan rakyat dengan berbagai dampak negatipnya masih meluas, dilakuÂkan birokrat negara di seluruh sektor pemerintahan. Pemerintah wajib meningkatkan kompetensi, kapabilitas serta integritas PNS yang ada sekarang.
Korupsi beranak pinak antara lain melalui peniruan perilaku. Pegawai baru yang masih hijau terÂkontaminasi tindakan buruk semiÂsal korupsi dari pegawai senior.
Akhirnya, hasil moratorium utama yang didambakan antara lain agar rekrutmen CPNS menÂdatang harus mampu menjaring generasi muda calon birokrat negaÂra yang memiliki kapabilitas tinggi, kompetensi menjalankan profesi di bidangnya, berintegritas, dan tidak akan melakukan korupsi seÂbagai tindakan tercela selama yang bersangkutan menjabat PNS. ***
sumber: suarakarya.id