Bersama N. Syamsuddin Ch. Haesy
SERINGKALI kita menÂdengar tentang brand dan branding. SebaÂgian orang memandang branding dan brand sebagai satu kesatuan tak terpisahkan. SeoÂlah-olah branding melulu harus terkait dengan merek.
Walker Smith, Executive Chairman The Futures CompaÂny membedakan brand dengan branding. Dia katakan, “A brand and branding are not the same. Branding is the strategy marketÂers use to build a brand. BrandÂing sets expectations about the value proposition that is a brand. Apps can be brands, but most brands are not apps, and never will be. Not so for brandÂing, however.â€
Brand dan branding tidaklah sama. Branding adalah strategi yang digunakan pemasar (marÂketer) untuk membangun brand. Branding merupakan cara yang dilakukan untuk menetapkan harapan tentang proposisi nilai atas brand sebuah produk. ApÂlikasi mendapatkan brand, tapi brand tidak dengan sendirinya merupakan aplikasi. Branding merupakan cara yang dipilih seÂbagai pernyataan nilai atas merÂek sebuah produk. Karenanya, harus secara sadar dan subyektif dinyatakan.
Philip Kotler dan Gary AmÂstrong dalam prinsip-prinsip pemasaran mendefinisikan, brand merupakan merek, istiÂlah, simbol (atau kombinasinya), yang mengidentifikasi produk, pembuat produk, dan penjual produk itu. Akan halnya Tailor, mendefinisikan brand sebagai ‘alat pemasaran yang memungÂkinkan konsumen mengenali produk’ dan kapasitas produÂsennya.
Branding berkaitan dengan peningkatan nilai kelezatan dan kemampuan memelihara standar kelezatannya. Akan halnya brand itu sendiri, meruÂpakan proposisi nilai. Yaitu, terpenuhinya hasrat konsumen ketika mereka membeli produk atau layanan.
Kualitas dan proposisi nilai suatu produk, menjadi penentu apakah produk tersebut (apaÂpun mereknya) mampu melamÂpaui kualitas dan proposisi nilai produk lain. Brand yang kuat harus dibarengi dengan proses branding secara penetratif dan hipodermis.
Kualitas dan proposisi nilai produk semakin berarti, ketika produsen secara sadar meletakÂkan produk tersebut ke dalam benak dan hati para konsumen. Untuk meletakkan produk terseÂbut, diperlukan pendekatan takÂtikal (antara lain melalui iklan atau reklame). Tetapi, pemasanÂgan iklan pun harus dilakukan pada media yang tepat, media yang sesuai dengan standar kualÂitas dan proposisi nilai produk, tidak di sembarang media. Branding yang kuat hanya akan terpelihara, ketika diiklankan di media yang tepat dan layak.
Tepat sasarannya (jelas siapa konsumennya) dan mempunyai daya beli produk yang memadai. Media yang jelas karakternya, menawarkan simpati dan empati. Itulah yang disebut media stratÂegis. Bukan sekadar tersebar luas di pasar.
Media yang strategis (tepat dan layak) akan memberi dua hal sekaÂligus: profit dan benefit (keuntunÂgan dan manfaat). Media semacam ini merupakan lintasan strategis branding yang menyajikan informaÂsi lebih fokus dan inovatif, di antara ragam media yang menjamur dan membanjiri pasar.
Bagi Hermawan Kertajaya, paÂkar pemasaran Indonesia yang juga pendiri dan President MarkPlus, untuk membangun brand yang kuat, produsen tak boleh hanya mengandalkan iklan. Perusahaan harus melakukan sesuatu yang mengena di benak konsumen, tidak sekadar menjual tetapi memiliki implikasi jangka panjang.
Cara baru membangun brand, menurut Hermawan, adalah memÂbentuk bisnis dengan reputasi baik. Bagi konsumen, reputasi yang baik akan menentukan keputusan memÂbeli. Bagi karyawan perusahaan, reputasi baik akan memicu komitÂmen dan loyalitas. Reputasi juga bisa mengundang investor untuk menanamkan modalnya.
Bahkan, reputasi yang baik akan menarik media untuk terus mengiÂkuti perkembangan produk dan peÂrusahaan produsennya.