Untitled-4Bersama N. Syamsuddin Ch. Haesy

SERINGKALI kita men­dengar tentang brand dan branding. Seba­gian orang memandang branding dan brand sebagai satu kesatuan tak terpisahkan. Seo­lah-olah branding melulu harus terkait dengan merek.

Walker Smith, Executive Chairman The Futures Compa­ny membedakan brand dengan branding. Dia katakan, “A brand and branding are not the same. Branding is the strategy market­ers use to build a brand. Brand­ing sets expectations about the value proposition that is a brand. Apps can be brands, but most brands are not apps, and never will be. Not so for brand­ing, however.”

Brand dan branding tidaklah sama. Branding adalah strategi yang digunakan pemasar (mar­keter) untuk membangun brand. Branding merupakan cara yang dilakukan untuk menetapkan harapan tentang proposisi nilai atas brand sebuah produk. Ap­likasi mendapatkan brand, tapi brand tidak dengan sendirinya merupakan aplikasi. Branding merupakan cara yang dipilih se­bagai pernyataan nilai atas mer­ek sebuah produk. Karenanya, harus secara sadar dan subyektif dinyatakan.

Philip Kotler dan Gary Am­strong dalam prinsip-prinsip pemasaran mendefinisikan, brand merupakan merek, isti­lah, simbol (atau kombinasinya), yang mengidentifikasi produk, pembuat produk, dan penjual produk itu. Akan halnya Tailor, mendefinisikan brand sebagai ‘alat pemasaran yang memung­kinkan konsumen mengenali produk’ dan kapasitas produ­sennya.

BACA JUGA :  Cemilan Selesai Teraweh, Pisang Goreng Madu yang Simpel dan Praktis

Branding berkaitan dengan peningkatan nilai kelezatan dan kemampuan memelihara standar kelezatannya. Akan halnya brand itu sendiri, meru­pakan proposisi nilai. Yaitu, terpenuhinya hasrat konsumen ketika mereka membeli produk atau layanan.

Kualitas dan proposisi nilai suatu produk, menjadi penentu apakah produk tersebut (apa­pun mereknya) mampu melam­paui kualitas dan proposisi nilai produk lain. Brand yang kuat harus dibarengi dengan proses branding secara penetratif dan hipodermis.

Kualitas dan proposisi nilai produk semakin berarti, ketika produsen secara sadar meletak­kan produk tersebut ke dalam benak dan hati para konsumen. Untuk meletakkan produk terse­but, diperlukan pendekatan tak­tikal (antara lain melalui iklan atau reklame). Tetapi, pemasan­gan iklan pun harus dilakukan pada media yang tepat, media yang sesuai dengan standar kual­itas dan proposisi nilai produk, tidak di sembarang media. Branding yang kuat hanya akan terpelihara, ketika diiklankan di media yang tepat dan layak.

Tepat sasarannya (jelas siapa konsumennya) dan mempunyai daya beli produk yang memadai. Media yang jelas karakternya, menawarkan simpati dan empati. Itulah yang disebut media strat­egis. Bukan sekadar tersebar luas di pasar.

BACA JUGA :  Takjil Buka Puasa dengan Bubur Mutiara, Ini Dia Resepnya

Media yang strategis (tepat dan layak) akan memberi dua hal seka­ligus: profit dan benefit (keuntun­gan dan manfaat). Media semacam ini merupakan lintasan strategis branding yang menyajikan informa­si lebih fokus dan inovatif, di antara ragam media yang menjamur dan membanjiri pasar.

Bagi Hermawan Kertajaya, pa­kar pemasaran Indonesia yang juga pendiri dan President MarkPlus, untuk membangun brand yang kuat, produsen tak boleh hanya mengandalkan iklan. Perusahaan harus melakukan sesuatu yang mengena di benak konsumen, tidak sekadar menjual tetapi memiliki implikasi jangka panjang.

Cara baru membangun brand, menurut Hermawan, adalah mem­bentuk bisnis dengan reputasi baik. Bagi konsumen, reputasi yang baik akan menentukan keputusan mem­beli. Bagi karyawan perusahaan, reputasi baik akan memicu komit­men dan loyalitas. Reputasi juga bisa mengundang investor untuk menanamkan modalnya.

Bahkan, reputasi yang baik akan menarik media untuk terus mengi­kuti perkembangan produk dan pe­rusahaan produsennya.

============================================================
============================================================
============================================================