SEBAGAIMANA halnya dengan kemaluan, telinga dan mulut yang tidak boleh dipergunakan sembarangan. Pedoman etik kehidupan masyarakat Sunda yang berkembang di Pakuan, dan akhirnya menjadi sistem nilai yang disebut pamali (larangan), juga mengatur tentang bagaimana menggunakan lidah.
Bang Sem Haesy
SANGHYANG Siksakanda ing Karesian, menyebut: Letah ulah salah nu dirasakeun kenana dora bancana, sangkan urang nemu mala na lunas papa naraka; hengan lamunna kapahayu ma sinengguh utama bijilna ti letah. (Lidah jangan salah kecap kaÂÂrena menjadi pintu bencana, peÂÂnyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun bila lidah terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang beÂÂrasal dari lidah). Lidah tak hanya alat perasa, tidak pula berfungsi menjadi molen mouth. Lidah juga berÂÂfungsi sebagai alat ucap, seÂÂhingga kita dapat mengolah akÂÂsara dalam rangkaian ucap dan ujaran dalam berkomunikasi. Kesejahteraan hidup manusia dapat menjadi terasa nyaman dan sebaliknya (tidak nyaman) hanya karena ketidakmampÂÂuan kita mengelola lidah.
Pemimpin dan rakyat yang tidak mampu mengelola lidahnÂÂya akan menjadi sumber petaka bagi masyarakatnya. Karena ucapan atau ujaran yang keluar melalui mulut dan bersentuhan dengan lidah, akan menciptaÂÂkan situasi atau kondisi yang tenang damai atau sebaliknya.
Lidah yang tak terkenÂÂdali dalam praktik komunikasi (personal sampai sosial) dapat menimbulkan gosip, rumors, ghibah, buhtan, dan fitnah. Bisa juga mengalir sebagai namimah (ucapan yang mengadu domba dan menimbulkan kegaduhan).
Ketidakmampuan Ratu Sakti mengelola lidah, berbuah kezaliman dan penzaliman terÂÂstruktur yang melumpuhkan Pajajaran. Begitu juga ketidakÂÂmauan memberikan aksentuasi atas lidah untuk memberikan arah penyelenggaraan pemerÂÂintahan dan pemberdayaan masyarakat, membuat Ratu Nilakendra harus hengkang dari Pakuan. Akhirnya memÂÂbuat Pajajaran murba.
Hal ini disadari betul oleh Suryakencana yang menata leÂÂtah, dengan berusaha mengemÂÂbalikan lagi praktik pedoman hidup yang diisyaratkan SanÂÂghyang Siksakanda. Tapi, dia terlambat. Ucapan dan pernyÂÂataannya yang mengandung spirit kebangkitan melalui keÂÂbajikan, tidak sampai secara beÂÂnar di kalangan rakyat. Bahkan di kalangan para wiku yang keÂÂmudian menyingkir ke Mandala Kanekes.
Distorsi komunikasi ini, meÂÂlemahkan pertahanan rakyat, dan membuat Suryakencana tak segera memperoleh dukunÂÂgan rakyat untuk membangkitÂÂkan kembali Pajajaran sampai dia mangkat.
Lidah merupakan organ viÂÂtal mulut dalam konteks komuÂÂnikasi maupun dalam konteks memamah makanan untuk memperoleh asupan makanan yang sehat. Ketidakmauan dan ketidakmampuan mengelola letah, dengan sendirinya menÂÂunjukkan ketidakmampuan mengelola sungut.
Sanghyang Siksakanda ing Karesian, memberi pedoman : Sungut ulah barang carek kenana dora bancana na luna papa naraka; hengan lamun kapahayu ma sinengguh utama bijilnya ti leungeun. (Mulut janÂÂgan sembarang bicara karena menjadi pintu bencana di dasar kenistaan neraka; namun bila mulut terpelihara. kita akan mendapat keutamaan yang beÂÂrasal dari mulut).
Sembarangan bicara memÂÂbawa petaka, seperti yang keÂÂmudian kita kenal dalam pepÂÂatah: mulutmu harimaumu, mulutmu sembilu yang akan menorehkan luka pada orang lain dan mencelakakanmu. Antara lain, melalui penistaan, penghinaan, dan ujaran kebenÂÂcian.