naga59-564c946d307a618b15b336b5SEBAGAIMANA halnya dengan kemaluan, telinga dan mulut yang tidak boleh dipergunakan sembarangan. Pedoman etik kehidupan masyarakat Sunda yang berkembang di Pakuan, dan akhirnya menjadi sistem nilai yang disebut pamali (larangan), juga mengatur tentang bagaimana menggunakan lidah.

Bang Sem Haesy

SANGHYANG Siksakanda ing Karesian, menyebut: Letah ulah salah nu dirasakeun kenana dora bancana, sangkan urang nemu mala na lunas papa naraka; hengan lamunna kapahayu ma sinengguh utama bijilna ti letah. (Lidah jangan salah kecap ka­rena menjadi pintu bencana, pe­nyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun bila lidah terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang be­rasal dari lidah). Lidah tak hanya alat perasa, tidak pula berfungsi menjadi molen mouth. Lidah juga ber­fungsi sebagai alat ucap, se­hingga kita dapat mengolah ak­sara dalam rangkaian ucap dan ujaran dalam berkomunikasi. Kesejahteraan hidup manusia dapat menjadi terasa nyaman dan sebaliknya (tidak nyaman) hanya karena ketidakmamp­uan kita mengelola lidah.

BACA JUGA :  Lauk Sehat Rendah Lemak dengan Ikan Kukus Asam Pedas

Pemimpin dan rakyat yang tidak mampu mengelola lidahn­ya akan menjadi sumber petaka bagi masyarakatnya. Karena ucapan atau ujaran yang keluar melalui mulut dan bersentuhan dengan lidah, akan mencipta­kan situasi atau kondisi yang tenang damai atau sebaliknya.

Lidah yang tak terken­dali dalam praktik komunikasi (personal sampai sosial) dapat menimbulkan gosip, rumors, ghibah, buhtan, dan fitnah. Bisa juga mengalir sebagai namimah (ucapan yang mengadu domba dan menimbulkan kegaduhan).

Ketidakmampuan Ratu Sakti mengelola lidah, berbuah kezaliman dan penzaliman ter­struktur yang melumpuhkan Pajajaran. Begitu juga ketidak­mauan memberikan aksentuasi atas lidah untuk memberikan arah penyelenggaraan pemer­intahan dan pemberdayaan masyarakat, membuat Ratu Nilakendra harus hengkang dari Pakuan. Akhirnya mem­buat Pajajaran murba.

Hal ini disadari betul oleh Suryakencana yang menata le­tah, dengan berusaha mengem­balikan lagi praktik pedoman hidup yang diisyaratkan San­ghyang Siksakanda. Tapi, dia terlambat. Ucapan dan perny­ataannya yang mengandung spirit kebangkitan melalui ke­bajikan, tidak sampai secara be­nar di kalangan rakyat. Bahkan di kalangan para wiku yang ke­mudian menyingkir ke Mandala Kanekes.

BACA JUGA :  Kemenangan Timnas Indonesia jadi Modal Penentu Kontra Jordania

Distorsi komunikasi ini, me­lemahkan pertahanan rakyat, dan membuat Suryakencana tak segera memperoleh dukun­gan rakyat untuk membangkit­kan kembali Pajajaran sampai dia mangkat.

Lidah merupakan organ vi­tal mulut dalam konteks komu­nikasi maupun dalam konteks memamah makanan untuk memperoleh asupan makanan yang sehat. Ketidakmauan dan ketidakmampuan mengelola letah, dengan sendirinya men­unjukkan ketidakmampuan mengelola sungut.

Sanghyang Siksakanda ing Karesian, memberi pedoman : Sungut ulah barang carek kenana dora bancana na luna papa naraka; hengan lamun kapahayu ma sinengguh utama bijilnya ti leungeun. (Mulut jan­gan sembarang bicara karena menjadi pintu bencana di dasar kenistaan neraka; namun bila mulut terpelihara. kita akan mendapat keutamaan yang be­rasal dari mulut).

Sembarangan bicara mem­bawa petaka, seperti yang ke­mudian kita kenal dalam pep­atah: mulutmu harimaumu, mulutmu sembilu yang akan menorehkan luka pada orang lain dan mencelakakanmu. Antara lain, melalui penistaan, penghinaan, dan ujaran keben­cian.

============================================================
============================================================
============================================================