2901situs3BERJALANLAH ke arah Rancamaya dan perhatikan dengan seksama relief alam di sana. Kawasan itu merupakan daerah yang meninggalkan sisa kerjanyata Prabu Sriba­duga Maharaja yang legend­aris. Yaitu, pembangunan infrastruktur berupa Sakakala Gugunungan, tanda peringatan berupa perbukitan buatan.

Oleh : Bang Sem Haesy

Sasakala gugunungan, kemudian kita kenal sebagai bukit Badigul sepanjang 7 (tujuh) kilometer di sebelah tenggara kota Bogor kini. Uniknya, bukit ini berbentuk pa­rabola, yang sebagiannya kini nam­pak kering dibandingkan dengan bukit-bukit di sekelilingnya. Kaki bukit ini terhubung dengan tepi telaga Rena Mahawijaya, yang kini sudah menjadi permukiman.

Sasakala gugunungan itu, dilengkapi dengan jalan berbalay (jalan dengan penetrasi bebatuan) yang pada tahun 1687 ditemukan oleh ekspedisi Scipio, antara Bo­gor – Rancamaya. Jalan ini sangat rapi dan nampak pembangunan­nya didesain dengan teliti. Tahun 1690, Adolf Winkler menemukan sebuah jalan berbatu yang lebih rapi, tak jauh dari lokasi Prasasti Rancamaya.

7 (tujuh) batang beringin me­nandai jalan yang terhubung ke wilayah paseban, disertai dengan sisa bangunan keraton. Winkler meyakini, itulah salah satu pening­galan fisik Pajajaran yang bisa dite­mukan, karena pada dasarnya, yang ditinggalkan para raja Pajajaran leb­ih banyak sistem nilai kehidupan.

BACA JUGA : 

Seperti pembangunan in­frastruktur lainnya, jalan ini juga dilengkapi dengan hutan (leuwe­ung), yang disebut samada. Yaitu, hutan yang teri ragam pepohonan, yang kayunya wangi dan dipergu­nakan untuk pembakaran jenazah. Jenis pohon kayu itu, sama dengan kayu yang tumbuh di desa Trunyan – Bali. Kayu samida sebagaimana halnya pinus, mengandung terpen­tin, sehingga mudah terbakar.

Jenis hutan samida ini juga ditemukan Winkler tumbuh di perbatasan Pakuan. Itu sebabnya, tanda khas dari Pakuan sebagai ibukota kala itu, adalah wangi. Saya menyebutnya sebagai aro­ma Pakuan, yang memengaruhi udara Pakuan ketika itu, sehingga masyarakatnya juga disehatkan oleh udara yang dihasilkan oleh hutan samida. Layaknya kita men­dapatkan aroma terapi kayu khas, bila kita pergi ke spa kini.

Secara filosofis, korelasi in­frastruktur dengan hutan yang me­nyertai dan melindunginya, mem­berikan gambaran, bagaimana desain pembangunan fisik mesti senantiasa memperhatikan as­pek harmoni dengan alam. Dalam konteks itu berlaku prinsip, ketika pembangunan infrastruktur harus mengorbankan hutan (tatangka­lan), maka pada saat pembangu­nan dilakukan, harus ditanam jum­lah tatangkalan sama banyaknya dengan yang ditebang. Dengan de­mikian produksi O2 yang dihasilkan tetap dalam volume yang sama.

BACA JUGA :  Enak dan Menyehatkan Tubuh, Ini Dia 5 Manfaat Konsumsi Sarang Burung Walet

Setiap pembangunan in­frastruktur, baik berupa jalan atau bangunan, harus terlebih dahulu menghitung dengan teliti dan sek­sama, top soil yang akan dikupas dan tanah yang akan digali. Maka pada saat bersamaan, seluruh jenis flora yang terdapat di atas lapisan tanah itu, tidak dibuang begitu saja.

Dalam konteks policy design, atau rancang kebijakan, kini dapat dipertimbangkan peraturan dae­rah, bahwa di setiap proyek pem­bangunan harus tersedia tempat mengamankan top soil, sekaligus tempat penyemaian flora yang ter­dapat di areal itu. Dengan demikian, ketika pembangunan infrastruktur selesai, top soil dan beragam jenis flora semula dapat ditempatkan lagi di lokasi yang bersangkutan.

Dengan cara demikian, maka jenis flora dan fauna, termasuk yang berada di dalam tanah, akan tetap hidup dan ketika ditempat­kan kembali setelah pembangunan usai, dapat meneruskan fungsinya semula. Termasuk memelihara ke­seimbangan alam.

============================================================
============================================================
============================================================