Kebijakan ekonomi Presiden Joko Widodo yang sangat terbuka, mengharuskan Indonesia bergabung dalam Trans Pacific Partnership (TPP). Namun di Indonesia sendiri, keinginan Jokowi ini menuai pro dan kontra. Apa untungnya masuk TPP?
Oleh : Alfian Mujani
[email protected]
TPP adalah pakta perdaÂgangan antar negara di Asia Pasifik yang berangÂgotakan 12 negara. Yakni Amerika Serikat, Jepang, Brunei, Chile, New Zealand, Singapura, Australia, Kanada, Malaysia, MeÂksiko, Peru, dan Vietnam. Banyak kalangan mencemaskan Indonesia diserbu barang impor dari 12 negara tersebut.
 Namun Kementerian PerdaÂgangan (Kemendag) melihat seÂbaliknya. Negara-negara anggota TPP tersebut dianggap sebagai pasar potensial bagi produk-produk Indonesia. AS dan Jepang, misalnya, merupakan pasar utaÂma ekspor Indonesia. Bila IndoÂnesia tak bergabung dalam TPP, pasar ekspor tersebut akan dicaÂplok oleh negara lain yang sudah menjadi anggota TPP, misalnya Vietnam.
Selain mempertahankan pasar ekspor, Indonesia juga bisa menÂingkatkan ekspornya dengan merÂebut pasar di negara-negara angÂgota TPP, dari negara-negara yang tidak ikut dalam TPP.
“Bergabungnya Indonesia pada TPP dapat mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar kita, antara lain atas berbagai produk manufaktur maupun produk primÂer,†kata Direktur Kerjasama APEC dan Organisasi Internasional KeÂmendag, Deny Kurnia, kepada deÂtikFinance, Selasa (3/11/2015).
Deny menyebut, sejumlah produk manufaktur Indonesia yang bisa digenjot ekspornya ke negara-negara anggota TPP. UnÂtuk manufaktur, misalnya tekstil, pakaian dan alas kaki, produk kaÂret, mesin dan peralatan, produk plastik, produk logam, furniture, dan produk kulit. “Kemudian untuk produk primer, misalnya kayu, makanan, minyak nabati, pulp dan produk perikanan,†jeÂlasnya.
Diaakui, TPP tentu bakal menÂimbulkan implikasi negatif juga seÂlain keuntungan. Dalam negosiasi dengan anggota-anggota TPP, InÂdonesia pasti harus mengorbankan sesuatu untuk memperoleh keunÂtungan. Sebab, tak mungkin IndoÂnesia bisa memaksakan kepentÂingannya sendiri tanpa kompromi dengan negara lain.
“Dalam pengembangan tata aturan perdagangan internasional, proses perundingan itu sendiri merupakan perjuangan untuk sedikit banyak akan menciptakan balance pembagian keuntungan di antara peserta. Dengan demikian, jika dipandang ada kerugian, boleh jadi itu hanya persepsi dan opini,†tutupnya.
Menurut Deny Kurnia, berÂdasarkan prinsip ‘high quality 21st century agreement’, liberalisasi TPP mencakup hampir seluruh sektor perdagangan barang dan jasa. Pengecualian hanya diberikan pada beberapa produk pertanian seperti beras, jagung, dan beberaÂpa komoditi pangan lain.
Tetapi, Deny menambahkan, bukan berarti Indonesia harus langsung membuka nyaris seluruh sektor perdagangan barang dan jasa begitu masuk TPP. Akan ada negosiasi terkait sejauh mana libÂeralisasi yang harus dilakukan InÂdonesia ketika bergabung.
“TPP mengatur program pengÂhapusan atau penurunan hamÂbatan tarif maupun non-tarif, serta perdagangan jasa. Kepastian ruang lingkup liberalisasi yang harus diÂlakukan Indonesia jika bergabung dengan TPP akan tergantung dari hasil perundingan,†kata Deny.
Deny berpendapat, liberalisasi perdagangan adalah keniscayaan yang harus dilakukan oleh semua negara untuk memajukan pereÂkonomiannya. Indonesia pun mau tak mau juga harus melakukannya dalam rangka meningkatkan daya saing.
“Mengapa liberalisasi dipanÂdang sebagai kerugian? Pada akhirnya semua melakukannya sebagai jalan untuk menjadikan perekonomian lebih sehat, efisien, dan berdaya saing,†pungkas Deny.