OLEH: PARNI HADI
HIDUP itu ibarat poÂhon. Hidup tanpa cinta ibarat pohon tanpa bunga atau buah. Cinta tanpa keindahan ibarat buah tanpa biji atau bunga tanpa bau harumnya. “Life, love and beauty†adalah sebuah kesatuan, begitu pesan yang saya peroleh setelah membaca puisi penyair Libanon, Khahlil Gibran.
Sengaja saya pilih berbicara tentang cinta (love) dalam kaitannya dengan hidup (life) dan keindahan (beauty) ketika berhadapan dengan 46 pemuda dari 18 negara, peserta “Interfaith Youth Camp†yang diselenggarakan DD di KaliÂurang, Yogyakarta, tahun lalu.
Sesuai namanya Interfaith, atau lintas keÂpercayaan, para pemuda itu, pria dan wanita, termasuk dari Indonesia, beragama macam-macam. Mayoritas Islam, tapi ada yang Kristen, Katholik, Hindu dan Buddha.
 Cinta menyatukan mereka dalam suatu perhelatan yang dikemas dengan nama perkemahan sebagai ajang dialog. Cinta merajut mereka menuju satu tujuan, tanpa memandang latar belakang agama, kebangÂsaan dan ideologi politik. Satu tujuan itu adaÂlah: perdamaian (peace). Hidup berdampinÂgan secara damai sering terusik oleh konflik. Mencegah terjadinya dan mencari solusi atas konflik karena perbedaan keyakinan agama adalah tujuan pertemuan itu.
Apa yang menyatukan seluruh umat maÂnusia sedunia? Jawabnya adalah kehidupan. Lebih jelasnya, upaya untuk mempertahankan hidup (survival) dari ancaman. Ancaman terÂbesar bagi kehidupan adalah konflik yang beÂreskalasi menjadi perang. Ancaman lain adalah bencana, baik karena peristiwa alam maupun lebih-lebih buatan (kesalahan) manusia.
“There is nothing worth your lifeâ€, begitu bunyi sebuah ungkapan. Artinya, tiada sesuatu apa pun yang lebih berharga daripada hidupÂmu. Untuk itu, upaya untuk tetap hidup bersaÂma harus terus digalang dengan menumbuhÂkan cinta atau rasa welas asih (compassion) melalui dialog yang saling memahami dan saling menghargai menuju kerjasama saling menguntungkan dan memberi martabat.
Penderitaan akibat bencana dan keÂcelakaan sering menyatukan umat manusia. Tapi, bersatu dalam kebahagiaan atau kegÂembiraan (happiness or joy) jauh lebih baik daripada dalam penderitaan.
Sebagai orang yang dituakan dalam perÂtemuan itu, saya berupaya mengaitkan kegÂiatan itu dengan sesuatu yang mengandung empat anasir yang menyatukan seluruh umat manusia itu: “Life, Love, Beauty and Joyâ€. Menanam pohon adalah sesuatu itu.
Perubahan iklim global mengancam keÂhidupan seluruh umat manusia dan menanÂam pohon adalah salah satu solusinya. Pohon adalah lambang kehidupan dan tiada kehiduÂpan tanpa cinta. Jadi, menanam pohon sama dengan menanam cinta.
Maka, saya ajak para peserta dan angÂgota panitia penyelenggara bersama-sama menanam pohon yang memberi faedah, baik bunga, buah,kayu dan keindahan yang ditÂimbulkannya. Tempat menanam pohon itu haruslah strategis dan bersejarah, sehingga mudah dan menarik untuk dikunjungi.
Alhamdulillah, ada wisma RRI di KaliÂurang, yang berpekarangan luas. Rumah raÂdio perjuangan itu sempat ditinggali keluarga almarhum Taufik Kiemas, mantan Ketua MPR RI dan suami Megawati, sewaktu perang gerÂilya pasca Proklamasi 17 Agustus, 1945. Dirut RRI, Ibu Niken Widiastuti, setuju pekarangan wisma itu dijadikan taman dengan nama “Youth for Peace Gardenâ€.
Para pemuda itu sambil menyanyikan jingle “Green Radio, yo yo, yo, make the world green through radioâ€, dengan suka cita menanam poÂhon yang menyandang nama dan asal negara masing-masing. Taman itu dikelola bersama oleh RRI dan DD, yang memang sudah bekerÂjasama dalam aksi Green Radio dan Sedekah PoÂhon di beberapa daerah sejak beberapa tahun.
Sebagai penggagas program Green RaÂdio, saya membayangkan suatu hari nanti para peserta itu akan kembali lagi ke tempat itu bersama anggota keluarga untuk melihat pohon mereka masing-masing hidup, tumÂbuh, berbunga, berbuah, memperindah lingÂkungan dan membahagiakan. (*)