JAKARTA, TODAY — Polemik seputar penyelenggaraan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) terus bergulir. Setelah Majelis Ulama IndoneÂsia (MUI), kini giliran Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menggugat sistem BPJS. Para peneliti LIPI menyatakan manajemen BPJS masih meÂlanggar undang-undang.
Peneliti LIPI, Sri SunaÂrti Purwaningsih mengkritik Sistem Jaminan Sosial Negara (SJSN) belum sepenuhnya merangkul para pekerja sektor informal. Meski sudah masuk dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 tenÂtang SJSN, realita di lapangan membukÂtikan pekerja sektor ini masih asing denÂgan konsep jaminan tersebut. “Padahal kaum ini berada di garis batas (antara miskin dan tak miskin) dan tinggal di kawasan kumuh yang rentan penyakit,†ujarnya, Selasa (11/8/2015).
Kelompok masyarakat yang ia maksud merupakan buruh-buruh miÂgran yang jam kerja dan pendapatanÂnya tak tetap, seperti asisten rumah tangga (ART).
Berdasarkan penelitian yang diÂlakukan Sunarti di beberapa kota sepÂerti Tangerang, Bogor, Depok, BandÂung, Surabaya, dan Makassar, tingkat kesadaran masyarakat pekerja sektor ini masih rendah. Dari survei terakhir yang dilangsungkan di Surabaya tahun ini, hanya 35 persen ART yang sudah mendaftar jadi peserta BPJS. Di MakasÂsar pun, dari 151 pekerja informal yang mereka wawancarai, 99 persen tak faÂmiliar dengan sistem jaminan sosial ini.
Bagi yang sudah awam dan terdafÂtar pun, realisasi sistem pencairan dana BPJS tak seindah yang dijanjikan. MereÂka kerap menerima penolakan lantaran tak memiliki identitas setempat karena mayoritas merupakan pendatang.
Padahal, dalam UU SJSN disebutkan kalau jaminan ini bersifat portabilitas atau berlaku universal di instansi yang bekerja sama. Mereka yang sudah sakit-sakitan dan dengan dana yang terbatas harus menempuh perjalanan ke daerah asal untuk menerima pengobatan. “BeÂlum lagi sistem yang bersifat per tahap dan berdasarkan rekomendasi. MaÂsyarakat sulit mengerti dan juga kereÂpotan,†kata Sunarti.
Ia berharap pemerintah dapat meninÂgkatkan jaminan sosial dan perlindungan terhadap masyarakat sektor ini ke depanÂnya dengan memperketat pengawasan dan memastikan jaminan terealisasi.
Terpisah, Anggota Dewan Jaminan Nasional, Bambang Purwoko memiliki pendapat berbeda soal jaminan unÂtuk pekerja informal ini. Menurut dia, ketimbang meningkatkan persentase realisasi jaminan, sebaiknya pemerinÂtah fokus menurunkan angka pekerja sektor informal. “Soalnya, tingginya angka pekerja informal menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mewujudÂkan perlindungan sosial,†kata dia.
Tercantum dalam UUD 1945, kewaÂjiban pemerintah adalah menyediakan lapangan kerja bagi seluruh masyaraÂkat. Tingginya angka pekerja sektor inÂformal membuktikan pemerintah telah gagal menjalankan amanah ini. Jumlah mereka mencapai 70 persen total peÂkerja nasional.
Menurut Bambang, tugas pemerÂintah selanjutnya adalah mendorong pemerintah daerah untuk menambah angka lapangan kerja dan mendorong para pekerja informal ini ke sektor forÂmal. “Jadi ada realisasi perlindungan sosial,†kata dia.
Pemerintah masih memiliki pekerÂjaan rumah yang menumpuk terkait pelaksanaan SJSN ini. Selain pelaksaÂnaan yang membingungkan, sistem sosialisasi serta pengawasan juga harus ditingkatkan. Kisruh akibat pencairan dana pensiun yang diubah per 1 Juli lalu dapat menjadi cermin refleksi untuk perbaikan pelaksanaan sistem jaminan sosial ke depannya.
Butuh Banyak Revisi
Polemik terkait BPJS memang deras mengalir. Yang paling baru adalah ketiÂdakcocokan persepsi soal pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT). PemerinÂtah sata ini tengah mengupayakan revisi PP Jaminan Hari Tua (JHT) untuk menÂgakomodir pencairan JHT bisa dilakuÂkan oleh pekerja yang ter-PHK.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menambahkan, pemerÂintah harus terlebih dahulu merevisi UU SJSN-nya supaya ada cantolan hukum bagi PP JHT yang akan membolehkan pekerja yang ter-PHK mencairkan JHT secara keseluruhan. “Tanpa revisi UU SJSN, maka revisi PP JHT akan sulit diÂlaksanakan karena akan dianggap meÂlanggar Undang-Undang,†katanya.
Ia menambahkan, selain point tersebut, BPJS Watch juga memberikan beberapa usulan revisi tentang isi PP JHT saat ini yaitu :
Dalam Pasal 4 ayat 2, harus meÂmasukkan tentang ketentuan Pekerja Penerima Upah (PPU) utk lembaga sosÂial keagamaan atau yayasan. PP JHT hrs patuh pada ketentuan UU KetenagakerÂjaan untuk mendefinisikan siapa peserÂta JHT dari unsur PPU.
Selanjutnya, Pasal 22 tenteng denda 2% yg di PP dinyatakan sebagai dana jaminan sosial (DJS), denda itu harus diakumulasi ke dana JHT pekerja, buÂkan jadi DJS. “Kenapa? Karena dengan keterlambatan berarti mengurangi imÂbal hasil yang harusnya diterima PekerÂja. Nah denda tersebut harus dijadikan pengganti kerugian tersebut,†ujarnya.
Dalam Pasal 26 ayat 1d, harus ada syarat minimal kepesertaan bagi TKA yang mau ambil JHT nya, minimal 3 tahun. Dan Pasal 16 tentang iuran, seharusnya iuran JHT jadi 7% dengan perincian iuran dari pemberi kerja 4% dan pekerja 3%. “Selama ini iuran 5.7% relatif rendah dan tidak optimal menÂdukung tabungan pekerja di JHT,†kata Timboel.
Tentang imbal hasil JHT, menurutnya harus lebih besar dari rata rata deposito 10 bank besar. Jangan hanya berpatokan pada bank-bank pemerintah. Bila hanya mengacu pada rata-rata deposito bank pemerintah maka imbal hasil JHT akan relatif kecil.
(Yuska Apitya Aji)