SEKITAR 10 tahun yang lalu, badan usaha miÂlik negara yang mengelola layanan transportasi kereta api (KA) selalu merugi. Padahal, penumÂpang kereta kerap membeludak sehingga memÂbuat gerbong penuh sesak oleh penumpang yang tidak kebagian tempat duduk. Puluhan hingga ratusan orang menumpang kereta denÂgan duduk di atas gerbong menjadi pemandanÂgan biasa.
Penumpang tidak harus membeli tiket, cuÂkup membayar petugas di kereta. Tentu dengan jumlah uang yang lebih kecil ketimbang memÂbeli tiket. Calo-calo bergentayangan, memboÂrong tiket, siap memangsa calon penumpang dengan harga tiket yang berlipat-lipat.
Kini, petugas nakal dan para calo tidak berÂkutik. Celah penyelewengan ditutup sistem penÂjualan tiket yang transparan dengan akses pubÂlik yang luas. Jika disandingkan dengan sistem layanan KA, penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA) masih setara era sebelum satu dekade lalu. Celah-celah penyelewengan bertaÂburan di banyak tempat. Ruang-ruang gelap seakan dibiarkan untuk menaungi sepak terjang mafia peradilan.
Para calo perkara leluasa mengatur kapan salinan putusan diterbitkan. Waktunya bisa taÂhunan, bergantung pada keinginan pemesan. Bahkan, dalam kondisi tertentu, ketika kerja sama dengan hakim agung terjalin erat, mereka bisa menentukan hasil putusan sesuai dengan pesanan. Di tengah kasus suap pejabat di lingÂkungan MA yang diduga melibatkan Sekretaris MA, publik tengah menunggu iktikad baik MA untuk memperbaiki diri. Namun, bukannya memenuhi harapan tersebut, MA cenderung bersikap acuh tak acuh, hanya menyerahkan semua kepada KPK.