Untitled-17KEJAYAAN Pajajaran dan Pakuan di masa Prabu Siliwangi dan Prabu Surawisesa, juga dicapai oleh kepedulian, kemauan, dan kemampuan untuk memilih jalan (strategi) budaya sebagai cara mencapai kesejahter­aan. Termasuk kemauan, kemampuan, dan kesungguhan untuk mem­pelajari dengan seksama budaya yang dimiliki orang (bangsa) lain.

Bang Sem Haesy

DENGAN cara itu, setiap orang Sunda, ketika pergi meran­tau menuntut ilmu, selain mendalami ilmu dan peng­etahuan, juga men­dalami budaya dan kebudayaan. Dalam darma pitutur hal itu dis­ajikan secara implisit den­gan menggunakan simbol-simbol yang mudah dipahami, yaitu : adat dan bahasa.

Hal tersebut terungkap dalam un­gkapan seperti ini : Saur sang darma pitu­tur mujarakeun sabda sang rumuhun. Aya deui babandingna. Kitu upamana urang leumpang ka Jawa, hamo nurut carekna deungeun carana, mangu rasa urang. Anggeus ma urang pulang deui ka Sunda, hanteu bisa carek Jawa, asa hanteu datang nyaba. Poos tuku­na beunang tandang ja hanteu bisa nurut care(k)na.

Kalimat itu dapat dipahami seperti ini: Sang darma pitutur mengajarkan ucap para leluhur dan perbandingannya dengan adat istiadat dan bahasa dari daerah dan negeri lain.. Diump­amakan: bila kita pergi ke Jawa, lalu kita tidak mengikuti adat istiadat dan bahasanya, yang akan terjadi adalah persaan kita termangu-mangu. Kemudian, ketika kembali ke Sunda, tidak memperoleh pengetahuan dan pemaha­man yang lebih, termasuk tidak dapat berbicara dalam bahasa Jawa. Ibarat seseorang yang bu­kan pulang dari rantau (Seakan-akan tak pergi ke mana-mana). Percuma perantauannya, dan hasil jerih payahnya, sebab tidak tidak mengua­sai adat budayanya.

BACA JUGA :  Rendang Ayam Kampung, Menu Lezat untuk Santapan Keluarga Tercinta

Pada perkembangan peradaban modern, nasihat sang darma pitutur ini menjadi sangat relevan. Paling tidak dalam hal kemampuan berbahasa. Siapa saja yang akan bertugas dan belajar ke luar negeri (seperti ke Inggris, Ameri­ka, dan Australia) dia harus menguasai bahasa Inggris, bahkan dengan standar TOEFL (Test of English as a Foreign Language). Yaitu tes standar untuk mengukur kemampuan bahasa Inggris non-penutur asli yang ingin berada di negara-negara berbahasa Inggris untuk kurun waktu yang lama.

Begitu juga ketika kita akan tinggal dalam waktu lama di negara-negara berbahasa Peran­cis, Jerman, China, Jepang, Arab, dan lainnya. Kita harus memenuhi tes standar, sehingga kita dapat berinteraksi dengan siapa saja dan dalam forum apa saja secara lebih luas.

BACA JUGA :  Resep Membuat Semur Daging Betawi yang Enak Anti Gagal

Dari isyarat sang darma pitutur, dalam hal berbahasa, bukan hanya cakap berbicara dalam bahasa asing, tetapi sekaligus logika bahasanya, sehingga akan dapat dijangkau cakrawala luas terkait dengan budayanya. Dengan cara de­mikian, kita tidak akan mudah larut. Termasuk tidak akan mudah terseret dengan laku budaya yang dalam banyak hal bertentangan dan tidak sesuai dengan adat istiadat dan budaya yang kita miliki. Cara ini memungkinkan kita mem­perpendek jarak budaya, dengan integritas diri yang lebih kokoh dan kuat. Termasuk integritas diri dalam hal spiritualitas dan keyakinan kita.

Mengapa demikian? Supaya kita tidak terje­bak oleh fenomena sosial yang ketika kita bawa pulang, justru akan menghancurkan budaya sendiri. Sebab, manusia sangat mudah larut dalam fenomena.

Secara eksplisit dan implisit hal itu diungkap begini : Kitu urang ianma ini. Ha(ng)ger turun ti niskala hanteu katemu cara dewata, geura-geura dek mangjanma ja ireug tingkahna, hanteu bisa nurut twah nu nyaho. (Demikianlah kita manu­sia. Turun dari alam gaib tapi tak menemukan jalan Tuhan. (Lalu) ingin cepat-cepat menjelma sebagai ‘manusia,’ karena pandir kelakuannya, dan tak mampu meneladani yang baik.

============================================================
============================================================
============================================================