SISTEM politik demokratis dan sistem politik otoriter seringkali disebut sebagai dua ujung spektrum politik yang saling kontradiktif. Sistem politik demokratis sering didefinisikan sebagai sistem politik yang membuka kesempatan bagi adanya partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum.
Oleh: MAHIFAL, SH., MH.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan
Partisipasi ini ditentukan atas dasar mayoritas wakil-wakil rakyat dalam pemiliÂÂhan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesÂÂamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjadinya kebebasan politik. Di negara yang menganut sistem demokrasi terdapat pluraritas organisasi, dimana organisasi-organÂÂisasi penting relatif otonom. Di lihat dari hubungan antara pemerintah dan wakil rakyat, maka dalam sistem poliÂÂtik demokratis terdapat kebebasan bagi rakyat melalui wakil-wakilnya untuk melancarkan kritik terhadap pemerintah.
Sedangkan sistem politik yang otoÂÂriter seringkali didefinisikan sebagai sistem politik yang lebih memungÂÂkinkan negara dapat berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijaksaÂÂnaan negara. Sistem politik otoriter ditandai dengan adanya dorongan elit kekuasaan untuk memaksakan perÂÂsatuan, penghapusan oposisi terbuka, dominasi pimpinan negara untuk meÂÂnentukan kebijaksanaan negara dan dominasi kekuasaan politik oleh elit politik yang kekal serta di balik semua itu ada doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan.
Sistem politik suatu negara tidak bisa diidentifikasi secara mutlak, seÂÂbab dalam kenyataannya tidak ada satu negara pun yang sepenuhnya demokratis atau sepenuhnya otoÂÂriter. Ada kalanya tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah pada negara-negara yang dikualifikasi sebÂÂagai negara demokratis dalam waktu dan kasus tertentu cenderung repreÂÂsif atau otoriter. Demikian sebaliknya di negara-negara yang dikualifikasi sebagai negara otoriter kadangkala ditemui juga tindakan-tindakan yang demokratis.
Selain itu, sistem politik biasanya mengalir sesuai dengan perkemÂÂbangan sosial, ekonomi dan budaya masyarakatnya. Perkembangan dan kemajuan peradaban sosial, ekoÂÂnomi dan budaya masyarakat di duÂÂnia dewasa ini seringkali tidak dapat menunjukkan kemapanan sistem poliÂÂtik negara suatu negara. Ada kalanya tatanan masyarakat yang kehidupan sosial, ekonomi dan budayanya tinggi dikarenakan sistem politik negaranya menganut sistem demokratis, namun demikian tidak sedikit pula yang sistem politik suatu negara yang otoriter juga mampu memberikan jaminan kehiduÂÂpan sosial, ekonomi dan budaya yang layak bagi masyarakatnya.
Bagaimana dengan Indonesia? Termasuk ke dalam kategori apakah sistem politik yang dianut oleh InÂÂdonesia? Sebelum menjawab perÂÂtanyaan-pertanyaan tersebut, ada baiknya bilamana kita sedikit mencerÂÂmati dua hasil penelitian yang dilakuÂÂkan oleh dua pakar politik hukum Indonesia yang masing-masing dari hasil penelitiannya tersebut kemudiÂÂan dituangkan menjadi sebuah buku dan banyak dijadikan sebagai buku acuan dalam memahami politik huÂÂkum di Indonesia pada beberapa proÂÂgram pascasarjana yang mengambil spesifikasi ilmu hukum.
Moh. Mahfud MD dan Benny K. Harman dalam penelitiannya terseÂÂbut mencoba untuk menghadirkan sebuah pendekatan yang berbeda dalam memahami sebuah fenomena politik dan hukum yang berlaku di InÂÂdonesia. Mahfud (1998) dan Harman (1997) melihat hukum dari sudut panÂÂdang yuridis sosio-politis, yaitu mengÂÂhadirkan sistem politik sebagai variaÂÂbel yang mempengaruhi rumusan dan pelaksanaan hukum. Dalam hal ini, kendati objek penelitiannya berbeda, akan tetapi keduanya menggunakan asumsi yang sama, yaitu bahwa ada keterkaitan yang erat antara hukum dan politik. Mahfud (1998) lebih menekankan pada aspek keterkaitan antara konfigurasi politik dan karakÂÂter produk hukum, sedangkan HarÂÂman (1997) lebih menekankan pada aspek keterkaitan antara kehakiman, apakah ia bersifat otonom atau tidak otonom.
Mahfud (1998) pada akhirnya berÂÂkesimpulan bahwa suatu proses dan konfigurasi politik rezim tertentu akan sangat signifikan pengaruhnya terhadap suatu produk hukum yang kemudian dilahirkannya. Dalam negara yang konfigurasi politiknya demokratis, produk hukumnya berkarakter responsif atau populistik, sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya otoriter, produk hukumnya berkarakter ortodoks atau konservaÂÂtif atau elitis. Adapun Harman (1997) menyimpulkan bahwa apabila dalam suatu negara diterapkan suatu konfigÂÂurasi politik yang demokratis, maka karakter kekuasaan kehakiman yang dihasilkan adalah karakter kekuasaan kehakiman yang independen atau otonom. Begitu pula apabila yang diterapkan konfigurasi politik yang otoriter atau totaliter, yang dihasilÂÂkannya adalah karakter kekuasaan kehakiman yang tidak otonom atau tidak bebas.