KABAR gembira untuk para penikmat hiburan malam dan bioskop. Mulai 12 September 2015, pemerintah menghapuskan pajak pertam-bahan nilai (PPN) sebesar 10 persen bagi pengunjung bioskop, diskotik, penonton pertandingan olahraga. Kebijakan ini diambil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, sebagai langkah harmonisasi agar tidak terjadi bayar pajak ganda.
YUSKA APITYA AJI ISWANTO
[email protected]
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 158/PMK.010/2015 tentang Kriteria Jasa Kesenian dan Hiburan yang tidak dikenai PPN, dijelaskan ada delapan jenis jasa kesenian dan hiburan seperti disebutÂkan dalam pasal 2 ayat 2. Diantaranya adalah tontonan film, tontonan pageÂlaran kesenian, tontonan kontes kecanÂtikan, tontonan berupa pameran. Peraturan ini akan diberlakukan pada 12 September 2015. Sebab, berdasarkan buÂnyi pasal 3 dalam PMK tersebut, peraturan mulai berlaku setelah 30 hari terhitung seÂjak tanggal diundangkan. Peraturan ini diÂundangkan pada 13 Agustus 2015.
Menkeu Bambang menjelaskan, pengÂhapusan PPN untuk jasa kesenian dan hiÂburan oleh pemerintah sekadar mengharÂmonisasi aturan. Pasalnya, pajak tersebut sudah dipungut dan dikelola pemerintah daerah. “Peraturan Menteri Keuangan yang kami keluarkan hanya menegaskan atau inÂtinya untuk harmonisasi peraturan karena dalam pajak itu tidak boleh ada double taxÂation, satu objek tidak boleh dikenai pajak dari dua arah,†ujar Bambang.
Ia mengatakan, pajak hiburan sudah dikeluarkan oleh pemda dengan tarif sesuai dengan kebijakan masing-masing. “Dalam aturan, bisa sampai 75%. Akan tetapi, di setiap daerah mempunyai kebijakan masÂing-masing dalam menentukan,†kata BamÂbang.
Sebagai contoh di DKI Jakarta untuk paÂjak hiburan berupa diskotik, karaoke, klab malam, panti pijat, serta mandi uap dan spa dikenai tarif r 20%. Sementara itu, atas objek tersebut di Surabaya dikenai dengan tarif sebesar 35%. Di Bogor, pajak hiburan dikenakan sebesar 10 persen. Disamping juga dikenakan PPN tiket masuk ke tempat hiburan tersebut.
Dengan dikeluarkannya PMK tersebut, dia mengatakan bahwa kini tidak terdapat lagi tabrakan antara penarikan PPN sesuai dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai BaÂrang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas BaÂrang Mewah dan UU PDRD yang diatur UnÂdang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Bambang juga menyangkal pemerintah memberikan kelonggaran perpajakan bagi kegiatan hiburan dan kesenian, termasuk klab malam, diskotik, dan panti pijat, denÂgan adanya peraturan tersebut.
Sementara itu, Anggota Komisi VIII FPKB DPR RI, Maman Imanul Haq meÂnyatakan ketidaksetujuan terhadap kebiÂjakan Menteri Bambang.
“Kita tidak setuju pajak tersebut dihaÂpuskan, justru sebaiknya hiburan-hiburan malam seperti itu semakin diminimalisir,†tegas Maman, di Gedung Nusantara II DPR RI, Jakarta, Kamis (27/08/2015).
Menurut Maman, kalau tempat hiburan semakin banyak dengan harga murah bisa menyebabkan orang akan berbondong-bondong untuk berkunjung. Krisis moralitas bangsa, katanya, sebetulnya dimulai dari penentuan kebijakan apakah memihak kepaÂda kemaslahatan atau tidak. “Penghapusan pajak tempat hiburan itu tentu bisa memacu lebih banyak munculnya diskotik, dan temÂpat hiburan sejenisnya,†cetus Maman. (*)