DALAM hukum perjanjian sahnya perjanjian tidak ditentukan oleh materai. Perjanjian sah apabila memenuhi ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang pada prinsipnya adanya kesepakatan para pihak; Cakap melakukan perbuatan hukum (dalam arti cukup umur, tidak terhalang secara pisik dan mental, dan tidak di bawah pengampuan) ; Tentang obyek atau hal tertentu, dan adanya sebab yang halal.
BAMBANG SUDARSONO
Pemerhati Hukum dan HAM
Namun demikian, Berdasarkan UnÂdang – Undang No. 13 tahun 1985 tenÂtang Bea Materai Juncto Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea MaÂterai, tujuan dikenakan bea matÂerai pada berbagai dokumen (terÂmasuk perjanjian) adalah sebagai pajak Negara dalam rangka mengÂhimpun dana dari masyarakat.
Berdasarkan Pasal 2 PP di atas, telah ditentukan besarnya tarif bea materai untuk perjanjian sebesar Rp.6000,00 (Enam Ribu Rupiah). Adapun tata cara pemÂbubuhan materai diatur lebih lanÂjut dalam Pasal 7 ayat (5) UU No.13 Tahun 1985, pembubuhan tanda tangan disertai pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakuÂkan dengan tinta atau yang sejenÂis dengan itu, sehingga sebagaian tanda tangan ada di atas kertas dan sebagian lagi di atas materai tempel. Jika tidak sesuai dengan ketentuan ini, perjanjian terseÂbut dianggap tidak bermaterai.
Dalam perjanjian fungsi maÂterai tidak hanya sebagai pajak, namun juga sebagai alat bukti manakala terjadi sengketa di anÂtara para pihak yang membuat perjanjian tersebut atau pihak lainÂnya. Hal ini sejalan dengan Pasal 1 UU No.13 Tahun 1985, yang diantaÂranya menentukan bahwa dokuÂmen yang dikenakan bea materai adalah dokumen yang berbentuk surat perjanjian dan surat – surat lainnya yang digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuaÂtan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata. Sehingga, bila doÂkumen tersebut belum bermaterai dan hendak diajukan sebagai alat bukti dalam sidang pengadilan, maka sebelumnya harus dinazÂegeling (pemateraian lebih dulu) oleh pejabat kantor pos. (*)