Oleh: ALEK KARCI KURNIWAN
(Anggota Penuh UKM Pengenalan Hukum dan Politik)
Daya rusak perilaku korupsi sebagai bentuk ketidakadilan tertinggi itu, buÂkan hanya merugiÂkan kas negara, lebih parahnya merobohkan tugu kesepakatan bersama yang berdasar pada keÂadilan yang dicita-citakan dalam kesepakatan bersama (Social ConÂtract) membentuk negara, serta pembunuhan karakter terhadap individu itu sendiri. Makna korupÂsi, sebagai suatu tindakan amoral, tidak sama sekali memihak keÂpentingan bersama, mengabaiÂkan rasa percaya, dan melumuti semua tiang-tiang pancasila.
Seorang politikus korup mengÂgunakan segala macam cara guna meraih kekuasaan di lembaga-lembaga negara pusat dan daerah. Dalam misi kekuasaan itu untuk kepentingan personal atau kelomÂpok semata sehingga mengsuborÂdinasi kepentingan yang lebih beÂsar (kepentingan bersama warga negara).
Di sinilah rumusan permaÂsalahannya, politikus itu umumÂnya berkarakter manusia miopik. Maksudnya, adalah sosok yang hanya sangat peduli akan kepentÂingan dirinya. Paling luas kepentÂingan yang menjadi kepedulian seorang politikus adalah kelomÂpok dan golongannya. Maka adalah suatu yang akan sangat mudah, ketika seorang memegang kekuasaan, terjadi perilaku korup. Karena kekuasaan yang diemban akan sangat mudah untuk diabdiÂkan pada kepentingan pribadi dan kelompok dibanding kepentingan bersama.
Adam Smith dalam bukunya, Wealth of Nation (1776), berkata: “Kita mendapatkan makan malam bukan karena kemurahan hati tukang daging, pembuat bir atau pembuat roti, tetapi dari pengharÂgaan mereka pada kepentingan mereka sendiri. Bukan karena kemanusiaan mereka tapi karena cinta mereka pada dirinya sendiÂri…. Dengan mengejar kepentinÂgan sendiri dia secara tak sengaja mempromosikan kepentingan publik.†Dari hal ini teridentifikasi karakter manusia miopik tersebut.
Perilaku miopik mungkin beÂgitu muskil untuk dihilangkan, namun yang perlu dilakukan adalah mengambil langkah antiÂsipasi guna mereduksi perilaku eksploitatifnya yang merugikan. Maka dari itu, langkah selanjutnya adalah menyusun strategi mengaÂtasi perilaku tersebut.
Dalam konteks ini, perilaku eksploitatif miopisme bisa diceÂgah dengan mengintroduksi: PerÂtama, transparansi. Semua kekayÂaan, aset, sumber masuk-keluar dana parpol sebagai organisasi, semua pimpinan parpol pusat dan daerah dan pejabat publik serta keluarga inti mereka harus ditunÂjukkan secara transparan kepada publik melalui lembaga audit negÂara yang berwenang.
Kedua, para politikus dan parÂpol harus dipaksa membangun inÂtegritas mereka, tentu saja bukan dengan penataran moral dan agaÂma, melainkan dengan mencipÂtakan aturan bahwa semua tamÂbahan kekayaan finansial, aset, dan harta-harta lainnya selama menjabat sebagai pengurus parÂpol (pusat dan daerah) dan para pejabat publik dan keluarga inti mereka harus mempunyai underÂlying transaction yang bisa diperÂtanggungjawabkan (Andi Irawan, 2015).
Negara harus menciptakan konstrain (kendala) yang menyeÂbabkan para politikus dan pejabat publik bisa mengambil keputusan bahwa perilaku korup mereka tiÂdak layak dilakukan. Logika pragÂmatis para manusia miopik adalah suatu tindakan (korupsi) akan seÂlalu layak dilakukan selama tamÂbahan benefit yang didapat dari perilaku tersebut lebih besar dariÂpada tambahan biaya yang mereka terima.
Menghentikan perilaku korup hanya akan efektif jika negara bisa memberikan ekspektasi kepada calon pelakunya bahwa tambahan biaya dari perilaku korup menjadi lebih besar daripada manfaatnya.
Di sinilah urgensi hukuman berat terhadap tindakan yang terÂbukti secara hukum merugikan bangsa dan negara, termasuk huÂkuman mati. Tetapi, tentu saja, itu baru akan efektif jika lembaga negara penegak hukumnya bisa menjalankan tugas penegakan hukum itu dengan baik. Itu juga bermakna yang paling awal harus direformasi dan dibersihkan dari karakter manusia miopik adalah aparatur penegak hukum, khususÂnya hakim, jaksa, dan polisi.
Cita luhur dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, seÂbagaimana yang tercantum pada Alinea Pertama Pembukaan UUD 1945 menjadi paradigma yang mendasar atas mosi membersihÂkan negeri ini dari korupsi. “BahÂwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajaÂhan di atas dunia harus dihapusÂkan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadiÂlanâ€.
Memaknai kemerdekaan adalah bebas dari segala bentuk ketÂertindasan. Ketertindasan yang dimaksud bukannya hanya ketÂertindasan akibat penjajahan koÂlonial asing, namun juga bisa terÂjadi penjajahan dari bangsa kita sendiri.
Laksana Persiden Soekarno dalam pidatonya mengingatkan bahwa, “perjuanganku lebih muÂdah ketimbang perjuangan kalian, karena musuh yang kalian hadapi adalah bangsa kalian sendiri†(PiÂdato Presiden Soekarno pada HUT Proklamasi Tahun 1963). PenjaÂjahan oleh bangsa sendiri itulah yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi. Maka, memaknai hari pahlawan, marilah lanjutkan perjuangan melawan penjajahan: korupsi.
sumber: harianhaluan.com