Oleh: CHALID MUHAMMAD
Ketua Institut Hijau Indonesia
Pertemuan ini sangat penting karena diharapÂkan menghasilkan keÂsepakatan dunia yang mengikat bagi semua negara untuk mencegah bencana mahadahsyat akibat peningkatan suhu bumi dan perubahan iklim.
Panel ahli perubahan iklim yang tergabung di IntergovernÂmental Panel on Climate Change (IPCC) secara tegas menyatakan bahwa bencana dahsyat itu akan terjadi bila suhu bumi meningkat melebihi 2 derajat Celsius dari suhu pada masa praindustrialisaÂsi. Padahal, beberapa ahli memÂperkirakan kemungkinan suhu bumi akan naik hingga 4 derajat jika perundingan iklim gagal.
Beberapa bencana yang poÂtensial terjadi akibat peningkatan suhu bumi yang melebihi 2 derajat Celsius itu antara lain tenggelamÂnya sebagain daratan, termasuk hilangnya banyak negara-negara di pulau-pulau kecil seiring menÂcairnya es di kutub dan meningÂkatnya volume air; ratusan juta manusia mati kelaparan seiring dengan kekeringan panjang di banyak wilayah pertanian produkÂtif dan masih banyak hal mengeriÂkan lain yang belum terbayangkan sebagai akibat pemanasan global.
Kini suhu bumi terus meningÂkat. National Oceanic and AtmoÂspheric Administration (NOAA) menyebutkan bahwa suhu bumi di bulan Juni 2015 mengalami penÂingkatan mencapai 1,26 derajat. Banyak pihak kemudian mencari pembenaran dengan mengatakan bahwa peningkatan ekstrem itu akibat El Nino. Akibatnya alarm bahaya yang disampaikan bumi itu tidak menjadi pertimbangan sangat serius bagi negara-negara yang akan ikut perundingan di Paris nanti.
Hal ini terbukti dari perhitunÂgan sementara atas seluruh komitÂmen negara-negara yang membuat Intended Nationally Determined Contributions (INDCs) atau kontriÂbusi yang dinyatakan untuk menuÂrunkan emisi gas rumah kaca menunjukkan bahwa suhu bumi akan mengalami peningkatan 2,7 derajat Celsius pada 2100.
Situasi ini sangat mengkhaÂwatirkan sehingga diperlukan tekanan ekstrakeras pada seluruh delegasi yang berunding untuk sungguh-sungguh melahirkan keÂsepakatan yang antara lain menÂcantumkan komitmen pemangÂkasan mendalam dan signifikan emisi gas rumah kaca sebagai peÂnyebab utama pemanasan global.
Peta Perundingan
UNFCC berharap COP21 melaÂhirkan Paris Agreement yang berlaku tahun 2020. Menuju keÂsepakatan Paris yang signifikan tentu tidak mudah. Peta kekuaÂtan politik, kepentingan dan poÂsisi negara-negara yang berunding sangat beragam dan kadang berbeÂda diametral. Negara-negara yang tergabung dalam Group of 77 and China (G77+China) yang terdiri atas 133 negara berkembang posisinya berbeda dengan negara-negara industri maju yang tergabung dalam Uni Eropa (28 negara) atau Umbrella Group yang terdiri dari Jepang, Amerika Serikat, AustraÂlia, Kanada, Rusia, Selandia Baru, Norwegia, Kazakstan, Ukraina.
Beberapa blok lain adalah 48 negara dengan ekonomi terenÂdah yang bergabung dalam Least Developed Countries (LDCs); AlliÂance of Small Island States (AOSIS) terdiri dari 43 negara kepulauan kecil yang sangat rentan dampak perubahan iklim; Negara-negara di Afrika yang bergabung dalam African Group; Liga Arab; Alianza Bolivariana para los Pueblos de Nuestra America (ALBA)-terdiri atas Bolivia, Kuba, Ekuador, VenÂezuela, dan Nikaragua; IndepenÂdent Alliance of Latin America and the Caribbean (AILAC) dan beberÂapa blok lain yang bisa berubah sewaktu-waktu tergantung dari bertemunya kepentingan sesaat semasa perundingan.
Peran Indonesia
Indonesia sebagai negara kepÂulauan terbesar di dunia sekaligus pemilik hutan tropis yang luas sesungguhnya dapat mengambil peran lebih dari yang selama ini dimainkan. Indonesia memiliki banyak kekuatan untuk bisa menÂgambil kepemimpinan dalam peÂrundingan iklim di Paris nanti. InÂdonesia adalah bagian dari negara G77+China, juga merupakan angÂgota dari G-20, serta aktif di The Cartagena Dialogue for ProgresÂsive Actions yang beranggotakan 40 negara maju dan berkembang, termasuk yang juga menjadi angÂgota LDCs, Afrika, AOSIS.
Politik bebas aktif yang selama ini dijalankan Indonesia memungÂkinkan kita dengan lincah menÂgajak negara lain untuk secara sungguh-sungguh melahirkan keseÂpakatan Paris yang membawa haraÂpan bagi keselamatan planet bumi.
Kepeloporan Indonesia di Konferensi Asia-Afrika juga dapat menjadi modal tambahan lain. SeÂbagai negara berpenduduk musÂlim terbesar di dunia tentu IndoÂnesia dapat pula mengoptimalkan hubungan dengan negara-negara yang tergabung dalam OrganÂisasi Kerja Sama Islam (OKI) unÂtuk mendukung posisi Indonesia dalam perundingan Paris.
Satu-satunya hambatan bagi Indonesia untuk tampil meÂmimpin pelurusan jalannya peÂrundingan iklim di Paris adalah masalah kebakaran hutan dan lahan. Selama 18 tahun peristiwa kebakaran itu terus terulang dan menyebabkan pelepasan karbon ke atmosfer dalam jumlah sangat banyak.
Masalah kebakaran memang sangat krusial dan menjadi perÂhatian serius di dalam dan luar negeri. Pernyataan tegas Presiden Joko Widodo terkait masalah kebaÂkaran hutan dan lahan termasuk mencabut izin perusahaan pemÂbakar hutan dan lahan, menghuÂkum mereka hingga memulihkan ekosistem rawa gambut seharusÂnya telah cukup menjadi perisai bagi seluruh tuduhan terhadap Indonesia.
Bukti nyata atas janji Presiden itu tentu akan dilihat setelah peÂrundingan nanti. Apalagi secara historis Indonesia bukanlah konÂtributor utama pelepas emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Negara-negara industri maju tentu jauh lebih bertanggung jawab atas situaÂsi memanasnya suhu bumi saat ini.
Pesan Utama
Untuk mengambil kepeloporÂan dalam meluruskan jalannya perundingan iklim tentu IndoneÂsia perlu mengangkat isu utama yang kuat dan menggugah nurani peserta konferensi. Kalangan maÂsyarakat sipil Indonesia dan jarinÂgan internasional mereka menguÂsung isu keadilan iklim (climate justice).
Walhi dengan jaringan Friends of the Earth International adalah penyokong utama isu ini. Serikat Petani Indonesia (SPI), yang meruÂpakan bagian dari gerakan petani inÂternasional La Via Campesina, juga memainkan peran penting dalam mengusung isu keadilan iklim.
Aliansi Masyarakat Adat NusÂantara (AMAN) adalah organisasi yang sangat disegani di kalangan gerakan masyarakat adat internaÂsional; serta organisasi Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), yang merupakan bagian dari gerakan nelayan internasionÂal, juga memainkan peran dalam isu keadilan iklim.
Koalisi Penyelamatan Hutan Indonesia dan Keadilan Iklim yang beranggotakan antara lain Huma, Debt Watch, Solidaritas PeremÂpuan, juga memainkan peran besar pada kampanye keadilan iklim global. Belum lagi organisasi perempuan yang terbilang aktif menyuarakan hal senada.
Kekuatan yang dimiliki organisasi masyarakat sipil Indonesia perÂlu terkonsolidasi bersama dengan delegasi Republik Indonesia agar menjadi kekuatan kolektif untuk mendorong lahirnya kesepakatan Paris yang dapat mencegah dunia dari bencana iklim yang dahsyat.
Sangat tepat bila pemerintah dan organisasi masyarakat sipil Indonesia bersama-sama mendeÂsak seluruh negara untuk mau melakukan pemangkasan emisi gas rumah kaca secara mendasar dan signifikan dengan tetap berÂpegang pada prinsip common but differentiated responsibilities & respective capability.
Implikasinya adalah baik InÂdonesia maupun seluruh negara mau melakukan koreksi mendasar terhadap model pembangunan rakus sumber daya yang selama ini jauh dari prinsip-prinsip keadiÂlan dan keberlanjutan.
Tak dapat disangkal bahwa bertumpunya kekuatan ekonomi hanya pada segelintir perusahaan transnasional dan multinasional telah menimbulkan ketidakadilan global, kerusakan serius lingkunÂgan hidup, penggunaan energi foÂsil besar-besaran, dan konversi laÂhan yang makin masif. Akibatnya, emisi gas rumah kaca mengalami peningkatan signifikan dan suhu bumi terus meningkat. Karena itu, tak ada alasan melanggengkan model ekonomi yang telah terbukÂti gagal itu.
Semoga peluang emas bagi Indonesia untuk dapat mengamÂbil kepemimpinan perundingan iklim di Paris ini dapat dimanfaatÂkan dengan baik. Selamat jalan ke Paris Bapak Presiden. Berikanlah penduduk planet bumi kado terÂbaik dari Paris sebagai buah dari kepeloporan Indonesia dalam peÂrundingan iklim.
sumber: sindonews.com