TANAH adalah hal penting. Terutama tanah yang disakralkan dalam konteks pewarisan nilai-nilai kesundaan, yang kita kenal dengan isÂtilah Kabuyutan. Dalam diskusi dengan beberapa teman kalangan penggiat pelestarian nilai budaya Sunda, berkembang dialog terkait dengan kabuyutan yang diamanahkan oleh Prabu Siliwangi.
Bang Sem Haesy
AMANAH itu antara lain meÂnyebut, kabuyutan harus diÂjaga dari segala kemungkinan direbut atau dimiliki orang asing. Bahkan, bila terjadi perang, salah satu hal utama yang harus dijaga adalah dan dipertahankan adalah kabuyutan.
Dalam hal mempertahankan kabuyutan, berlaku prinsip : kuÂlit lasun (musang) yang berada di tempat sampah, jauh lebih berÂharga daripada raja yang tidak mampu mempertahankan kaÂbuyutan. Untuk apa?
Kabuyutan atau tanah yang disakralkan, di dalamnya melekat nilai sejarah, yang berfungsi sebagai wahana pendidikan bagi generasi keÂmudian (dari masa ke masa). KabuyuÂtan juga memberi ‘pelajaran’ tentang bagaimana para leluhur, buhun melakuÂkan upaya kuat membangun lingkungan, sehingga berdampak kesejahteraan bagi rakyat. Komitmen dan konsistensi dalam membangun lingkungan, seperti dapat dipelajari dari tanah kabuyutan, memÂberikan isyarat perlunya memelihara dan mengembangkan lingkungan (fisik, sosial, dan budaya), agar generasi baru tidak mudah terombang-ambing oleh peÂrubahan.
Lingkungan merupakan sarana unÂtuk mencapai kesejahteraan dalam keÂhidupan (pakeun urang ngretakeun bumi lamba), jalan yang benderang (caang jalan), menyuburkan tanaman (panjang tajur), paka pridana (cukup sandang), bersih halaman rumah – mencerminkan kemuliaan (linyih pipir caang buruan).
Lingkungan yang baik (sehat, cerdas, sehingga mendorong lingkungan mamÂpu secara ekonomi) dan dikelola secara tepat dan benar, akan membuat keluarga sejahtera, karena lahan menjadi produkÂtif dan membuat kesejahteraan keluarÂga, tercermin dari lumbung yang terisi, kandang ayam terisi, ladang terurus, saÂdapan terpelihara, membuat hidup lebih lama karena selalu sehat. Seluruh penoÂpang hidup juga berkembang: rumput, pohon-pohonan (termasuk pepohonan rambat) dan semak, hijau subur, dan segala pepohonan buah-buahan tumbuh. Hujan turun membawa berkah karena pepohonan tinggi menjadi hutan dan keÂbun yang subur, dan akhirnya membawa kesejahteraan dalam kehidupan.
Semua itu, tercermin dalam SanghyÂang Siksakanda : Ini pakeun urang ngreÂtakeun bumi lamba, caang jalan, panjang tajur, paka pridana,5 linyih pipir, caang buruan. Anggeus ma imah kaeusi, leuit kaeusi, paranje kaeusi, huma kaomean, sadapan karaksa, palana ta hurip, sowe6 waras, nyewana sama wong (sa)rat. Sangkilang di lamba, trena taru lata galuma, hejo lembok tumuwuh sarba pala wo(h)wohan, dadi na hujan, landÂung tahun, tumuwuh daek, maka hurip na urang reya. Inya eta sanghyang sasana kreta di lamba ngarana.
Alhasil, ketika bicara tentang kabuyÂutan, yang pertama harus ada di benak adalah bagaimana kita berkomitmen terÂhadap lingkungan alam yang akan memÂbawa dampak kepada lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya. Dalam konteks itulah, tradisi membangun lingkungan hijau semestinya menjadi bagian dari komitmen kita kini. Terutama ketika terÂjadi perubahan dahsyat fenomena alam, seperti perubahan iklim (climate changÂes), yang berdampak langsung – tak langÂsung pada penanggulangan kemiskinan, kesempatan berusaha (mencari nafkah), dan memberi dampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi..