Opini-NafisahAWAL Juni lalu, bersamaan dengan Hari Lahir Pancasila, Indonesia turut memperingati Hari Susu Nusantara. Hari Susu Nusantara yang jatuh pada 1 Juni diperingati sejak tahun 2007 sebagai upaya untuk meningkatkan produksi dan konsumsi susu dalam negeri.

Oleh: NAFISAH EKA PUTERI
Mahasiswa Pascasarjana IPB

Di tingkat internasion­al, Hari Susu Sedu­nia (World Milk Day) ditetapkan oleh FAO (Food Agriculture Organization) jatuh pada tanggal 1 Juni dan diperingati sejak tahun 2000. Walaupun telah menginjak 8 tahun sejak peringatan pertama Hari Susu Nusantara, produksi susu segar serta konsumsi susu masyarakat Indonesia tidak ban­yak mengalami perubahan posi­tif. Masih kurangnya penggalakan mengenai pentingnya susu bagi kesehatan dan kecerdasan genera­si penerus bangsa, membuat ma­syarakat tidak begitu peduli. Ma­syarakat sendiri tidak banyak tahu tentang peringatan Hari Susu Nus­antara. Pihak-pihak terkait belum banyak menggalakkan aksi terkait peringatan Hari Susu Nasional.

Bagaimana Konsumsi Susu di Indonesia?

Tingkat konsumsi susu ma­syarakat Indonesia tergolong san­gat rendah. Bahkan, konsumsi susu masyarakat Indonesia lebih rendah dibanding negara-negara Asia Tenggara. Tidak seperti nasi, konsumsi susu belum membu­daya bagi masyarakat Indonesia. Di Thailand, konsumsi susu du­lunya tergolong rendah. Akan tetapi, pemerintah Thailand terus berkomitmen dengan mengang­garkan dana untuk konsumsi susu anak usia sekolah, sehingga kon­sumsi susu masyarakatnya terus mengalami peningkatan.

Susu merupakan sumber pro­tein dan berbagai macam vitamin dan mineral, terutama kalsium yang baik untuk tulang dan gigi. Namun, bagi sebagian besar ma­syarakat Indonesia, konsumsi susu tidak dianggap penting dan perlu seperti halnya nasi. Di samping itu, susu masih diang­gap sebagai “barang mewah” oleh masyarakat. Ada pula masyarakat yang percaya bahwa konsumsi susu dapat menyebabkan diare. Peringatan Hari Susu Nusantara sebaiknya dijadikan momentum penting bagi pemerintah dan ber­bagai pihak terkait seperti ahli gizi, untuk menggalakkan pent­ingnya konsumsi susu di masyara­kat. Penting untuk mengubah pandangan masyarakat tentang konsumsi susu.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Produksi Susu Segar Dalam Negeri

Industri peternakan susu di Indonesia masih belum mampu bersaing dengan produsen susu dunia, baik dari segi kualitas mau­pun kuantitas. Bahkan, produksi susu segar dalam negeri masih belum dapat memenuhi kebutu­han industri pengolahan susu di Indonesia. Akibatnya, sejumlah industri pengolahan produk tu­runan susu seperti industri yo­ghurt, susu kental manis, susu bubuk, maupun keju lebih me­milih untuk mengimpor kebutu­han bahan baku berupa susu cair dari negara penghasil susu seperti Australia dan New Zealand. Kuali­tas susu segar dalam negeri yang rendah dan dan harga yang tidak kompetitif juga mendorong sema­kin terbukanya pintu impor susu cair yang kemudian menyebabkan produktivitas industri peternakan susu tidak kunjung mengalami peningkatan. Bukannya mengal­ami peningkatan, produksi susu segar dalam negeri justru cender­ung mengalami penurunan. Usaha sapi perah dan susu segar menjadi tidak begitu dilirik dan diminati.

Keadaan ini seharusnya dipan­dang sebagai peluang bagi peter­nak sapi perah, tentunya dengan adanya dukungan dari pemer­intah selaku pemegang regulasi. Mengubah hambatan menjadi peluang tentunya tidak mudah. Langkah awal yang perlu dilaku­kan ialah mengedukasi peternak sapi perah agar kualitas susu segar yang dihasilkan memenuhi stan­dar, sehingga mampu menyaingi kualitas susu impor. Jika kualitas susu segar dalam negeri dapat me­nyaingi susu impor, maka nanti­nya susu impor dapat ditekan sehingga produksi susu dalam negeri dapat ditingkatkan.

Peningkatan Kualitas Susu Lokal

Susu merupakan produk pan­gan yang mudah rusak, sehingga kualitasnya rentan mengalami penurunan. Peternak sapi perah perlu mewaspadai hal ini. Keber­sihan lingkungan sapi perah perlu dijaga. Perlu adanya edukasi terh­adap peternak sapi perah menge­nai sanitasi saat pemerahan. Pasca pemerahan pun susu harus ditem­patkan dalam kondisi higienis agar tidak mudah rusak ataupun mengalami perubahan rasa dan bau. Kontrol kualitas susu juga menjadi hal penting yang patut di­lakukan oleh industri sapi perah.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Susu hasil pemerahan perlu di­simpan dalam tempat penyimpa­nan bersuhu 4 hingga 7 oC. Se­lain memasok susu segar sebagai bahan baku industri pengolahan produk turunan susu, peternak sapi perah juga dapat meningkat­kan nilai tambah susu segar yang diproduksi dengan mengolah sendiri susu segar menjadi berb­agai produk olahan seperti kefir, yoghurt, puding, maupun susu segar dalam kemasan. Pembuatan berbagai produk olahan ini pun tidak memerlukan modal yang besar dan dapat dilakukan oleh peternak sapi perah. Yang perlu diperhatikan ialah perlu adanya proses pasteurisasi pada susu segar sebelum dilakukan pengo­lahan lebih lanjut. Pasteursasi merupakan titik kritis penentu mutu susu olahan karena ber­peran dalam membunuh mikroba perusak. Pasteurisasi dilakukan dengan memanaskan susu pada suhu 65 oC selama 30 menit (Low Temperature Long Time) atau 83 oC selama 15 detik (High Tempera­ture Short Time). Selanjutnya susu perlu melalui tahap pendinginan hingga suhunya mencapai 4 oC dan siap diolah lebih lanjut. Pas­teurisasi umumnya dapat dengan mudah dilakukan dengan mesin PHE (Plate Heat Exchanger).

Upaya peningkatan produksi susu hasil industri peternakan sapi perah tentunya dapat terlak­sana dengan baik dengan adanya dukungan penuh dari pemerin­tah. Hari Susu Nasional henda­knya dijadikan momen penting bagi pemerintah dan pihak terkait untuk mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya konsumsi susu, terutama bagi anak-anak. Selain itu, Hari Susu Nasional juga hendaknya dijadikan pengingat untuk terus berusaha meningkat­kan produksi susu segar dalam negeri agar memenuhi target kuantitas, kualitas, serta harga yang kompetitif.

#Penulis lahir di Sleman pada tanggal 31 Juli 1991.

Penulis saat ini sedang menempuh pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor, dan fokus pada bidang biokimia pangan.

Pendidikan S1 diselesaikan penulis pada tahun 2014 di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Sriwijaya.

============================================================
============================================================
============================================================