Opini-1-Totok-Amin-Soefijanto

Oleh: TOTOK AMIN SOEFIJANTO
Deputi Rektor Bidang Akademik, Riset, dan Kemahasiswaan Universitas Paramadina, Jakarta

Bangsa dengan beragam suku yang menyebar di banyak pulau besar-kecil ini memang se­cara alamiah memiliki potensi untuk berbeda sikap dari satu kelompok ke kelompok lain. Bahkan antara desa yang berba­tasan bisa mengalami perbedaan yang tajam. Dari berbagai pengal­aman yang pernah terjadi di bang­sa-bangsa lain, kita sepatutnya belajar tentang cara membangun dari perbedaan tersebut. Tidak salah kalau Pasi Sahlberg, penu­lis buku The Finnish Lesson, me­nyarankan para elite bangsa kita untuk mempelajari sejarah sendiri dengan lebih baik.

Pemahaman Sejarah

Pendidikan dimulai dari me­mahami sejarah masing-masing. Finlandia memang contoh sukses sistem pendidikan di dunia, tetapi tidak serta-merta sistem itu dapat diterapkan di negara lain, ter­masuk Indonesia. Bukan karena mereka merekrut guru yang su­dah S-2 dan ada dalam peringkat 10 terbaik di tingkat S-1. Bukan pula karena guru mereka diberi gaji dan fasilitas yang sangat baik setara dengan profesi bankir dan pengacara.

Bukan pula karena guru mer­eka dididik di lembaga pendidi­kan tenaga kependidikan yang menekankan keahlian riset, pener­apan teori ke praktik, dan secara profesional mendalami teori kuri­kulum, psikologi, sosiologi, pen­getahuan didaktik dan pedagogik, pendidikan anak berkebutuhan khusus, pemahaman tentang anak didik secara mendalam (Getahun Yacob Abraham, 2012). Semua itu memang penting, tetapi semua itu dikuasai dalam konteks ”tidak me­lupakan sejarah” bangsa Finlandia.

Persoalannya, cara bangsa kita memahami sejarah terlalu dang­kal. Kita melihat sejarah seperti membuka lembaran lontar den­gan aksara Sanskerta. Kita mung­kin dapat membacanya, tetapi tidak paham isinya, apalagi esen­sinya. Sikap ini menurun dari satu generasi ke berikutnya, dalam bentuk pelajaran, dalam bentuk hafalan tahun dan nama tempat atau orang. Sebagai contoh, kita semua paham, Perang Dipone­goro terjadi 1825-1830. Tahukah kita bagaimana kisah heroik dan dramatis seputar perang yang pal­ing populer di Indonesia tersebut?

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Seharusnya kita sebagai bangsa dapat menarik banyak nilai yang bagus dari perang tersebut, sama seperti bangsa Amerika menarik pelajaran dari Perang Gettysburg dalam Civil War tahun 1865, misal­nya. Perang saudara yang tadinya diperkirakan singkat dan sekadar gertak sambal itu berlarut, brutal, berdarah, dan menyeret ekonomi nasional ke titik terendah. Salah satu pelajaran penting dari perang yang menelan 500.000 korban jiwa itu adalah kebebasan itu sangat ber­harga. Oleh sebab itu, kebebasan menjadi nilai penting buat bangsa Amerika sehingga mereka dengan kerelaan yang sangat besar akan berusaha mempertahankan dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam mem­bangun tatanan hukum positifnya.

Konsep kebebasan mungkin terlalu mewah untuk dipahami. Konsep menghormati lampu merah mungkin lebih mudah di­mengerti. Seperti cerita tentang seorang pejabat Indonesia yang pada suatu dini hari mendarat di sebuah negara Skandinavia. Sesaat menjelang masuk ke pelataran ho­tel, taksi berhenti dengan takzim menghormati lampu merah. Ting­gal beberapa langkah saja dan dini hari yang dingin itu sangat kecil kemungkinan ada kendaraan lain. Sang pejabat dengan agak kesal menyarankan untuk menerobos saja lampu merah tersebut. Apa jawaban si sopir taksi? Dia jawab, ”Kalau saya menerobos lampu merah itu, berarti saya membuang begitu saja nilai-nilai yang diajar­kan sejak ratusan tahun yang lalu”.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Presiden pertama RI Soekarno dengan segala kekurangan dan kelebihannya sebagai pemimpin bangsa selalu mengingatkan kita agar tidak melupakan sejarah. Akan lebih heroik lagi kalau rakyat mampu menghayati petuah sang ”Putra Fajar” dengan menumbuh­kan nilai-nilai baik dari nenek moy­ang kita dahulu dan memendam nilai-nilai buruk yang pernah ada. Tidak mungkin sebuah bangsa beri­si nilai-nilai baik saja. Ada yang bu­ruk juga, seperti disinyalir Mochtar Lubis bahwa manusia Indonesia itu munafik dan percaya takhayul.

Koentjoroningrat menunjuk­kan nilai baik masyarakat Indone­sia dalam hal gotong royong, tahan menderita untuk mencapai keba­hagiaan di akhirnya, dan menghor­mati orang yang lebih tua. Tidak­kah kita mampu menumbuhkan peradaban bangsa yang berangkat dari nilai-nilai baik itu? Rasanya memang sudah kadung parah, tetapi kita harus tetap optimistis.

Sekarang, sebagian masyara­kat kita masih menerobos lampu merah di persimpangan, tidak bisa antre dengan baik, dan tidak menghormati waktu. Suka atau tidak, kita mesti memperbaiki ”kerusakan” peradaban tersebut dengan pendidikan. Pemerin­tahan Joko Widodo-Jusuf Kalla mencanangkan akan menerapkan revolusi mental dalam pemban­gunan nasional, bukan hanya jargon kampanye. Dalam Pra- Musrenbangnas, April 2015, rev­olusi mental dilaksanakan melalui internalisasi ”nilai-nilai esensial”, seperti etos kemajuan, etika kerja, motivasi berprestasi, disiplin, taat hukum dan aturan, berpandan­gan optimistis, produktif-inovatif, adaptif, kerja sama dan gotong royong, serta berorientasi pada kebajikan publik dan kemasla­hatan umum. Penanaman nilai-nilai ini dilakukan tidak hanya ke perorangan, tetapi juga keluarga, institusi sosial, masyarakat, dan lembaga negara. (*)

============================================================
============================================================
============================================================