MEMBANGUN peradaban di dunia pertanian merupakan suatu proses untuk menghasilkan produk yang tidak membahayakan kelangsungan hidup manusia dan lingkungan yang memerlukan waktu dan terobosan untuk mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang andal melalui pendidikan profesi untuk merespons perubahan yang terjadi di tengah masyarakat. Kondisi birokrasi yang kaku dan korup perlu dicari jalan keluarnya untuk dilakukan reformasi total. Revolusi mental yang didengungkan Presiden Joko Widodo semasa kampanye, bisa dimulai dari sini.

Oleh: Ahmad Gazali
Program Arranger pada Pusat Pendidikan, Pelatihan & Pengembangan Bioteknologi NT 45

Membangun perada­ban di dunia per­tanian merupakan perwujudan rasa syukur sebagai umat beragama karena ditakdir­kan bermukim di tanah subur, apa yang diusahakan di atasnya tumbuh dan berkembang untuk kemaslahatan masyarakat banyak, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidu­pan bangsa sesuai dengan tujuan didirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dunia pertanian yang ber­peradaban berarti seluruh ba­han yang dipergunakan untuk usaha pertanian berakibat baik bagi kelangsungan hidup manu­sia dan lingkungan. Mulai dari untuk menyehatkan tanah, air, udara, pengunggulan benih lokal, pupuk, obat-obatan/antiahama, pola tanam, pemeliharaan, pengawetan/pengolahan pascapenan. Singkat kata, pertanian organik memenuhi syarat kesehatan. Fi­losofinya adalah sehat manusia, sehat binatang ternak, sehat tum­buhan, sehat lingkungan. Bisa diminum atau dimakan langsung tidak membahayakan. Kalau tidak bukan organik namanya.

Membangun peradaban dimu­lai dengan mempersiapkan SDM melalui pendidikan dari tingkat bawah hingga pendidikan tinggi, baik formal oleh pemerintah maupun informal atas inisiatif masyarakat pelaku pertanian se­cara sadar. Kalau di peternakan ada dokter hewan, selayaknya ada dokter ikan, dokter tumbuhan, dokter tanah dan seterusnya. Arti­nya pendidikan pertanian terpadu adalah pendidikan profesional seperti layaknya di dunia medis/ kesehatan. Tujuannya untuk me­manusiakan manusia.

Tenaga medis bekerja sesuai kode etik yang disepakati dalam organisasi profesi. Mereka bekerja sesuai standar operasional prose­dur (SOP), sehingga segala sesuatu dapat dipertanggungjawabkan se­cara hukum dan moral.

Dunia pertanian terpadu ter­masuk dalam ranah ekonomi, maka dengan sendirinya, seperti antara lain Institut Pertanian Bo­gor (IPB), pada dekade terakhir lebih mengakomodasi kehendak penguasa yang memihak pemodal besar, ketimbang mempersiapkan SDM untuk membangun petani di perdesaan.. Kalau penguasa bekerja sama dengan konglom­erat, maka IPB dan pendidikan tinggi pertanian lainnya turut serta menyukseskannya. Kini dan ke de­pan sudah selayaknya IPB dan lem­baga sejenisnya diubah menjadi Institut Usaha Pertanian (IUP) Bo­gor yang akan melahirkan lulusan pendidikan tinggi profesi, sama halnya dengan pendidikan dokter dan pendidikan profesi lainnya. Setelah tamat terjun ke masyarakat mengembangkan ekonomi mikro di tataran petani kecil perdesaan yang selama ini terabaikan.

Reformasi Pertanian

Revolusi mental yang diden­gungkan Presiden Joko Widodo semasa kampanye agaknya bisa dimulai dari mereformasi secara total dunia pertanian. Bila per­guruan tinggi lamban merespons perubahan yang terjadi di tengah masyarakat, penulis berharap inisiatif masyarakat mendirikan Institut Usaha Pertanian dan se­jenisnya. Ada lebih 70 organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam, ra­tusan yayasan pendidikan, NGO/ lembaga swadaya masyarakat lainnya, yang bisa mewujudkan­nya sebagai tanda syukur pada Sang Pencipta karena kita ditak­dirkan diberi tanah yang subur di garis khatulistiwa dan apa yang ditanam tumbuh serta apa yang diternakkan berkembang biak.

Kita ambil contoh untuk beras atau tanaman padi yang merupakan makanan pokok bangsa Indonesia kini dan akan datang. Tiga dekade terakhir kita telah menggunakan padi umur 100-120 hari setelah dikurangi gennya. Musim tanam (MT) bisa dua atau tiga kali dalam setahun. Sebelumnya kita menggu­nakan varietas lama, MT enam bu­lan, dalam satu tahun pelaku perta­nian MT satu kali dan enam bulan, selebihnya lahan sawah dibiarkan ditumbuhi rumput.

MT sekali dalam setahun erat kaitannya dengan musim, yakni enam bulan musim kemarau dan enam bulan musim penghujan. La­han sawah diolah sedalam 30 cm menggunakan bajak yang ditarik oleh sapi atau kerbau. Begitu juga bila menggunakan cangkul. Usai panen jerami dibiarkan dan bina­tang ternak bisa dilepaskan kare­na bertanam dan panen serentak. Di kepala air setiap petak sawah usai panen masih ditemukan ban­yak ikan, begitu pula di bandar/ parit dalam areal persawahan dan belut pun tak susah dicari. Dalam tanah hidup banyak cacing dan jasad renik lainnya yang dibutuh­kan tanaman.

Hasil panen 6-9 ton gabah ker­ing per hektare, rundement 80 persen ( 100 kg gabah kering diba­wa ke penggilangan jadi beras 80 kg), berat beras 1 liter = 1,2 – 1,4 kg, serat padat, aroma harum. Kualitas lainnya tahan lama dan bila dima­sak pagi hari, pada esok paginya masih sehat untuk dikosumsi. Su­dah barang tentu komoditas yang dihasilkan berkualitas ekspor yang biasanya disimpan di lumbung un­tuk cadangan bila terjadi paceklik.

Padi menggunakan pupuk kim­ia dan pestisida buatan. Keduanya beracun karena tak bisa dikon­sumsi langsung oleh manusia. Inilah pembeda antara kimia or­ganik dengan kmia buatan. Kimia organik bisa langsung dikonsumsi manusia, tidak membahayakan tanah, tumbuhan, dan binatang ternak. Kalau tidak bisa langsung dikonsumsi manusia, artinya pasti bukan organik, ukurannya itu.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

MT sekali setahun bersesuaian dengan rumputan (gulma). Ko­toran ternak bila berada dalam tanah selama enam bulan baru bisa dimakan atau diserap oleh akar tumbuhan. Mulai pengung­gulan benih lokal, obatan anti­hama tanaman, pupuk, pengganti pestisida, pengawetan seluruhnya menggunakan tumbuhan lokal (kimia organik).

Revolusi Hijau

Kebijakan memulai revolusi hi­jau pada 1970-an telah melibatkan mahasiswa Institut Pertanian Bo­gor (IPB) dengan program bimbin­gan masyarakat (bimas) di beber­apa daerah lumbung padi dengan menerapkan pola baru menggu­nakan pupuk kimia, pestisida bua­tan atau produksi pabrik, varietas baru padi umur 100-120 hari.

MT dua atau tiga kali setahun. Lahan sawah yang masih dalam atau berawa-rawa menjadi dang­kal. Ikan-ikan dan belut, jasad re­nik lainnya yang dibutuhkan tum­buhan hilang lenyap, bibit lokal nyaris habis. Kalaupun masih ada, sudah langka.

Humus tanah tinggal 10-15 cm, di bawahnya sedalam 30-40 cm mengeras bagai karang atau membatu. Tanah yang membatu tersebut tidak mampu ditembus oleh akar tanaman sejenis padi. Pemberian pupuk kimia buatan/ produksi pabrik bisa untuk satu kali panen atau 40-50 hari. Obat antihama tanaman cukup sekali atau dua kali selama satu MT. Pada kenyataannya kini pupuk yang sama hanya mampu memberi makan tanaman satu kali mem­beri pupuk untuk 20 hari, pada hari ke -21 daun padi menguning. Untuk bisa menyamai pupuk lama seperi di awal diperkenalkan pada masyarakat pada 1970-an, harus dipupuk dua kali.

Itu pun sudah banyak ma­camnya. Ada pupuk buah, pupuk batang, pupuk daun, pupuk akar, dan lainnnya. Begitu pula obat an­tihama tanaman tidak saja jumlah pemberian kepada tanaman bert­ambah, tapi macamnya pun sudah makin banyak. Akhirnya ongkos produksi melonjak. Kendati pu­puk ditambah hasil prouksi tak akan pernah naik, bahkan menu­run, karena humus tanah tinggal setebal 10-15 cm. Padi yang meru­pakan tanaman rawa membutuh­kan humus paling tidak 30 cm.

Hal ini diikuti oleh tukang ba­jak hanya bisa membajak sedalam 10-15 cm, karena mata bajak tak mampu menembus/membongkar lapisan tanah yang sudah mem­batu. Posisi mata bajak diubah un­tuk bisa membajak hanya sedalam 10-15 cm dari yang aslinya untuk membajak sedalam 30 cm. Hal lain yang menurunkan ongkos produksi dan juga kualitas adalah pola pengairan. Bila tetap diberi air, khawatir padinya akan dis­erang tikus gunung. Akhirnya saat dipanen hampir sepertiga di ba­gian pangkal malai, buah padi ti­dak terisi penuh. Ibarat bayi yang sedang membutuhkan air susu ibu, lalu diputuskan menyusu. Tentu si bayi blingsatan karena be­lum pandai bicara. Padi yang di­panen berpengaruh pada kualitas gabah, seperti butir kapur, butir patah, dan menir pada beras lebih banyak, sehingga harga gabah pet­ani bisa tertekan karena kualitas kurang bagus.

Tikus gunung akan datang apabila mencium aroma yang menggoda untuk dimakan, misal­nya bau terasi. Lahan sawah yang sudah diberi pupuk kimia buatan apabila kekeringan, maka akan menguap ke udara bau terasi. Malam harinya tikus gunung tu­run ke bawah mengerat-ngerat batang padi (bukan memakannya) serasa ada makanan di dalamnya. Bila kita ambil tanah sawah yang diberi kimia buatan, maka berbau terasi. Jadi apabila memberikan pupuk kimia dan pestisida bua­tan, sama halnya mengundang ti­kus gunung.

Secara konvensional, petani menanam padi satu rumpun 5-10 batang benih dan jarak 15-20 cm, anakan rata-rata 17 batang, dan sebanyak itu tidak semua ung­gul. Lebih sepertiga panjang ma­lai 10-15 cm. Dari prinsip hidup, yakni kebutuhan air, udara dan makanan dan kebutuhan untuk satu orang dimakan bersama 5-10 orang, sudah barang tentu bere­but makanan.

Tiga tahun belakangan stok beras terus menurun dari 7,4 juta ton (awal tahun 2013), 6,45 juta ton (2014), dan menjadi 5,5 juta ton (2015). Diperkirakan menurun lagi sebesar 15 persen pada akhir 2015. Selama ini pembenahan sisi produksi selalu top down dan bersifat charity melalui bagi-bagi benih, pupuk, traktor, pompa air, serta alat dan mesin pertanian (alsintan) lainnya, terbukti tidak efektif yang dicirikan dengan sta­gnasi produksi dan impor yang membesar. Sebaiknya kebijakan tersebut difokuskan kepada pen­ingakatan kesejahteraan dan ke­daulatan petani.

Hasil Uji Coba

Sejak 1997, Pusat Pendidi­kan, Pelatihan & Pengembangan Bioteknologi NT 45 dan sebelum­nya PT Nan Tembo di Sumatera Barat menggunakan Bioteknologi NT 45 (aerob sekaligus unaerob) temuan Ir Darmansyah MSc, seorang sarjana teknik sipil. Pener­apan pada ruang lingkup pertani­an terpadu (pertanian, perikanan, peternakan) dengan core bisnis sapi potong.

Dari hasil riset terapan dite­mukanlah solusi melalui program transfer ilmu pengetahuan dan alih teknologi di bidang pertanian terpadu. Di antaranya memind­ahkan pabrik pupuk ke tengah pelaku pertanian agar mandiri ti­dak tergantug pada produk pabri­kan. Petani sering dihadapkan pada pupuk bersubsisdi, langka, pupuk palsu dan harga yang tak terjangkau. Pelaku pertanian yang memiliki pengetahuan bertani alami mampu melaksanakannya. Di Sumatera Barat, telah ikut pela­tihan sejak 1997 lebih 5.000 orang dari seluruh Indonesia, 3.000 orang lebih di antaranya berasal dari Sumatera Barat.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Tahap awal diundang pelaku pertanian yang mewakili kelompok atau setelah mengikuti pelatihan bersedia mendirikan kelompok, yaitu kelompok usaha bersama (Kube), bukan kelompok tani. Kube atas inisiatif dan kesadaran sendiri oleh para pengusaha pertanian kita namakan pelat hitam atau kuning. Kelompok tani pelat merah bikinan pemerintah. Kube mengubah pet­ani menjadi pengusaha pertanian. Bagi yang mengikuti pelatihan dinamakan pelopor.

Calon pelopor diberi keter­ampilan mengolah pupuk organik majemuk lengkap (poml) selama 50 jam dan pengolahan antihama tanaman dan pola tanam beber­apa komoditas, antara lain padi tanam sebatang (PTS) di lahan iri­gasi teknis. Budi daya cabai kerit­ing, ubi kayu (singkong), rumput, kopi, cokelat, pisang, jagung, budi daya pepaya organik, serta tana­man stroberi, sayuran, dan seter­usnya, sesuai potensi lahan.

Padi tanam sebatang (PTS) ditebarkan poml pada lahan sawah irigasi teknis, tiga hari se­belum dibajak atau dicangkul. Kedalaman bajak atau cangkul 30 cm, dirancang PTS, jarak tanam 30 cm. Untuk satu hektare me­merlukan 1 kg benih unggul bila pelaku pertanian sudah terampil. Jika masih tahapan uji coba atau yang belum terbiasa, sediakan benih paling banyak 2 atau3 kg/ ha. Bandingkan secara konven­sional benih 15 kg/ha.

Dari hasil sebelumnya 3,3 ton gabah kering/ha menjadi 6,6 ton. Lahan sawah diolah lagi seperti semula, dirancang satu kali tanam dua kali panen. Usai panen per­tama, batang padi dipangkas rata tanah kemudian dipelihara. Hasil­nya 6,6 ton panen pertama dan 6,6 ton panen kedua.

Lahan diolah lagi seperti semula, dirancang satu kali ta­nam tiga kali panen. Usai panen kedua batang padi dipangkas rata tanah dan dihilangkan satu baris, sehingga jaraknya menjadi 30-60 cm. Hasil panen pertama 8 ton, panen kedua 8 ton dan panen keti­ga 8 ton. Setelah satu tahun diberi poml, tanah menjadi gembur, hu­mus tanah rata-rata 30 cm. Tanah yang tadi telah mengeras akibat residu pupuk kimia buatan selama 30-40 tahun mencair kembali. Di sawah hidup kembali jasad renik yang dibutuhkan tanaman.

Anakan padi 30-40 batang, usai panen pertama batang padi pangkas rata tanah anakan padi menjadi 40-60 batang, Usai panen kedua, batang padi dipangkas rata tanah dan dihilangkan satu baris sehingga jarak 30 x 60 cm. Anakan padi menjadi 80-110 batang. Begi­tu juga panjang malai dan jumlah buah terus bertambah. Kualitas gabah dan beras terus meningkat. Secara umum pola ini terbukti mampu menurunkan ongkos produksi 50 persen dan jumlah ha­sil 200 persen. Kita memperoleh beras yang memenuhi syarat kes­ehatan, lingkungan menjadi lebih baik. Bila padi usia 100 hari, maka panen kedua 70 hari dan panen ketiga 70 hari. Jumlahnya 240 hari dan masih ada sisa 110 hari dalam setahun yang bisa digunakan me­milihara ikan (mina padi).

Keseluruhan proses itu kita namakan Pola NT 45. Dapat men­jadi alternatif sebagai program nasional untuk menopang ketah­anan pangan, baik oleh pemerin­tah, terlebih pelaku pertanian di perdesaaan. Lahan sawah irigasi teknis bisa diterapkan PTS tanam sekali, panen dua kali atau panen tiga kali. Tentu dengan terlebih dulu menyiapkan SDM, mulai tingkat sekolah lanjutan atas hing­ga perguruan tinggi secara formal dan para pelaku pertanian den­gan kesadaran sendiri mengikuti pelatihan yang diadakan Pusat Pendidikan,Pelatihan & Pengem­bangan Bioteknologi NT 45. Kes­emuanya ini hendaknya difasili­tasi pemerintah kabupaten/kota, provinsi, dan pemerintah pusat.

Setelah memiliki keterampilan dan pengetahuan, mereka bisa terjun lansgsung ke masyarakat secara independen atau difasili­tasi pemerintah untuk mengajak pelaku pertanian lainnya mendiri­kan Kube. Tahap awal Kube pengo­lahan limbah untuk memanfaatkan kotoran ternak, abu sekam, bekatul sebagai bahan utama pembuatan poml. Kube-Kube berikut sesuai dengan potensi lahan, misalnya Kube padi tanam sebatang, Kube padi organik, dan kube lainnya.

Kube-Kube tersebut dijadikan badan usaha milik desa ( BUMD). Setiap lima Kube dipilih yang ter­baik menjadi depot. Salah satu yang terbaik dari lima depot dibuatkan sentra sebagai pusat produksi.

Tentu membangun dunia pet­anian yang berperadaban memer­lukan proses panjang dan tero­bosan. Penulis berharap dalam pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla punya kemauan baik (politi­cal will) dan tidak lagi membiarkan manusia Indonesia membunuh dirinya sendiri dengan cara mera­cuni tanah, air, udara dan tana­man dengan bahan kimia berbaha­ya. Bila tidak cepat tanggap, maka bangsa Indonesia akan tetap men­jadi buruh, menjadi konsumen produk-produk negara lain yang lebih maju yang sebetulnya mam­pu diusahakan oleh petani sendiri di dalam negeri. Indonesia akan tetap dipermainkan oleh para ma­fia yang mengimpor bahan pangan untuk mengisi kantong sendiri dan kelompoknya. (*)

============================================================
============================================================
============================================================