Oleh: AHMAD AGUS FITRIAWAN
Guru MTs. Yamanka Kec. Rancabungur Kab. Bogor
Guru sebagai salah satu SDM kependidikan memiliki tugas dan tanggungjawab yang besar. Tugas dan tangÂgungjawab tersebut lebih luas dari sekedar hanya membuat peserta didik menjadi tahu dan memaÂhami bahan ajar yang diberikan, yaitu menjadikan peserta didik menjadi manusia terdididk yang memahami perannya sebagai maÂnusia, sehingga bermanfaat bagi diri dan lingkungannya.
Persoalan guru adalah persoaÂlan pendidikan, persoalan penÂdidian adalah persoalan bangsa. Tak terkecuali negera-negara ASEAN. Persoalan guru menjadi tranding topic dalam InternationÂal Conference on Teaching EducaÂtion, yang diselenggarakan di BaÂlai Pertemuan UPI Achmad Sanusi Bandung pada Rabu (29/7/2015). Pertemuan tersebut membahas mengenai isu pendidikan guru di setiap negara serta mengeskploraÂsi dan menetapkan kebijakan orÂganisasi dan program-program yang akan dikembangkan oleh Assocation of Suotheast Asian Teacher Education Network (ASÂTEN). Konferensi ini mejadi ajang sarana berbagi pengalaman tenÂtang sistem dan kebijakan pendiÂdikan guru serta pelaksanaannya di negara-negara ASEAN. (Pikiran Rakyat, 30/7/2015),
Sorotan perhatian yang palÂing banyak muncul di sejumlah negara ASEAN terkait dengan persoalan guru, adalah keterseÂdiaan guru, jaminan kualitas dan akreditasi guru, serta rencana strategi untuk guru. Seperti halÂnya di Indonesia, menurut Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dalam paparanÂnya pada konferensi tersebut, menegaskan bahwa berdasarkan data dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), di Indonesia saat ini terdapat lebih dari 450 institusi, namun tidak ada lembaga yang berperan seÂbagai pengendali kualitas luluÂsannya. Disamping itu, isu lain tentang pendidikan guru yang berkembang di Indonesia adalah peningkatan kesejahteraan guru, sertifikasi guru dan guru kontrak
Menurutnya, persoalan guru tersebut membutuhkan upaya untuk perlu diciptakan meÂkanisme yang dapat menstimuÂlasi performa guru di sekolah, seperti dibangunnya sistem yang dapat mengawasi dan mengevaluÂasi performa guru, guru didorong untuk meningkatkan kualitasnya dengan mengikuti sejumlah pelaÂtihan, dan yang tak kalah crucial adalah penguatan kualitas guru haruslah linear. Pelatihan atau pendidikan lanjutan bagi guru harus disesuaikan dengan bidang studi dan kelas yang diajarkanÂnya, karena selain menguatkan guru secara personal juga dapat menguatkan sekolah.
Upaya Nyata
Dengan masih kurangnya kualitas kinerja guru di Indonesia maka langkah peningkatannya perlu dilakukan baik oleh pemerÂintah maupun dari guru itu sendÂiri. Guru bisa mempunyai kinerja yang bagus jika guru tersebut bisa profesional dalam menÂjalankan tugasnya maka untuk mencapai guru yang profesional tersebut maka Badan indepenÂden National Council for AcÂcreditation of Teacher Education (Tilaar, 2006). menentukan 10 syarat dari program pendidikan professional guru sebagai beriÂkut: (1) Perkembangan dan deÂsain kurikulum, (2) Perencanaan dan manajemen institusional, (3) Evaluasi dan asessmen menÂgenai kemajuan belajar peserta didik, (4) Supervisi kelas dan manajemen tingkah laku peserta didik, (5) Penguasaan teknologi instruksionsl, (6) Perkembangan peserta didik dan cara belajarnya, (7) Kesulitan-kesulitan di dalam belajar (learner exceptionality), (8) Peraturan-peraturan pendidiÂkan di sekolah, (9) Pendidikan multikultural dan globalisasi, dan (10) Dasar-dasar sosial, sejarah, dan filsafat pendidikan.
Kesepuluh syarat tersebut merupakan syarat utama seorang guru bisa menjadi profesional. Setelah memenuhi syarat terseÂbut langkah yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kinerja guru di Indonesia antara lain.
Pertama, Meningkatkan keÂsejahteraan guru, memang saat ini pemerintah telah melakukan peningkatan kesejahteraan guru dengan adanya sertifikasi naÂmun hal itu masih banyak terjadi penyimpangan dari mulai banÂyak oknum guru yang melakuÂkan berbagai cara illegal untuk mendapatkan setifikasi tersebut sampai dengan tidak adanya peningkatan kinerja guru setelah mendapatkan sertifikasi malah menurut penelitian guru yang memperoleh sertifikasi cenderÂung menurun kinerjanya. Kerja keras guru tersebut ternyata hanÂya berlaku saat akan mengikuti sertifikasi. Tapi, pasca sertifikasi, kemampuan dan kualitas guru sama saja. Dengan kata lain, ada atau tanpa sertifikasi, kondisi dan kemampuan guru sami mawon atau sama saja. Tidak ada perubaÂhan dan peningkatan signifikan pada kualitas diri dan pembelaÂjaran di sekolah hal inilah yang perlu diperbaiki, survey yang dilaksanakan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengenai dampak sertifikasi treÂhadap kinerja guru menyatakan bahwa kinerja guru sudah lolos sertifikasi belum memuaskan. Motivasi kerja yang tinggi justru di tunjukkan guru-guru di berÂbagai jenjang pendidikan yang belum lolos sertifikasi. Harapan mereka adalah segera lolos sertiÂfikasi berikut memperoleh uang tunjangan profesi ( Jawa Pos, 7/9/2009). Hasil survey tersebut memperkuat dugaan sebagaian besar masyarakat yang menyeÂbut “proyek†program sertifikasi guru itu sekedar formalitas. Para guru yang belum tersertifikasi terlihat bekerja keras dengan berÂbagai cara sampai pada cara-cara instan demi mendapatkan sertfiÂkasi guru. Lebih dari itu, tujuan lainnya adalah memperoleh tunÂjangan profesi yang jumlahnya lumayan besar.
Fungsi pengawasan dari pemerintah haruslah lebih ditÂingkatkan, selain hal tersebut pemerintah juga harus memperÂhatikan tunjangan guru antara yang di desa dan di kota sehaÂrusnya pemerataan harus dilakuÂkan sebab tunjangan guru yang berada di kota adalah cenderung lebih besar, sehingga lebih dapat berkonsentrasi dalam mengajar. Sebaliknya, tunjangan guru di desa adalah lebih kecil dan hal ini menyebabkan konsentrasi mengajar kurang (Husin, Z. dan Sasongko R.N, 2003).
Dan juga pemerintah harus lebih memperhatikan nasib para guru honorer yang memiliki gaji masih jauh taraf sejahtera, mereÂka juga perlu diperhatikan karena bagaimanapun para guru honorÂer juga ikut menjadi penentu keÂberhasilan suatu pendidikan. Jika kesejahteraan bisa dicapai maka kinerja guru yang diharapkan akan bisa tercapai.
Kedua, Memberikan diklat dan pelatihan yang update tentang ilmu pengetahuan agar para guru bisa berkembang kompetensinya dan bisa mengikuti perkembanÂgan ilmu pengetahuan yang saat ini sedang terjadi, sehingga dalam proses mengajar guru bisa menerÂapkan ilmu pengetahuan yang sesÂuai dengan perkembangan zaman.
Ketiga, Melakukan pengaÂwasan dan penilaian kinerja guru secara riil serta mensupervisi haÂsil kinerja guru secara menyeluÂruh sehingga guru bisa mengetahui tingkat kemampuannya dan senantiasa berusaha untuk melakukan peningkatan dalam kinerjanya di sekolah.
Keempat, Membentuk menÂtal guru, dalam arti menanamÂkan kembali paradigma bahwa guru adalah profesi mulia yang mempunyai tujuan utama untuk mencerdaskan para peserta diÂdiknya tanpa pandang bulu dan bisa mentransformasi ilmu penÂgetahuan kepada siswa sehingga mampu menjadi manusia yang cerdas. Mental itu saat ini sudah mulai luntur maka perlu ditaÂnamkan kembali dalam setiap pribadi para guru sehingga dalam menjalankan tugasnya guru tidak selalu berfikir tentang materi naÂmun secara ikhlas karena panggiÂlan jiwa. Pendidikan di Indonesia memerlukan guru yang mengÂhayati tugasnya (Hansen,1995).
Kelima, Lebih memperketat proses rekrutmen guru baru, proses ini harus dilaksanakan seÂcara jujur dan transparan dengan menggunakan standart kualifikaÂsi yang telah ditetapkan. Standart kualifikasi tersebut tidak dapat di tawar-tawar dn juga memberikan kesempatan untuk guru yang suÂdah berpengalaman untuk ikut dalam penilaian proses rekrutÂman tetrsebut.
Keenam, Meningkatkan kinÂerja guru melalui peningkatan pemanfaatan teknologi informasi yang sedang berkembang sekaÂrang ini dan mendorong guru untuk menguasainya. The service-learning literature, for example, has unabashedly appropriated the terminology of “border crossÂing†(Giroux, 1992). However, as Himley (2004; Carrick et al., 2000) Melalui teknologi informaÂsi yang dimiliki baik oleh daerah maupun oleh individual sekolah, guru dapat melakukan beberapa hal diantaranya: (a) melakukan penelusuran dan pencarian bahan pustaka, Many people believe that online learning will be an imporÂtant vehicle for teacher and stuÂdent learning in the future (Lock, 2006; Simpson, 2006; Davis & Roblyer, 2005). (b) membangun Program Artificial Intelligence (keÂcerdasan buatan) untuk memodÂelkan sebuah rencana pengajaran, (c) memberi kemudahan untuk mengakses apa yang disebut denÂgan virtual clasroom ataupun virÂtual university, (d) pemasaran dan promosi hasil karya penelitian.
Dengan memanfaatkan teknologi informasi maka guru dapat secara cepat mengakses materi pengetahuan yang dibutuhkan sehingga guru tidak terbatas pada pengetahuan yang dimiliki dan hanya bidang studi tertentu yang dikuasai tetapi seyogyanya guru harus mampu menguasai lebih dari bidang studi yang ditekuninya sehingga bukan tidak mungkin suatu saat guru tersebut akan menÂdalami hal lain yang masih memiÂliki hubungan erat dengan bidang tugasnya guna meningkatkan kinÂerja ke arah yang lebih baik. (*)