Oleh: AHMAD AGUS FITRIAWAN
Guru MTs. Yamanka Kec. Rancabungur Kab. Bogor

Program penjaringan pe­nyanyi berbakat yang diadopsi dari American Idol, X-Factor, dan lain-lain banyak menyedot kalangan remaja untuk berpar­tisipasi. Popularitas pun jadi ob­sesi. Popularitas bisa dicapai oleh siapa saja tanpa mengenal latar belakang sosial.

Akibat ikutannya, anak dan remaja dilibatkan dalam program yang hanya menguntungkan seba­gian kecil pemodal saja. Anak dan remaja terobsesi oleh popularitas dan menggunakan berbagai cara untuk mencapai obsesinya itu.

Untuk tidak sekedar men­gandalkan, sekolah sebagai agen pendidikan berada di ruang yang jauh dari kondusif dalam melaku­kan proses pendidikan. Sekolah perlu memperbarui peran agar sesuai dengan tuntutan konteks kekinian. Jangan sampai, alih-alih menciptakan ruang sosial yang mendidik, yang terjadi adalah pengasingan siswa dari realitas di masyarakat.

Tiada budaya tanding yang kuat selain menggali dari warisan purba dalam mayarakat yang akan terus dipegang teguh, yakni aga­ma. Agama adalah senjata. Den­gan agama, orang akan tergerak memberi sesuatu setulus-tulusnya sampai sepaksa-paksanya meram­pas. Dengan agama orang akan menebar kasih sayang sampai me­nyebar kebencian. Melalui agama akan tergelar kedamaian dan juga terselimuti permusuhan. Dari aga­ma akan muncul sebajik-bajiknya amalan dan sekaligus sekeji-kejin­ya perbuatan. Dari agama kita ber­harap akan energi positif yang tu­rut serta membangun peradaban.

Diharapkan religiusitas jadi sumber rujukan dalam mengham­piri globalisasi. Sebagai seorang muslim, modalitas itu sudah ada. Namun, apakah modalitas itu han­ya ada secara potensial atau aktual, itu tergantung kita sendiri. Religi­usitas itu ada secara esensial mau­pun kontekstual dalam tiga unsur globalisasi itu sendiri, yakni struk­tur, pembudayaan dan tindakan.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Sekolah sebagai agen budaya diharapkan berperan di aspek pembudayaan (identitas, kognisi, nilai, norma dan bentuk simbol) dan tindakan. Religiusitas sebagai nilai dimaknai bahwa nilai-nilai re­ligius bisa berlaku sebagai andalan bagi kemantapan orientasi manu­sia dalam perilakunya. Ini teru­tama berlaku bagi perilaku ma­nusia yang disebut “akhlak’, yaitu segala penjelmaan perilakunya yang dinilai pada rentangan skala “baik-buruk” (good-evil). Pada se­gala perilakunya yang tergolong sebagai akhlak inilah melekat “adab” sebagai acuan normatif dalam interaksinya dengan manu­sia sesamanya maupun sikapnya terhadap kemanusiaan umumnya.

Bagi seorang yaang religius mestinya agama yang dianutnya cukup memberi tuntunan untuk tampil dengan perilaku berakhlak dan beradab, sebab sebagai suatu sumber keyakinan dan keimanan, agama secara keseluruhan dan keutuhan mestinya merupakan cara pandang bagi penganutnya mengenai manusia dan dunianya maupun perikehidupannya.

Hasil akhirnya adalah religius dalam tindakan. Akhlak, inilah esensi hadirnya agama. Ini pula esensi diutusnya Rasulullah saw. Allah swt berfirman dalam QS. Al- Qalam ayat 4, “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pe­kerti yang luhur.”

Dalam hadits riwayat Ahmad dan Baihaqy, Rasulullah saw ber­sabda, “sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan keutamaan akhlak.” Dengan penekanan yang tidak kalah kuat akan pentingnya akhlak, seorang penyair, Ahmad Syauqi Bey berka­ta, “kekalnya suatu bangsa adalah selama akhlaknya kekal, jika akhlaknya sudah lenyap, musnah pulalah bangsa itu.” (Nazaruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: Al- Ma’arif, 1973), hlm. 48)

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Lantas, apa itu akhlak? Al- Ghazali dalam Ihya Ulumuddin memberikan pengertian bahwa “akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, daripadanya timbul perbuatan yang mudah tanpa me­merlukan pertimbangan pikiran”

Pada tingkat identitas dan kog­nisi (cara pandang), religiusitas yang tinggi pada seseorang akan nampak seperti kesadaran atas eksistensi ketuhanan pada sosok penggembala kambing yang dite­mui Umar bin Khattab ra.

Diriwayatkan oleh Abdul­lah bin Dinar bahwa pada suatu hari dia berjalan bersama Umar bin Khattab ra. dari Madinah ke Mekkah. Di tengah jalan mereka berjumpa dengan seorang anak gembala yang sedang turun dari tempat penggembalaan dengan kambing-kambingnya yang ban­yak. Khalifah ingin menguji sam­pai dimana anak gembala itu ber­sikap amanah.

Khalifah bertanya, “wahai gembala, juallah padaku seekor anak kambing itu.” Gembala itu menjawab, “aku hanya seorang budak”. Lalu khalifah menimpali, “katakan saja pada tuanmu kalau anak kambing itu telah dimakan serigala.” Segera anak gembala itu menjawab, “kalau begitu dimana Allah?”

Religiusitas yang muncul dari nilai-nilai ketauhidan menjel­makan kesadaran atas Tuhan-hamba. Manusia adalah pengabdi. Manusia juga adalah pemimpin-pengelola (khalifah) bagi jagad raya. Dimanapun berada kita adalah seorang muslim yang pu­nya hubungan relasional dengan Tuhannya. Dimanapun berada kita adalah seorang muslim yang punya hubungan interaksional dengan manusia lain dan makhluk Allah lainnya. (*)

============================================================
============================================================
============================================================