Oleh: AHMAD ANSHORI
Guru di MAN 1 Kota Bogor
Mereka bukan anak-anak lagi yang dapat kita nasehaÂti, didik dan ajar dengan mudah, dan bukan pula dewasa orang dewasa yang dapat kita lepaskan untuk bertanggung jawab sendiri atas pembinaan pribadinya, tetapi mereka adalah orang-orang yang sedang berjuang untuk mencapai kedudukan sosial yang mereka inginkan, yang bertarung dengan bermacam-macam problema keÂhidupan untuk memastikan diri, serta mencari pegangan untuk meÂnentramkan batin dalam perjuanÂgan hidup yang tidak ringan itu.
Keadaan jiwa remaja dalam lembaga pendidikan yang unik dan khas seperti itu, perlu diperÂhatikan dalam membawa mereka kepada penghayatan beragama yang akan menjadi bekal hidup yang abadi bagi mereka. Kita tidak cukup dengan memikirkan cara dan metode pendidikan agama saja, tapi yang jauh lebih penting dari itu adalah pemahaman dan pengertian yang mendalam terÂhadap mereka secara perorangan, disamping secara umum. Dengan pengertian ini, barulah dipikirkan cara dan metode dalam menghaÂdapi mereka, sehingga kita dapat membuat mereka merasa perlu hidup beragama, lalu mencari dan berusaha untuk lebih mengetahui dan lebih mengerti ajaran agama, sehingga dapat mereka gunakan untuk mengatasi setiap problema yang mereka hadapi.
Tidaklah mudah memilih cara atau metode yang tepat serta baik bagi mereka. Namun sekedar taÂwaran untuk dijadikan pegangan, terdapat beberapa aspek yang perlu mendapatkan perhatian, anÂtara lain sebagai berikut.
Pertama, tunjukkan bahwa kita memahami mereka. Seseorang yang akan melakukan pembinaan terhadap jiwa remaja, harus dapat memahami orang yang akan diÂbinanya. Dengan pendekatan perseorangan, kita berusaha menÂgatahui apa yang sedang mereka rasakan. Adalah tidak bijaksana kalau kita mengabaikan perasaan dan pertarungan jiwa yang mereka alami, lalu misalnya kita mencela mereka dengan menunjukkan huÂkum dan ketentuan-ketentuan agaÂma tanpa penganalisaan, mengapa hukum agama demikian.
Maka sebaiknya kita tunjukÂkan bahwa apa yang mereka alami, rasakan dan derita itu kita pahami dan akui bahwa sukar mengatasinya. Sesudah itu baruÂlah kita mengemukakan ajaran agama yang mengenai hal itu denÂgan mencari hikmah dan manfaat dari ketentuan agama, yang seÂcara sederhana mungkin terasa berat oleh remaja tadi. Setiap remaja akan merasa senang apaÂbila orang lain dapat memahami dan mengerti perasaannya.
Kedua, membina secara konÂsutasi. Hendaknya setiap pembiÂnaan kehidupan beragama itu meÂnyadari bahwa yang akan dibina itu adalah jiwa, yang tidak terlihat, tidak dapat dipegang, atau tidak dapat dikertahui secara langsung. Karena itu, hendaklah terbuka untuk menampung dan mendenÂgarkan ungkapan perasaan hati yang dialami remaja. Inilah yang dinaman dengan seni mendengar. Dengan ini berarti kita telah memÂberi kesempatan kepada remaja dan pemuda untuk menumpahÂkan segala hal yang menegangkan perasaannya (realize of tention). Dengan tertuangnya segala yang menegangkan itu, akan terbukaÂlah hati mereka sesudah itu unÂtuk menerima saran penyelesaian bagi segala problema itu, tentunya kita ambilkan pelajaran dari ajaÂran serta ketentuan agama, yang pasti telah terjamin kebaikan dan kebenarannya.
Ketiga, dekatkan agama keÂpada hidup mereka. Hukun dan ketentuan agama perlu mereka ketahui. Disamping itu, yang lebih penting lagi adalah menggerakkan hati mereka untuk secara otomatis terdorong mematuhi hukum dan ketentuan agama. Jangan sampai pengertian dan pengetahuan merÂeka tentang agama hanya sekedar pengetahuan yang tidak berpenÂgaruh apa-apa dalam kehidupan mereka sehari-hari. Untuk itu diÂperlukan usaha pendekatan agama dengan segala ketentuannya keÂpada kehidupan sehari-hari denÂgan jalan mencarikan hikmah dan manfaat setiap ketentuan agama tersebut. Jangan sampai mereka menyangka bahwa hukum dan keÂtentuan agama merupakan perinÂtah Tuhan yang terpaksa mereka patuhi, tanpa merasakan manfaat dari kepatuhannya tersebut. Hal ini membutuhkan pendekatan dan usÂaha-usaha yang sungguh-sungguh.
Demikian beberapa tawaran yang barangkali dapat direnungÂkan dan disepakati oleh para penÂdidik. Semoga. (*)