SUDAH teramat lama kita berperang melawan korupsi, tetapi tanda-tanda kemenangan belum juga datang. Jelas bahwa penindakan secara konvensional untuk memberangus kejahatan luar biasa itu tak mempan sehingga sudah saatnya cara-cara inkonvensional ikut dikedepankan.

Ibarat mati satu tumbuh seribu, itulah fenomena korupsi di negeri ini. Begitu banyak koruptor yang dijebloskan ke penjara, tetapi tak sedikit koruptor baru bermunculan. Calon-calon koruptor pun membentuk antrean panjang untuk memangsa uang negara.

Betul bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi tiada henti menangkap para pelaku korupsi. Betul pula bahwa variasi hukuman telah ditimpakan kepada para koruptor, mulai pidana pokok, pidana denda, pidana uang pengganti, hingga pencabutan hak politik. Akan tetapi, semua itu tak kuasa untuk membuat koruptor jera. Korupsi tetap saja garang menggurita. Jika begitu, harus pesimistiskah kita dalam perang melawan korupsi? Tidak mudah memang memenangi perang besar itu, tetapi bukan watak bangsa ini untuk mudah menyerah. Banyak jalan menuju Roma, banyak pula cara lain yang bisa kita tempuh ketika beragam cara yang sudah diterapkan tak membuahkan hasil menggembirakan.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Ketika hukuman tradisional tak ampuh untuk melawan koruptor, terobosan hukum perlu segera dilakukan. Salah satunya ialah memberlakukan hukuman sosial sebagai pemberat hukuman yang biasa diketuk palu. Itulah usul mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Harjono ketika bersama sejumlah pakar hukum lainnya diundang Presiden Joko Widodo pekan lalu. Mereka dimintai masukan atas berbagai masalah hukum di Indonesia, termasuk bagaimana membuat koruptor jera.

Bak gayung bersambut, usul itu kebanjiran dukungan, termasuk dari KPK. Usul tersebut pun sebenarnya sudah lama disuarakan banyak kalangan, tetapi hingga sekarang belum juga diterapkan.

Sulit dimungkiri, hukuman buat koruptor selama ini jauh dari kemampuan untuk menjerakan dan tak efektif untuk mempermalukan. Jangankan yang belum melakukan, mereka yang sudah ditangkap karena melakukan korupsi pun tak punya rasa malu. Alih-alih berwajah sedih penuh penyesalan, mereka justru cengengesan di depan kamera televisi ketika digelandang atau seusai diperiksa KPK.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Harus kita katakan bahwa selama ini kita masih terlalu manis memperlakukan koruptor. Meski korupsi termasuk extraordinary crime, pelakunya malah diperlakukan lebih ‘mulia’ ketimbang pelaku kejahatan lainnya. Beda dengan maling ayam, koruptor tak diborgol. Mereka juga hanya diharuskan mengenakan rompi tahanan, bukan baju tahanan. Untuk memberantas korupsi, ketegasan dari seluruh penegak hukum ialah keniscayaan. Untuk menghadirkan efek jera, penerapan hukuman secara maksimal menjadi kemestian dan akan lebih efektif lagi jika disertai hukuman sosial. Terpidana korupsi, misalnya, diharuskan menyapu jalan dengan atribut yang jelas sehingga orang tahu bahwa ia koruptor. Atau, namanya diumumkan besar-besar di media massa. Agar memiliki payung hukum yang kuat, ketentuan itu bisa dimasukkan ke revisi UU Tipikor.

Mempermalukan koruptor ialah salah satu solusi untuk mematikan korupsi karena rasa malu merupakan benteng terkuat dalam menahan godaan korupsi. Kita yakin, sangat yakin, hukuman sosial dengan semangat mempermalukan mampu membuat koruptor jera dan calon-calon koruptor takut melakukan korupsi.(*)

============================================================
============================================================
============================================================