Oleh: AHMAD YANI
Wakil Ketua Fraksi PPP DPR-RI
MPR biasanya menggelar saraseÂhan dan Hari Konstitusi, sedanÂgkan DPR melakÂsanakan sidang paripurna yang mengagendakan laporan atas kinerja DPR secara institusi selaÂma satu tahun serta warna-warni lainnya. Dua lembaga yang meÂmiliki perbedaan kewenangan, tetapi memiliki keanggotaan yang sama pada prinsipnya. Hanya keÂanggotaan MPR ada penambahan dari institusi perwakilan daerah yang secara genetik memiliki rumpun yang sama.
Sekilas dua lembaga dengan satu rumpun ingin memisahkan secara institusi, tetapi sebenarnya menunjukkan egoisme dari kedua institusi tersebut dalam melakÂsanakan perayaan HUT-nya. KenaÂpa tidak dilaksanakan dalam satu kesatuan yang mengagendakan laporan kinerja dari ketiga lembaÂga itu? Tentu akan lebih diketahui masyarakat apa yang telah merÂeka kerjakan selama satu tahun.
Di tengah sorotan negatif terhÂadap kinerja anggota parlemen di Senayan, tentu sebuah keinginan bersama di HUT-nya untuk memÂperbaiki kinerja dan mengoptiÂmalkan tugas serta kewenangan dari institusi-institusi yang ada di parlemen agar masyarakat tidak merasa mubazir dalam setiap kali pemilu untuk memilih wakilnya di parlemen. Diperlukan sebuah upaya penataan kembali parleÂmen dan kesadaran bersama agar keberadaan mereka dapat diraÂsakan oleh masyarakat.
Kewenangan
Lipson dalam bukunya meÂnyatakan konstitusi sangat penting karena memuat aturan-aturan mengenai proses politik. Konstitusi dalam pandangannya tidak saja mencerminkan realitas dalam masyarakat, tetapi juga menerapkan lembaga-lembaga politik dan mekanisme pembaÂgian kekuasaan, terutama yang menyangkut lembaga legislatif. Karena lembaga legislatif menjadi instrumen penting yang akan meÂwakili kedaulatan rakyat dalam pemerintahan dan sebagai penÂgontrol jalannya pemerintahan.
Pascaamendemen, banyak pandangan mengatakan bahwa kewenangan parlemen saat ini memang sangat dominan, teruÂtama bagi DPR. Baik dalam hal perundang-undangan, penganggÂaran maupun pengawasan. Tentu kita akan mengamini pandangan tersebut bila dilihat dalam persÂpektif semasa diberlakukannya UUD 1945 oleh pemerintahan Orde Baru. Parlemen—dalam hal ini MPR—hanya dijadikan alat leÂgitimasi untuk memperpanjang kekuasaan dan DPR hanya alat stempel bagi setiap kebijakan pemerintah dalam hal pembuaÂtan perundang-undangan karena sepenuhnya merupakan keÂwenangan pemerintah.
Jelas berbeda dengan saat ini, MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi pemegang kedaulatan rakyat. Namun MPR tetap lemÂbaga tertinggi dalam hal mengeÂluarkan keputusan seperti Tap MPR yang ditempatkan di atas undang-undang dan di bawah UUD 1945.MPR juga yang melanÂtik dan memberhentikan presÂiden/ wakil presiden serta hanya MPR yang dapat melaksanakan sidang bersama antara DPR dan DPD dengan agenda melakukan perubahan UUD.
Dengan demikian sesungÂguhnya MPR adalah lembaga terÂtinggi sekalipun tidak disebutkan dalam UUD pascaamendemen. Lain halnya dengan DPR. DPR merupakan lembaga negara yang sebenarnya memiliki kesejajaran dengan pemerintah, baik dalam perundang-undangan yang haÂrus melalui persetujuan bersama maupun undang-undang inisiatif DPR. Dalam hal pengangkatan, DPR hanya dimintai pertimbanÂgan dan persetujuan setelah diÂlakukan seleksi oleh pemerintah, dengan demikian pemerintah dalam hal ini tetap dominan.
Begitu pun dalam hal fungsi penganggaran, sepenuhnya diaÂjukan oleh pemerintah melalui menteri keuangan, DPR hanya membahas dan menyetujui apa yang diajukan pemerintah. Maka adalah hal yang wajar kalau fungÂsi pengawasan DPR tidak berjaÂlan. Sama halnya dengan DPD yang secara konstitusi diakui keÂberadaannya, tetapi tidak memiÂliki kewenangan apa pun karena semua harus berdasarkan perÂsetujuan DPR.
Jauh dari mekanisme ideal dan cermin dari checks and balÂances, pembagian kekuasaan perÂlu kembali ditata ulang melalui amendemen UUD 1945 kembali. Yang paling utama adalah memÂperkuat posisi MPR sebagai lemÂbaga negara yang mengatur dua lembaga lain, yaitu DPR dan DPD, sehingga kewenangan dan tugas DPR dan DPD menjadi jelas, tiÂdak menimbulkan egoisme instiÂtusi yang dapat merusak tatanan kelembagaan.
Supporting System
Demokrasi memang memiliki dilema tersendiri. Lipson menÂgatakan bahwa dilema demokrasi perwakilan salah satu di antaÂranya akan banyak orang yang terpilih, tetapi tidak mengerti persoalan negara, sistem poliÂtik, dan hukum ketatanegaraan yang masuk dalam lembaga perÂwakilan seperti saat ini yang diÂalami parlemen kita. Ada tiga hal yang dapat dijadikan supporting bagi anggota-anggota terpilih unÂtuk dapat menjalankan tugasnya selama menjadi wakil rakyat.
Pertama,sistem rekrutmen dan pendidikan politik yang harus dilakukan oleh partai politik sebeÂlum dicalonkan sebagai anggota legislatif. Selama ini sistem rekÂrutmen bukan berdasarkan pada asas kualitas dan kapasitas, tetapi lebih pada kedekatan dan pragmaÂtisme. Begitu pun dalam hal penÂdidikan politik, partai politik tidak melakukan pembekalanpembekaÂlan khusus soal kenegaraan bagi calon-calon wakilnya di parlemen. Kedua, perlunya tenagatenaga ahli yang andal dan profesional untuk perbantuan anggota.
Tidak mungkin seorang angÂgota menguasai semua soal denÂgan keterbatasan waktu dan kesibukannya tanpa masukan-masukan dari tenaga ahli. Akan tetapi permasalahannya saat ini sedikit yang memanfaatkan tenaga andal dan profesional unÂtuk membantu kinerja Dewan, banyak yang hanya menempatÂkan tenaga ahli untuk sebatas resourceatau tambahan rezeki dengan menempatkan kerabat, famili, dan bahkan keluarga.
Ketiga, sistem birokrasi keÂsekjenan yang profesional. Hal ini dapat dilakukan bila pertangÂgungjawaban birokrasi kesekjenÂan sepenuhnya bertanggung jawÂab kepada pimpinan DPR, tidak terikat pada jalur birokrasi lain seperti Sekretariat Negara. DenÂgan demikian, birokrasi dapat mempermudah kinerja Dewan dengan pelayanan yang cepat dan tidak rumit seperti saat ini.
Kini dengan HUT DPR, kita perlu kembali melakukan peÂnataan melalui perubahan UUD 1945 agar terbentuk mekanisme checks and balances serta perÂlunya supporting system yang efektif baik yang terkait partai politik, perbantuan tenaga ahli maupun kesekjenan agar haraÂpan masyarakat dapat terpenuhi melalui kerja anggota di lembaga perwakilan yang mewakili mereÂka. Selain itu, dengan melakukan penataan kembali, pandangan negatif terhadap parlemen dapat berkurang. (*)