Oleh: BERLY MARTAWARDAYA
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB)- UI; Ekonom Senior INDEF
Indeks harga saham Nikkei ( Jepang), Hangseng (Hong Kong), serta Singapura, InÂdonesia, dan Australia juga terseret turun sekitar 3%. Pada 24 Agustus 2015 sudah dijuÂluki sebagai Black Monday. Dalam enam bulan terakhir, berbagai mata uang negara berkembang alami penurunan nilai tukar yang signifikan terhadap dolar AmeriÂka. Anggota BRIC yang digadang sebagai kekuatan ekonomi baru semuanya rontok. Brasil (-24,2%), Rusia (13,6%), India (-7,3%), dan tentunya China yang memberÂlakukan fixed exchange rate dan devaluasi de facto sebesar 1,9%. Tetangga kita di ASEAN juga mengalami depresiasi: Malaysia (-18.3%), Thailand (-10%), VietÂnam (-6%), Filipina (5.9%), dan Singapura (3,2%).
Depresiasi Indonesia yang -8.7% tergolong papan tengah. Tidak kategori parah, tapi juga bukan yang kategori sangat kuat daya tahannya. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi dan apa keÂbijakan yang perlu diambil?
Kondisi Ekonomi
Pertama-tama perlu disadari bahwa Indonesia adalah small open economy. Walau menduduÂki ranking 16 berdasarkan besar PDB, Indonesia masih hanya 5,1% dari ekonomi Amerika dan 8,6% dari ekonomi China. Dua ekonoÂmi terbesar dunia itu ibarat kapal tanker di danau besar perekonoÂmian global di mana Indonesia sebagai bahtera mid-size yang naik-turun seiring gelombang. Open dimaksudkan dengan tiÂdak besarnya hambatan untuk melakukan perdagangan dan inÂvestasi. Perdagangan Indonesia ikut dalam free trade agreement dengan ASEAN, Jepang, China, serta dalam pembahasan dengan beberapa negara dan kawasan lain.
Dalam aspek lalu lintas modÂal, bahkan ada UU 24/99 tentang lalu lintas devisa dan sistem niÂlai tukar yang pada Pasal 2 ayat (1) menjamin bahwa setiap penÂduduk dapat dengan bebas meÂmiliki dan menggunakan devisa Teori Mundell-Fleming, salah satu rujukan utama di bidang makroekonomi, menjelaskan bahwa nilai tukar terutama diÂpengaruhi oleh tingkat inflasi, net ekspor, tingkat bunga, dan capiÂtal inflow suatu perekonomian. Namun, inflasi Indonesia JanuÂari— Juli hanya 1,9% dan inflasi Amerika pada periode yang sama 0,2% sehingga depresiasi karena faktor ini hanya 1,7%. Dari mana sisanya? Mengingat neraca perdaÂgangan Januari—Juli 2015 masih surplus USD5,3 miliar dan tingkat bunga BI rate masih 7,5% yang jauh lebih tinggi dari The Fed rate yang hampir 0%, bukan dua faktor itu yang berperan dalam depresiasi rupiah.
Bagaimana dengan capital flow? Bank Indonesia (BI) menÂcatat keluarnya modal asing di pasar uang dan pasar modal seÂhingga Neraca Pembayaran IndoÂnesia (NPI) kuartal II-2015 defisit USD2,93 miliar (atau Rp39,55 trilÂiun pada kurs USD1=Rp13.500). Padahal, pada kuartal sebelumÂnya NPI mencatat surplus USD1,3 miliar. Artinya, dalam tiga bulan terjadi capital outflow sebesar USD4,23 miliar (atau sekitar Rp57,1 triliun). Kenapa terjadi capital flight secara masif?
Teori tentang Krisis
Nouriel Roubini dan Stephan Mihm pada buku berjudul Crisis Economic (2010) menjabarkan krisis finansial mulai dari spekuÂlasi tulip di Belanda pada 1630, ke crash pasar saham di Inggris (1825) dan Amerika (1907) yang berujung pada penguatan peran bank sentral. Namun, Bank SenÂtral juga bukan penyelamat yang tidak munculkan masalah baru. Herman Minsky (1992) mengajuÂkan Financial Instability HypothÂesis di mana kestabilan dan upaÂya stabilisasi akan memunculkan ketidakstabilan baru. Terdapat tiga generasi teori tentang krisis nilai tukar dan finansial.
Generasi pertama terjadi pada negara dengan sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) di mana cadangan devisa tidak memadai untuk menjaga nilai tukar dari dinamika dan spekuÂlasi pasar (Salant and Henderson, 1978; Krugman, 1979; Flood and Garber 1984). Model generasi kedua berlaku pada negara denÂgan nilai tukar mengambang yang alami deteriorasi kondisi domesÂtik atau ekspektasi secara drastis sehingga nilai tukar berubah seÂcara drastis dalam waktu singkat (Benside & Jeanne, 1997; De Kock & Grilli, 1993; Drazen & Masson, 1994; Obstfeld 1994, 1996, 1997; Ozken & Sunderland, 1995, 1998).
Model generasi ketiga fokus pada pinjaman sektor perbankan dan swasta yang lalu memenÂgaruhi permintaan mata uang asing secara asing dan memicu panik. Kondisi ini juga dapat menular (contagion) pada negara sekitar karena negative regional sentiment di mana investor berÂbondong-bondong kabur dari suatu wilayah (Froot et al., 1992; Krugman, 1997, Calvo & ReinÂhart, 1996; and Eichengreen et al.,1996). Krisis 1998 di Indonesia merupakan gabungan dari komÂponen lintas generasi karena saat itu menggunakan fixed exchange rate, dengan devisa terbatas dan utang swasta luar negeri yang tinggi dan tidak tercatat serta kondisi politik yang panas.
Mendayung ke Air Tenang
Kondisi sekarang merupakan gabungan model kedua dan keÂtiga di mana Indonesia gunakan flexible exchange rate, tapi terÂdapat external shock serta conÂtagion effect selain permasalahan internal. Berujungnya stimulus moneter di Amerika dan devaluÂasi yuan serta melemahnya ekoÂnomi China berperan mendorong capital outflow masif dari IndoneÂsia serta menurunnya nilai tukar yang juga dialami banyak negara.
Namun, pemerintah dan otoritas moneter juga tidak bisa lepas tangan dan hanya menungÂgu badai mereda. Bahtera perÂekonomian Indonesia juga perlu diperkuat sehingga lebih tahan ombak dan badai. Dalam jangka pendek perlu ditunjukkan bahwa nakhoda dan mualim perekonoÂmian Indonesia berkoordinasi dengan baik.
Menko perekonomian, menÂko maritim, menteri keuangan, gubernur BI, dan ketua OJK perlu sinkronisasikan langkah dan samÂpaikan secara bersama respons komprehensif mereka dalam hadapi badai perekonomian ini. Rencana yang kredibel perlu meliputi penguatan pelampung bahtera yaitu konsumsi rumah tangga yang merupakan 55% dari perekonomian dengan stimulus fiskal/pajak dan moneter serta jaga inflasi sembako. Capital inÂflow dari eksportir perlu dipasÂtikan langsung dibawa masuk ke Indonesia dan tidak lama parkir di luar negeri sambil tenangkan investor asing yang masih bertahÂan. Waktunya juga untuk menÂgaktifkan Chiang Mai Initiative yang memiliki cadangan dana USD240 miliar untuk stabilisasi nilai mata uang negara di Asia.
Pada jangka menengah, InÂdonesia perlu melakukan diverÂsifikasi ekspor dan pendalaman industrialisasi sehingga tidak berÂgantung pada komoditas primer yang harganya cenderung turun ketika terjadi pelemahan ekonoÂmi global. UU Lalu Lintas Devisa juga perlu diamendemen sehingÂga memungkinkan pembatasan untuk kurangi kerentanan terhaÂdap capital flight. Rahm EmanuÂel, mantan Kepala Staf Presiden Obama, pernah berkata, â€Never let a serious crisis go to wasteâ€. Gunakan krisis ini untuk transforÂmasi dan perkuat ekonomi IndoÂnesia. (*)