Oleh: AHMAD AGUS FITRIAWAN
Guru MTs. Yamanka Kec. Rancabungur Kab. Bogor
Rasulullah adalah role model yang meliputi semua bidang yang sifatÂnya menyeluruh, all round. Tak terkecuali biÂdang kepemimpinan. MengeÂnai kepemimpinan Rasulullah itu, dilukiskan oleh Abul A’la Maududi, sebagai berikut: “AdaÂpun pada diri Nabi Muhammad SAW terhimpun dan terpusat semua sifat-sifat kepemimpinan yang diperlukan, Beliau adalah seorang Ahli Hikmat, tapi beÂliau juga seorang pelaksana dari ajaran-ajaran yang dikembangÂkannya, seorang negarawan yang ulung, seorang prajurit yang luar biasa (jenius). Beliau adalah seorang pengatur dan pencipta undang-undang (legisÂlator), seorang pembina moral dan akhlak.
Dia adalah seorang pembina kerohanian ummat, disampÂing menjadi pemimpin agama. Pandangan beliau jauh menemÂbus ufuk cakrawala kehidupan. Perintah-perintahnya meliputi semua bidang kehidupan, seÂjak dari masalah-masalah kecil yang ditemukan dalam kehiduÂpan sehari-hari sampai kepada soal-soal yang bersifat internaÂsional. Akhirnya Maududi meÂnyimpulkan: “Nabi Muhammad adalah satu-satunya contoh kepemimpinan yang lengkap, dimana semua keunggulan/ keistimewaan terkumpul dalam diri seorang pribadiâ€. (He is the only example where all excelÂlences have been blanded into one personality). (The Prophet of Islam, hal 25).
Rasulullah Pemimpin Visioner
Pemimpin visoner selalu memiliki ide-ide brilian, proÂgresif dan kadang banyak tidak bisa dipahami bahkan dicerna oleh anak zamannya. Ia biasanÂya hadir dalam situasi-kondisi ruang dan waktu yang kritis dan dialektis yang tidak terpikirkan oleh orang-orang sekitarnya. Cara dia melihat realitas jauh berbeda dengan kebanyakan orang. Tidak mengherankan jika mereka selalu selangkah bahkan berlangkah-langkah lebih maju daripada orang pada umumnya. Sebab ide besar kadang lahir karena kemamÂpuan internal pemimpin yang inheren dengan dirinya, yaitu: kemampuan memfirasati zaman (dengan berbagai fakta ilmu dan sejarah yang dikantongi).
Diantara teladan Rasulullah sebagai pemimpin visioner dengan penggambaran ide-ide besar adalah peristiwa hijarah negeri Habasyah (Ethiopia).
Pada tahun kelima saat menÂjadi nabi, ketika kaum Muslim mengalami penindasan dari orang-orang kafir, beliau memÂpunyai ide cemerlang, yaitu: hijrah (pindah) ke negeri HaÂbasyah (Ethiopia). Bagi semenÂtara orang mungkin ide ini diÂanggap aneh dan tidak lazim karena: lokasinya yang jauh di Afrika, membutuhkan kesiapan bekal yang mumpuni untuk berangkat ke sana, negeri yang didatangi adalah negeri non- Muslim, dan tidak begitu stratÂegis untuk mengembangkan daÂkwah, serta sarat rintangan.
Terlepas dari anggapan aneh sementara orang, coba simak baik-baik pernyataan singkat RaÂsulullah mengenai lokasi hijrah, Habasyah: “Sekiranya kalian keÂluar ke negeri Habasyah. SungÂguh di sana ada seorang raja yang tak seorangpun dizalimi jika berada di sisinya. Habasyah juga negeri yang (memegang erat) kejujuran. Sampai Allah menjadikan kelapangan untuk kalian.†(Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam, 1/321).
Ide brilian ini dipilih kareÂna alasan yang jelas. Pertama, adanya proteksi dari raja yang adil. Sehingga tidak akan didÂzalimi. Sewaktu-waktu jika daÂkwah di Makkah lenyap, maka ada cadangan untuk mengemÂbangkan sayap dakwah. Kedua, negeri yang memegang erat kejujuran -meski jauh- lebih raÂmah, relevan, dan akomodatif terhadap Islam daripada negeri dekat yang zalim.
Kita tentu juga tak asing denÂgan ide Fathu Makkah (pembeÂbasan Kota Makkah). Pada tahun keenam Hijriah, para sahabat beÂsar seperti Umar, ‘kecewa berat’ dengan keputusan nabi yang meÂmilih Shulhu Hudaibiyah (PerÂjanjian Hudaibiah), padahal ada janji yang mereka dengar denÂgan istilah fathan mubina.
Mereka akhirnya baru saÂdar belakangan bahwa justru perjanjian Hudaibiah adalah kemenangan besar, yang pada akhirnya dua tahun berikutnya diiringi dengan pembebasan Kota Makkah.
Rasulullah Demokrat Sejati
Sebenarnya tanpa mengibÂlat bangsa barat, Islam sendiri mempunyai sebuah gambaran sebuah sistem tata negara yang sangat demokratis apabila diteÂlaah secara mendalam. Hal itu terefleksi dari kandungan ayat-ayat Al Qur’an dan petunjuk-petunjuk dari Nabi Muhammad SAW. Dan telah terbukti sebÂagaimana Rasulullah telah meÂnyatukan Bangsa Arab yang berÂsuku-suku, bertabiat keras dan mengelompok dengan kepeÂmimpinannya yang demokratis.
Buku-buku sejarah menÂcatat bahwa di luar otoritas keÂagamaan yang menjadi tugas utamanya sebagai rasulullah, Nabi Muhammad SAW meruÂpakan tokoh yang demokratis dalam berbagai hal. Bahkan ketika terjadi kasus-kasus yang tidak mempunyai sandaran keagamaan (wahyu) Beliau bersikap demokratis dengan mengadopsi pendapat para saÂhabatnya, hingga memperoleh arahan ketetapan dari Allah.
Sikap demokratis Nabi MuÂhammad SAW ini barangkali merupakan sikap demokratis perÂtama di Semenanjung Arabia, di tengah-tengah masyarakat padang pasir yang paternalistik, masih menjunjung tinggi status-status sosial klan dan non egaliter. SebÂagai contoh bukti kedemokratisan Beliau adalah sebagai berikut:
Pertama, ketika Nabi MuÂhammad SAW diminta suku-suku Arab menjadi penguasa sipil (non-agama) di luar status beliau sebagai pemegang otoÂritas agama, beliau mengambil pernyataan setia orang-orang yang ingin tunduk dalam kekuaÂsaan Beliau sebagi tehnik memÂperoleh legitimasi kekuasaan. Perjanjian ini dikenal dengan “Perjanjian Aqobahâ€. PerjanÂjian ini didikuti oleh 12 orang dan pada perjanjian Aqobah II diikuti oleh 73 orang. (A. SyÂalabi, 1983) Dari titik ini para ulama Islam sejak dulu menÂegaskan bahwa kekuasaan pada asalnya di tangan rakyat, kareÂna itu kekuasaan tidak boleh dipaksakan tanpa ada kerelaan dari hati rakyat. Dan kerelaan itu dinyatakan dalam sumpah setia tersebut.
Kedua, ketika Beliau memÂbentuk negara pertama kali dalam Islam, yaitu Negara MadiÂnah –yang multi agama– Beliau tidak menggunakan Al-Qur’an sebagai konstitusi negara. KareÂna Al-Qur’an hanya berlaku bagi orang-orang yang memÂpercayainya. Beliau menyusun “Piagam Madinah†berdasarkan kesepakatan dengan orang-orang Yahudi sebagai konstitusi Negara Madinah. Pada masa Negara Madinah ini pula Beliau mengenalkan konsep “Bangsa†(al Ummah) sebagai satu kesatuÂan warga negara Madinah tanpa membedakan asal usul suku.
Ketiga, ketika muncul pihak-pihak yang bersikap intoleran dan khianat terhadap perjanÂjian yang telah disepakati berÂsama maupun dari masyrakat Arab, sehingga meletus berbÂagai peperangan seperti perang Badar, Uhud dan Ahzab serta hingga terjadi Fath al-Makkah (8 H). Pada serangkaian peristiwa tersebut, sikap yang diberikan umat Islam pada pihak lawan sangatlah penuh penghargaan dan diplomasi yang bijaksana.
Sebelum Beliau wafat (11 H/632 M) seluruh jazirah Arab telah bersatu dibawah satu kekuatan politik, hal ini menÂarik untuk dikaji. Belum pernah dalam sejarah orang-orang noÂmad padang pasir itu dapat diÂpersatukan. Watak mereka yang keras akibat gemblengan alam yang tidak ramah, sifat egois, dan angkuh tidak mau diperintah, dapat dilakukan oleh Nabi MuÂhammad SAW melalui ajaran IsÂlam. Bahkan pula sejak waktu itu masyarakat Arab Baduwi yang tiÂdak dikenal, kini muncul sebagai satu kekuatan yang membawa obor penerang sehingga dunia pun menjadi kaget..
Dari kenyataan sejarah terseÂbut, maka benarlah mengapa Nabi Muhammad SAW termasuk dalam predikat tokoh yang sanÂgat berpengaruh di dunia. DenÂgan sikap kepemimpinan yang penuh diplomatis, yang tidak hanya diperuntukkan kepada umatnya, namun juga kepada pihak-pihak yang selalu oposisi terhadap Beliau.
Rasulullah Pemimpin Adil dan Bijaksana
Sebagai pemimpin, RasuÂlullah memiliki sifat yang adil dan bijaksana. Adil yang berarti secara hukum sanksi yang diÂberikan oleh Rasulullah tegas. Baik kepada orang besar atau kecil ketika orang tersebut berÂsalah. Bahkan kepada keluarga sendiri. Bijaksana artinya dalam mensyiarkan agama Islam RasuÂlullah tidak menghancurkan buÂdaya setempat atau tidak meruÂsak budaya seseorang. Sehingga Islam di seluruh dunia muncul dengan kekhasannya.
Rasullullah SAW adalah orang yang adil. Rasulullah tiÂdak pernah menghakimi umatÂnya dengan sesukanya, selalu dengan pertimbangan. Suatu ketika, ia mengadili tawanan Quraisy dengan memberi piliÂhan sebelum dibebaskan, dianÂtaranya adalah memerdekakan budak atau mengajarkan kepaÂda 10 umat muslim yang masih buta huruf. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah bersifat adil dan peduli umatnya.
Rasulullah selalu bijaksana dalam kesehariannya, bahkan terhadap pihak yang menenÂtangnya. Beliau idak pernah ingin menyelesaikan permaÂsalahan dengan kekerasan, keÂcuali dalam keadaan terpaksa. Salah satu kebijaksanaan Beliau tampak dalam pembentukan Piagam Madinah, dimana BeÂliau berhasil memimpin Kota Madinah dalam kedamaian, tanpa ada persilisihan denga kaum Yahudi dan Quraisy yang juga tinggal di Madinah. Namun sekarang cara “bijaksana“ yang sering digunakan oleh RasuÂlullah sepertinya tidak berlaku lagi bagi pemimpin kita. Cara kekerasanlah yang paling sering ditempuh pemimpin kita dan ini tentu menyengsarakan rakyÂat. Tampak kebijaksaan mereka telah hilang dan rakyatlah yang menderita karenanya.
Itulah sedikit gambaran mengenai karakteristik kepeÂmimpinan Rasulullah SAW, yang telah terbukti dan diakui dunia sebagai pemimpin yang mampu menciptakan pemerintahan yang bersih yang berwujud negara Islami yang ideal. HikÂmahnya, jika semua pemimpin kita memiliki karakteristik sepÂerti yang telah dicontohkan Rasulullah SAW tersebut, tidak mustahil negara Indonesia yang kita cintai ini akan menjadi negÂara “Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafuurâ€, gemah ripah repeh rapin yang menjadi haraÂpan dari kita semua, semoga. Wallahu’alam. (*)