Oleh: SALDI ISRA
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Setidaknya, sejauh ini, telah hampir 20 kali UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diuji konstitusionalitasnya di Medan Merdeka Barat. Terakhir, langkah serupa tengah dicoba pula oleh OC Kaligis. AlhamdulilÂlah, Mahkamah Konstitusi tetap mengukuhkan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kedua, resistensi dari lembaÂga-lembaga penegak hukum konÂvensional. Paling tidak ancaman berupa resistensi tersebut bisa diÂlacak dari beberapa kali keteganÂgan yang terjadi antara KPK dan kepolisian. Melacak serangkaian ketegangan yang pernah terjadi di antara kedua institusi ini, penÂgalaman himpitan peristiwa yang terjadi dari awal tahun 2015 meruÂpakan tragedi yang paling mengÂkhawatirkan. Sebagaimana dikÂetahui, dampak dari penetapan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka, kepolisian menetapkan pula beberapa pihak di KPK sebagai tersangka. Sulit dibantah, implikasi dari rangkaian peristiwa ini, KPK benar-benar berada dalam situasi paling sulit sejak kehadirannya.
Sekiranya hendak memberiÂkan pandangan secara jujur, trageÂdi yang menimpa beberapa pihak di KPK, termasuk Bambang WidjoÂjanto dan Abraham Samad, dipicu Pasal 32 ayat (2) UU No 30/2002 yang mengatur, bila pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya. KareÂna penyusunan norma yang beÂgitu terbuka, siapa saja pimpinan KPK dengan mudah bisa dijadikan tersangka karena kemungkinan melakukan tindak pidana sebelum menjadi bagian dari lembaga antiÂrasywah ini.
Selain dari kedua ancaman di atas, ancaman ketiga dapat diÂlacak dari rencana revisi UU No 30/2002. Sejak semula saya berÂpandangan, upaya menghambat laju KPK melalui proses legisÂlasi dapat dikatakan amat serius. Sekalipun Mahkamah Konstitusi telah berulang kali meneguhkan posisi KPK, langkah merevisi UU No 30/2002 amat mungkin meÂlumpuhkan KPK sebagai lembaga yang ditempelkan status extraorÂdinary dalam desain besar pemÂberantasan korupsi sejak reformaÂsi. Misalnya, membaca draf usulan perubahan UU No 30/2002 yang terkuak ke masyarakat dalam beÂberapa hari terakhir keinginan unÂtuk melumpuhkan KPK menjadi sulit dibantah.
Lisan Menjadi Tulisan
Meskipun pada bagian terdaÂhulu dikemukakan bahwa renÂcana revisi UU No 30/2002 telah muncul begitu KPK mulai menunÂjukkan sepak-terjangnya dalam memberantas korupsi, semuanya masih berada dalam bingkai disÂkursus alias wacana lisan. Dari perkembangan yang ada, langkah konkret merevisi UU No 30/2002 mulai terlihat dengan upaya meÂmasukkannya ke Program LegisÂlasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2011. Di tengah rencana ini, Wakil Ketua Komisi III DPR Tjatur Sapto Edi menegaskan bahwa DPR tidak akan memangkas kewenangan penuntutan KPK. Boleh jadi sebÂagai bagian dari rencana tersebut, Maret 2012, sejumlah anggota Komisi III studi banding ke luar negeri mempelajari komisi indeÂpenden seperti KPK.
Langkah konkret berikutnya, 3 Juli 2012, rapat internal Komisi III DPR sampai pada kesepakatan bahwa semua fraksi setuju mereÂvisi terhadap UU No 30/2002. Saat itu muncul pemahaman dari Komisi III DPR bahwa KPK meruÂpakan lembaga ad hoc, KPK tak diperkenankan merekrut penyiÂdik sendiri, dan KPK harus menÂgantongi izin pengadilan saat meÂnyadap seseorang (Kompas, 9/10). Untungnya, kesepakatan revisi UU No 30/2002 belum memunculkan naskah konkret seperti sekarang. Bahkan, lebih beruntung lagi, saat berpidato di Istana Negara (8/10/12), Presiden Susilo BamÂbang Yudhoyono menegaskan bahwa perubahan UU No 30/2002 belum tepat dilakukan.
Setelah terhenti beberapa waktu, berbarengan dengan keteÂgangan hubungan KPK dan polisi, awal Februari 2015, beberapa kekuatan politik di DPR memunÂculkan kembali rencana revisi UU No 30/2002. Rencana ini tidak mendapat perhatian yang begitu luas. Rencana ini benar-benar mendapat perhatian ketika MenÂteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengikuti rapat kerja denÂgan Badan Legislasi DPR (16/6). Sekalipun Yasonna menyatakan usul revisi berasal dari DPR, perÂnyataan `pemerintah tidak dapat menolak usulan DPR’ sangat mengejutkan dan benar-benar menunjukkan langkah serius merevisi UU No 30/2002.
Terlepas dari asal rancangan revisi UU No 30/200, naskah yang beredar luas di masyarakat dalam beberapa waktu terakhir menunÂjukkan bahwa upaya merevisi ini tidak pernah berhenti. Di atas itu semua, naskah perubahan yang beredar di tengah masyarakat menjadi bukti konkret bergerÂaknya wacana (dalam bahasa lisan) menjadi naskah tertulis ranÂcangan naskah usulan perubahan. Artinya, bentangan fakta yang muncul beberapa hari terakhir menjadi gambaran dan sekaligus keprihatinan bahwa masa depan KPK benar-benar tengah berada dalam ancaman serius. Bahkan, kejadian belakangan dapat diÂkatakan yang paling serius.
Alasan Merevisi
Ihwal revisi, sebagaimana dikemukakan dalam “Belum WakÂtunya Merevisi UU KPK“ (Media Indonesia, 22/6), saya mengeÂmukakan bahwa jikalau hendak menilik kembali UU No 30/2002, memang terdapat alasan melakuÂkan perubahan. Misalnya, potensi bom waktu kriminalisasi yang terÂsimpan di dalam Pasal 32 ayat (2) dapat dijadikan salah satu arguÂmentasi merevisi UU No 30/2002. Tidak hanya itu, kebutuhan adanya penyidik yang direkrut KPK sendiri dapat dijadikan sebagai alasan lain.
Sebagaimana diketahui, meski tidak ada larangan untuk merekÂrut penyidik sendiri dan langkah ini telah dimulai KPK, keberadaan penyidik yang direkrut sendiri seÂlalu dipersoalkan.
Selain kebutuhan di atas, dari sistem legislasi kita, semua pihak memang dapat mengajukan usul perubahan atau revisi sebuah UU. Bahkan, tidak hanya revisi, sebÂagai pemegang kuasa legislasi DPR dan/atau pemerintah dapat menÂgajukan UU yang sama sekali baru. Namun demikian, sebagai bagian dari upaya mewujudkan sistem hukum nasional, pembentukan dan penyusunan UU dimulai meÂlalui Prolegnas. Dalam hal ini, UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No 12/2011) menyatakan bahÂwa Prolegnas merupakan instruÂmen perencanaan dalam program pembentukan UU yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.
Sebagaimana dinukilkan sebeÂlumnya (Media Indonesia, 26/6), secara hukum, merujuk Pasal 23 ayat (2) UU No 12/2011, presiden atau DPR diberikan kesempatan untuk mengajukan rancangan undangundang di luar Prolegnas dengan kondisi yang sangat ketat. Artinya, rancangan di luar ProlegÂnas hanya dibenarkan apabila terÂdapat prakondisi yang bertujuan mengatasi keadaan luar biasa, keÂadaan konflik, atau bencana alam.
Kondisi kedua, keadaan terÂtentu lainnya, memastikan adÂanya urgensi nasional terhadap rancangan undang-undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri hukum dan HAM.
Dalam batas penalaran yang wajar, adanya pengaturan bahwa tahap awal dari proses legislasi bermula dari pencantuman dalam Prolegnas agar pembentukannya benar-benar terencana. PerencaÂnaan diperlukan agar pembentuÂkan, baik merupakan revisi mauÂpun rancangan yang benar-benar baru sama sekali, harus dilakuÂkan secara terencana dan tidak didasarkan kepentingan sesaat. Bagaimanapun, kehadiran masuk dalam Prolegnas dapat juga dimakÂnai sebagai warning bagi semua piÂhak yang terkait dengan usulan seÂbelum rancangan undang-undang benar-benar dibahas ketika tahap pembahasan bersama di DPR.
Sekalipun secara substansial dan sistem perundang-undangan memungkinkan guna melakukan revisi terhadap UU No 30/2002, melihat perkembangan yang terÂjadi sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk merevisi terhadap UU yang menjadi dasar hadir lembaga antirasywah ini. Dengan memÂbaca draf rancangan revisi UU No 30/2002 yang muncul ke publik, tergambar betapa besarnya keingiÂnan untuk mereduksi KPK. Bisa diÂpastikan, bilamana konsep dalam draf naskah tersebut benar-benar menjadi UU, KPK akan kehilangan peran dan arti pentingnya dalam desain besar pemberantasan koÂrupsi di negeri ini. (*)