wahyudinOleh: YUDI WAHYUDIN
Kepala Divisi Kebijakan Ekonomi dan Kelautan PKSPL IPB dan Mahasiswa
Program Doktor bidang Ekonomi Sumberdaya Kelautaan Tropika IPB

Tahun 1970 ini juga menjadi titik tolak perkembangan ilmu ekonomi menuju suatu paradigma eko­nomi baru melalui apa yang dise­but ekonomi sumberdaya dan lingkungan. Adalah seorang ber­nama Cirinacy Wantrup (1970) yang mencetuskan bagaimana pentingnya melirik komponen sumberdaya dan lingkungan se­bagai bagian perhitungan eko­nomi.

Sepuluh tahun kemudian (1980) ekonomi sumberdaya dan lingkungan ini telah men­jadi salah satu bagian yang tidak terpisahkan dengan model pen­gelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, misalnya bagaimana pemerintah membuat suatu per­aturan untuk melakukan proteksi sumberdaya dan meminimalisasi dampak lingkungan melalui apa yang disebut biaya eksternalitas. Biaya eksternalitas ini dapat di­bebankan kepada siapa saja yang melakukan aktivitas (individu, kelompok, perusahaan, dsb) yang berpotensi mensuplai dam­pak negatif terhadap kelestarian sumberdaya dan daya dukung lingkungan. Dalam hal ini, biaya eksternalitas bukan semata dija­dikan sebagai suatu syarat yang harus dipenuhi untuk melegal­kan suatu aktivitas, melainkan harus benar-benar diturunkan untuk meminimalisasi dampak lingkungan yang ditimbulkan dari pelaksanaan suatu aktivitas.

Eksternalitas memang akan selalu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari suatu aktivitas, mulai dari lingkungan yang terke­cil seperti rumah tangga sampai kepada skala aktivitas nasional, seperti industri global dan seb­againya. Persoalan eksternalitas baru-baru ini menelan korban jiwa dan menangguk kerugian ekonomi dan sosial yang cukup besar. Kejadian longsor timbu­nan sampah seperti yang terjadi di Bandung beberapa bulan lalu merupakan dampak eksternali­tas rumah tangga yang kurang diinternalisasi secara baik dan pengelolaannya pun kurang opti­mal bahkan mungkin saja kurang profesional. Kejadian tersebut tentunya menyisakan persoalan serius di masa yang akan datang, mengingat penduduk Indonesia sangat besar dan 60 persen dian­taranya terpusat di Pulau Jawa. Besaran penduduk ini tentu ber­dampak positif terhadap besa­ran eksternalitas rumah tangga. Oleh karena itu, perlu kiranya digali dan dicari alternatif pem­ecahan persoalan ekternalitas rumah tangga (sampah) di masa mendatang agar peristiwa seper­ti yang terjadi di Bandung dapat diantisipasi dan diminimalisasi dengan baik.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Robert Hanley, pernah menu­lis sebuah topik yang dikirimkan khusus untuk para pembaca “The New York Times” mengenai bagaimana pemerintah mem­buat suatu aturan pemungutan biaya pembuangan sampah un­tuk kemudian digunakan sebagai biaya reduksi atau daur ulang. Diceritakan bahwa sebelum diberlakukan peraturan/kebi­jakan baru mengenai sistem pun­gutan/pajak pembuangan sam­pah, setiap kepala rumah tangga di Chester Township sudah diwa­jibkan membayar sejumlah biaya tertentu untuk biaya pengelolaan sampah yang dihasilkannya. Be­saran biaya yang harus dikeluar­kan oleh masing-masing rumah tangga adalah sama tanpa mem­perhitungkan seberapa besar buangan sampah yang dihasilkan oleh masing-masing rumah tang­ga. Artinya bahwa rumah tangga yang memiliki besaran keluarga lebih banyak dan menghasilkan sampah relatif lebih banyak akan membayar sebesar biaya yang sama dengan rumah tangga yang memiliki besaran rumah tangga lebih sedikit dan menghasilkan sampah relatif lebih sedikit. Me­nyadari akan adanya ketidaka­dilan dalam penentuan besaran tersebut, terutama tidak terlihat adanya sistem insentif dan disin­sentif, maka diperbaikilah sistem penentuan nilai pungutannya. Dalam hal ini, biaya yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga untuk membuang sampah ter­gantung dari seberapa banyak atau besar rumah tangga terse­but membuang sampah (belum termasuk biaya bulanan).

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Yang menarik kemudian, setelah sistem penentuan nilai pungutan diperbaiki, ternya­ta terjadi perubahan besaran buangan sampah bagi rumah tangga yang biasanya mempu­nyai tingkat buangan sampah yang tinggi, sehingga terindikasi bahwa beberapa rumah tangga semakin menurunkan besaran buangan sampah yang dihasil­kannya. Dan akhirnya muncul suatu hipotesa bahwa semakin tinggi biaya fee/tax/pungutan yang dibebankan untuk satu sat­uan sampah berbanding terbalik dengan jumlah buangan yang di­hasilkan rumah tangga.

============================================================
============================================================
============================================================