PADA 16 Maret 2016, sebuah film tentang sebuah Pulau Buru Tanah Air Beta yang tanpa adegan porno apalagi kekerasan, telah dilarang oleh pemutarannya disebuah pusat kebudayaan oleh Polsek Menteng, hanya karena film ini memuntahkan kebenaran. Hersri Setiawan masih juga berjalan di padang sunyi pulau Buru, dengan suaranya yang bergetar mengisahkan kekejaman penindas militer yang menghukumnya sepuluh tahun bersama dua belas ribu orang lainnya dengan romusha versi orba, kepada anak perempuannya.

Oleh: Gracia Asriningsih
Penyair, bekerja sebagai penerjemah bebas

Kali ini semangat Hesri yang tak per­nah padam selama 50 tahun tersingkap dalam kamera Ra­hung Nasution, yang berkata ini caranya membayar hutang pada kebenaran. Komnas HAM akh­irnya menjadi tempat pengung­sian untuk pemutaran film ini karena pengabdian untuk per­lindungan warga negara rupa­nya sudah dievakuasi dari Polsek menteng. Pemutaran film ini dihadiri oleh anak-anak muda para pemilih pemula negara ini, yang rela berdesakan, untuk sekedar mendengar orang ber­petuah ‘semoga bangsa ini lekas sembuh.’

Tanggal 5 Desember 1930 Joseph Goebbels, salah satu tan­gan kanan Hitler, bersama pasu­kannya melemparkan bom asap pada pemutaran film “All Quiet on the Western Front,” untuk menghentikannya, kemudian memukuli penonton yang beru­saha memprotesnya. Film ini dibuat berdasarkan novel ten­tang kekejaman dan absurditas perang, maka harus dicekal oleh Nazi. Ternyata kenyataan kita tak jauh dari ini.

Mulai Desember 2014, sepanjang 2015, sampai hari ini, kita melihat bagaimana kelom­pok masyarakat bersama aparat menghentikan dengan paksa pemutaran film Senyap karya Joshua Opphenheimer, di anta­ranya di Yogyakarta, Malang dan Padang. Ironisnya film itu justru mendapatkan nominasi film do­kumenter terbaik Oscar. Belum lagi diskusi-diskusi sejarah ten­tang 1965 di universitas-univer­sitas, dan yang masih hangat adalah pembubaran belok kiri festival di TIM oleh polisi, meski­pun dihadiri oleh Dirjen Kebu­dayaan.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Lembaga sensor film me­nyatakan bahwa film Senyap ini ditolak seutuhnya untuk di­pertontonkan kepada khalayak umum. Meskipun Menteri Dalam Negeri mengirimkan surat ke­pada Dewan Kesenian Jakarta, mengucapkan selamat dan suk­ses atas penayangan perdana film ini dan Komnas HAM men­gadakan program ‘Indonesia Me­nonton Senyap’ sebagai bagian kerja pendidikan HAM, lembaga sensor ternyata masih menjadi lembaga warisan orde baru yang kadaluarsa, sementara polisi penjaga ketertiban justru men­gayomi para pembuat onar. Kita melihat bagaimana satu kelom­pok kecil masyarakat bisa me­maksakan diri untuk menjadi lembaga sensor bagi yang lain.

Pencekalan sebuah film karena alasan politis, bukan hal baru di Indonesia, di antaranya film Romusha (1972), Yang Muda Yang Bercinta (1977), The Year of Living Dangerously (dilarang dari 1982 hingga 1999), dan yang paling menggelikan, adalah film komedi Kanan Kiri OK (1989). Walau jauh dari politik, film itu dipaksa mengganti judul dari Kanan Kiri OK karena kata ‘Kiri’ diartikan komunis.

Kontroversi justru membuat orang makin ingin menonton. Dan kita tahu, film yang dilarang di Indonesia akan tetap diun­duh atau dibeli DVD palsunya. Sehingga pelarangan film hanya menunjukkan siapa orang-orang yang masih paranoia dan meng­halangi kebebasan untuk mem­peroleh informasi.

Penguasa yang labil dan mera­sa terancam ini membayangkan bahwa sebuah film akan men­gakibatkan kehancuran dari pro­paganda yang telah dibangunnya sendiri, sehingga memilih untuk menjauhkan sebuah film dari publik daripada mengambil risiko dan mendorong debat dan diskusi yang, dalam konteks film Senyap, kebenaran sejarah ten­tang peristiwa 1965. Menurut pe­nyensor ini kebenaran sebaiknya tetap disembunyikan saja. Film yang penuh kekerasan boleh di­tonton bahkan secara bebas di televisi dalam 24 jam tanpa pem­batasan umum, asal tidak mem­bahayakan kekuasaan mereka.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Sensor film Senyap menga­sumsikan bahwa penonton tidak akan mampu mengelola per­asaan dan pikirannya ketika me­nonton film ini dan dalam bayan­gan penyensor, akan sedemikian bodoh, membabi buta dan ke­mudian membenci kelompok masyarakat tertentu, dalam hal ini pelaku pembantaian 1965.

Penonton Senyap, yang dalam hal ini adalah mahasiswa karena pemutaran diadakan di kampus-kampus, bukan di seko­lah dasar seperti Film G30S PKI, dianggap belum mampu secara intelektual untuk menonton film ini dan menilai dengan penge­tahuan dan kesadaran sendri, kemudian berpikir indepen­den. Dalam film Pulau Buru Ta­nah Air Beta kita justru belajar bagaimana transmigran jawa dari tahun 70 an telah bekerja dan hidup bersama dengan tapol dan keluarganya.

Penyensor tidak menyadari bahwa dengan melarangnya, ia justru sebenarnya sedang mem­benarkan konten film-film itu, karena ia tidak ingin masyarakat mempertanyakan sejarah yang selama ini dipaksakannya. Hal ini hanya menandakan kegaga­pan dan kegugupan pemerintah yang tak mampu mengakui ke­jahatan masa lalunya, dan me­milih diam sambil membangun jalan tol tanpa menghiraukan bahwa membangun jembatan ke masa lalu adalah cara memu­liakan bangsa ini.

Pertanyaan untuk kita adalah apakah kita juga akan menyen­sor diri kita sendiri dengan tidak menonton sebuah film hanya karena film tersebut dilarang satu pihak? Atau kita menyen­sornya secara tidak langsung dengan menganggap bahwa se­buah film tentang sejarah tidak begitu penting untuk kita ton­ton. Apakah menjadi apatis adalah pilihan?

sumber: satuharapan.com

============================================================
============================================================
============================================================