Oleh: HAMLI SYAIFULLAH
STIE Ahmad Dahlan Jakarta, studi S-2 Keuangan Syariah

Rational economic man merupakan asumsi bahwa tingkah laku in­dividu adalah rasional. Oleh karena itu, rasion­alitas diartikan sebagai usaha untuk me-layani kebutuhan pribadi.

Edgeworth secara jelas mengekspresikan ide ini dengan men­gatakan bahwa prinsip utama ilmu ekonomi ialah pihak mana pun digerakkan oleh kemauan untuk memenuhi kebutuhan pribadi.

Dalam kerangka berfikir sep­erti ini, masyarakat dikonseptual­isasikan sebagai sebuah kumpu­lan individu-individu yang diikat pemenuhan nafsu pribadi. (Umar Chapra: 2011)

Salah satu cara untuk memenuhi nafsu pribadi ialah dengan memaksimalkan kekay­aan pribadi dan meningkatkan konsumsi dengan cara apa pun.

Bahkan, atas nama efisiensi dan efektivitas, semuanya dikor­bankan – kemiskinan sistemik di lingkungan masyarakat, lingkun­gan rusak, degradasi karakter budaya lokal (local wisdom) dan agama pun tercampakkan. Im­plikasinya, mereka akan melang­gar tata nilai dan etika.

Padahal, moral dan etika dalam bisnis, menurut Veitzal Rivai (2012), diperlukan manusia supa­ya hidupnya teratur dan bermar­tabat.

Selain itu, rational economic man bahkan melakukan fraud untuk mencapai marginal utility – memenuhi berbagai macam ke­butuhan hingga tingkat intensitas yang sama.

Di mana, Association of Cer­tified Fraud Examiner (ACFE) mendefinisikan, fraud sebagai setiap tindakan tidak sah, yang ditandai dengan tindakan tidak jujur untuk penggelapan atau pelanggaran akan kepercayaan.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Tindakan ini tidak tergantung apakah dilakukan dengan meng­gunakan kekuatan fisik ataupun ancaman kekerasan.

Fraud dilakukan perorangan dan organisasi untuk memperoleh uang, properti ataupun jasa dengan cara menghindari pem­bayaran atau kenyamanan pribadi dan atau keuntungan bisnis. (Sub­agio Tjahjono dkk: 2013)

Adapun dampak yang sangat besar dari rasionalitas yang dibangun Jeremy Bentham ialah terjadinya disparitas ekonomi, yang kaya semakin makmur dan sejahtera, sedangkan yang miskin semakin terpuruk dalam kemiski­nannya.

Pernyataan tersebut akan san­gat-lah benar, ketika dikorelasikan dengan data yang dilansir Ox­fam (kelompok anti-kemiskinan global). Bahwa kekayaan 85 orang terkaya dunia sama besar dengan apa yang dimiliki 3,5 miliar pen­duduk miskin, atau separuh dari populasi dunia. (Koran Tempo, 27/4/2014)

Dengan kata lain, 85 orang ter­kaya dunia telah menguasai sep­aroh kekayaan dunia.

Akhirnya, Rasionalitas yang dibangun Jeremy Bentham dijaw­ab John Perkins lewat kata pen­gantar dalam buku Confessions of an Economic Hitman. Bahwa gagasan semua pertumbuhan ekonomi bermanfaat bagi umat manusia dan bahwa makin besar pertumbuhan itu makin meluas pula manfaatnya, tentu saja salah.

Ia hanya bermanfaat bagi segelintir penduduk, mungkin sesungguhnya mengakibatkan keputusasaan yang meningkat bagi mayoritas penduduk, ketika pria dan wanita diberi penghar­gaan atas ketamakan, maka keta­makan akan menjadi motivator yang bersifat merusak. Dengan demikian, rasionalitas yang diban­gun Jeremy Bentham hanya akan merusak seluruh dimensi kehidu­pan manusia.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Moralitas Konsumsi

Pemenuhan nafsu individu dengan mengorbankan kepent­ingan umat manusia merupakan salah satu sifat yang dilahirkan ra­sionalitas.

Oleh karena itu, rasionalitas haruslah dikonter dengan me­numbuhkan nilai dan moralitas dalam diri setiap individu, khu­susnya dalam kegiatan konsumsi.

Sehingga, rasionalitas yang telah lama dikembangkan Jer­emy Bentham, perlahan-lahan berubah menjadi sikap yang lebih humanis.

Artinya, konsumsi yang dilaku­kan setiap individu secukupnya saja. Contoh yang sangat sederha­na, ketika seorang individu makan di suatu restoran ataupun rumah makan, kemudian dirinya tidak menghabiskan makanan yang telah dipesannya – dengan alasan sudah kenyang.

Tanpa sedikit merasa berdosa terhadap makanan yang telah di­sia-siakannya, dirinya pun menin­ggalkan makanan tersebut.

Walaupun semua makanan yang dipesannya telah dibayarnya, masalahnya ialah dirinya telah menyia-nyiakan sumber daya alam (SDA).

Memang benar uang yang dibayarkan untuk membeli makan­an tersebut merupakan miliknya, namun SDA merupakan milik kita bersama. Masih banyak umat ma­nusia di belahan bumi lainnya yang berharap mendapatkan makanan.

Oleh karena itu, jika nilai dan moral menjadi kacamata atau cara pandang setiap manusia di segala dimensi kehidupan – konsumsi, produksi, distribusi, dan lain-lain, maka pemenuhan nafsu individu akan terkalahkan atas kemasla­hatan (kebaikan) dan kepentingan bersama. ***

sumber: suarakarya.id

============================================================
============================================================
============================================================