bambangsDalam pergaulan sehari-hari kata “pernikahan” terkesan lebih santun. Namun dalam hukum positip, Undang – Undang (UU) No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, hanya dikenal istilah “perkawinan”. Untuk memudahkan pemahaman, kita gunakan kata “perkawinan” untuk menunjukkan pengertian pernikahan.

BAMBANG SUDARSONO
Pemerhati Hukum dan HAM

Berdasarkan UU Perkawinan syarat perkawinan diatur dalam Bab II (pasal 6 s.d 12) , di antaranya : 1. harus didasarkan atas persetujuan ked­ua calon mempelai ; 2. bila calon mempelai belum berusia 21 tahun harus dapat ijin kedua orang tua; 3. pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan wanita sudah mencapai umur 16, dalam hal pe­nyimpangannya dapat meminta dispensasi Pengadilan atau Peja­bat lain yang ditunjuk kedua orang tua pihak pria maupun wanita; 4.Perkawinan dilarang antara dua orang yang masih berhubungan sedarah, semenda, sesusuan, Juga dalam Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hu­kum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu .

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Dalam UU Perkawinan tidak ada ketentuan yang secara tegas melar­ang seorang wanita hamil melang­sungkan perkawinan. UU tersebut hanya mengatur ketentuan tentang Pencegahan Perkawinan dan Batal­nya Perkawinan. Hal tersebut han­ya bisa terjadi bila syarat-syaratnya tidak terpenuhi, dan dalam syarat juga tidak diatur tentang ketentuan dilarangnya wanita hamil yang hen­dak melangsungkan perkawinan.

Namun, karena perkawinan juga harus dilakukan menurut hukum agama yang dianut, maka sepanjang tidak bertentangan dengan hukum agama, tidak ada halangan untuk melangsungkan perkawinan. Merujuk ketentuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, khu­susnya dalam Pasal 53 ditegas­kan, bahwa seorang wanita hamil diluar nikah,dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan tersebut dapat dilang­sungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya. Dengan demikian anak yang lahir status­nya tetap anak sah sapanjang tidak ada penyangkalan dari pihak pria/ suami. Kecuali bila suami mampu membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut ( Pas­al 44 ayat 1 UU Perkawinan), maka anak tersebut bukan anak sah, se­hingga hanya mempunyai hubun­gan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya (Pasal 43 ayat 1UU Perkawinan).

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR
============================================================
============================================================
============================================================