KABINET Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo bisa disebut kabinet pengusaha. Bukan hanya presiden dan wakil presiden yang merupakan pengusaha, namun banyak menteri yang juga berasal dari kalangan pengusaha.
Oleh: Ali Mutasowifin
Dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB
Mungkin karena latar belakangnya itu, belum lama ini Presiden Jokowi mengungkapkan rasa malunya dengan kondisi keĂ‚Âmudahan berbisnis di Tanah Air. Dalam laporan Bank Dunia yang bertajuk “Doing Business 2016”, kemudahan berbisnis di IndoneĂ‚Âsia memang dinilai masih buruk, berada di peringkat 109 dari 189 negara.
Meskipun peringkat itu telah naik 11 posisi dibandingkan tahun sebelumnya, namun masih jauh di bawah peringkat negara-negara anggota ASEAN lainnya seperti Filipina (103), Vietnam (90), BruĂ‚Ânei Darussalam (84), Thailand (49), Malaysia (18), apalagi Singapura (1).
Memperbaiki peringkat
Entah bagaimana kalkuĂ‚Âlasinya, Jokowi pun kemudian mencanangkan target kenaikan peringkat Indonesia menjadi 40 dalam satu tahun. Meskipun penting bagi pemerintah memĂ‚Âperbaiki peringkat kemudahan berbisnis, namun untuk merealisasikannya tidaklah mudah.
Marilah kita telaah satu perĂ‚Âsatu pokok yang menjadi dasar Bank Dunia menilai kemudahan berbisnis, agar kita tahu apa saja yang menjadi nilai minus IndoneĂ‚Âsia dibandingkan negara-negara sekawasan.
Penilaian terburuk diperoleh “starting a business”, peringkat 173, atau hanya 16 peringkat dari dasar. Menurut catatan Bank Dunia, untuk memulai usaha di Indonesia, seseorang harus meĂ‚Âlalui 13 prosedur dengan rata-rata waktu 47,8 hari.
Kondisi ini berbeda dengan Malaysia yang hanya mensyaratĂ‚Âkan 3 prosedur dengan waktu 4 hari atau Singapura dengan 3 prosedur dalam 2,5 hari. Selain itu, yang juga dinilai memberatĂ‚Âkan adalah besarnya biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam proses pendirian serta modal yang harus disetor.
Penilaian buruk berikutnya adalah “enforcing contracts” (peringkat 170). Bank Dunia menĂ‚Âcatat, penyelesaian kontrak di Indonesia membutuhkan waktu 471 hari dan biaya yang mencapai 115,7% nilai klaim. Bandingkan dengan Singapura yang hanya membutuhkan 150 hari dan biaya 25,8% nilai klaim.
Meskipun banyak pembahaĂ‚Âruan dilakukan di sektor perpaĂ‚Âjakan, Bank Dunia masih memiĂ‚Âliki banyak catatan kritis. Pada sektor ini, Indonesia berada di peringkat 148, berdasarkan penilaian atas 54 pembayaran sepanjang tahun yang membuĂ‚Âtuhkan rata-rata 234 jam. SeĂ‚Âmentara, Malaysia mewajibkan 13 pembayaran dalam 118 jam, sedangkan di Singapura hanya 6 pembayaran dalam 83,5 jam.
Pembenahan juga perlu pada “registering property” (peringĂ‚Âkat 131). Bank Dunia mencatat 5 prosedur yang mesti dilewati dengan waktu rata-rata 27,4 hari dengan biaya 10,8% nilai properti. Sedangkan di Malaysia, meskipun harus melewati 8 prosedur, hanĂ‚Âya membutuhkan 13 hari dengan biaya 3,3% nilai properti. Kondisi terbaik ditunjukkan Singapura yang hanya mensyaratkan 4 prosedur dalam 4,5 hari dan biĂ‚Âaya 2,9% nilai properti.
Dengan 17 prosedur yang harĂ‚Âus dilalui dalam waktu 210,2 hari, Indonesia menempati peringkat 107 pada “dealing with construcĂ‚Âtion permits”. Kondisi ini masih jauh di bawah kinerja negeri jiran Malaysia (15 prosedur, 79 hari) atau Singapura (10 prosedur, 26 hari).
Selanjutnya, pada “trading across borders”, Indonesia menĂ‚Âduduki peringkat 105. Menurut Bank Dunia, perbaikan perlu diĂ‚Âlakukan pada waktu dan biaya untuk melakukan ekspor mauĂ‚Âpun impor, yang masih jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negaĂ‚Âra jiran. Hal ini menggambarkan rendahnya efisiensi dalam pelakĂ‚Âsanaan ekspor/impor.
Meskipun bagian-bagian lainĂ‚Ânya juga masih memerlukan langkah perbaikan, peringkatĂ‚Ânya relatif lebih baik, misalnya yang berkaitan dengan perlistriĂ‚Âkan (peringkat 46), perkreditan (peringkat 70), penyelesaian keĂ‚Âbangkrutan (peringkat 77), serta perlindungan investor minoritas (peringkat 88).
Disadari, diperlukan kerja keras untuk mengeliminasi pelĂ‚Âbagai hambatan yang ada agar peringkat kemudahan berbisĂ‚Ânis meningkat. Apalagi, sumber hambatan berbisnis tidak lagi hanya ada di tingkat pusat, naĂ‚Âmun juga telah merata di hampir seluruh daerah. Misalnya, beĂ‚Âlum lama ini diberitakan sekitar 42.000 peraturan daerah dinilai menghambat pembangunan.
Presiden Jokowi sebaiknya memimpin upaya pembenahan peraturan yang ada. Campur tangannya diperlukan, bukan saja agar proses penertiban berĂ‚Âjalan efektif, namun juga dapat memberikan perspektif sebagai seorang pemimpin yang juga pengusaha. Tanpa itu, sulit menĂ‚Âcapai target peringkat 40, yang merupakan prasyarat penting memenangkan persaingan.