Oleh: SUMARNO
praktisi pendidikan, peminat masalah sosial budaya, tinggal di Tangerang.

Namun, sudah 70 tahun merdeka kondisi bangsa Indonesia belum mengalami kemajuan yang berarti. Artinya, kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah.

Pemeringkatan kualitas pen­didikan versi Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pem­bangunan (Organisation for Eco­nomic Co-operation and Devel­opment-OECD) yang dirilis 13 Mei 2015 mengonfirmasi rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.

Indonesia menduduki posisi ke 69 dari 76 negara. Kalah den­gan Singapura, Hong Kong, Korea Selatan, Jepang dan Taiwan yang bertengger pada posisi lima tera­tas. Bahkan kalah dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Vietnam (peringkat 12), Thailand (peringkat 47), dan Ma­laysia (peringkat 52).

Guna mewujudkan pendidi­kan berkualitas sistem pendidikan yang bagus dan pelaku sistem yang kompeten menjadi faktor penting. Untuk sistemnya, ada Undang-Un­dang Nomor 20 Tahun 2013 ten­tang Sistem Penddikan Nasional (Sisdiknas). Sementara untuk guru sebagai garda terdepan sistem pendidikan diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Belakangan, muncul sorotan yang menilai rendahnya kom­petensi guru menjadi penyebab utama rendahnya kualitas pendi­dikan. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) 2015 mengonfirmasi hal itu. UKG yang diikuti 2.430.427 guru dengan nilai rata-rata 53, 05 di bawah standart yang dipatok Kemdikbud, yaitu 50,50 (Suara Karya, 17/12/2015).

Empat Fragmentasi

Melihat kualitas guru dianta­ranya dari sisi teknik pedagogik. Satu kompetensi dari empat kom­petensi yang wajib dimiliki oleh guru. Tiga kompetensi lainya adalah kompetensi profesi, kom­petensi kepribadian, dan kompe­tensi sosial.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Pengajaran di sekolah (kom­petensi pedagogik) tidak mem­buat peserta didik tumbuh men­jadi manusia seutuhnya. Dalam pandangan Parker J. Palmer (1998), ada empat fragmentasi yang secara umum terjadi dalam lembaga pendidikan.

Pertama, memisahkan kepala dari hati. Akibatnya, akal tidak tahu bagaimana merasakan dan hati tidak tahu bagaimana berpikir.

Kedua, memisahkan fakta-fakta dari perasaan. Fakta-fakta matilah yang dipaparkan di hada­pan peserta didik. Hal ini mem­buat dunia seperti memiliki jarak dari kehidupan peserta didik. Kebenaran dipersempit sekadar sebagai perasaan seseorang.

Ketiga, memisahkan teori dan praktek. Apa yang diajarkan di sekolah adalah teori yang tidak ada hubungannya dengan ke­hidupan dan praktek yang tidak disertai pemahaman mendalam tentang pokok persoalan, alias asal jalan.

Keempat, memisahkan penga­jaran (teaching) dan pembelajaran (learning). Guru hanya berbicara dan mengajar tetapi tidak men­dengarkan. Semenatara peserta didik hanya mendengarkan tetapi tidak pernah angkat bicara.

Apa yang dikemukakan Palm­er seolah mengungkap fakta yang terjadi pada kebanyakan guru di Indonesia. Persoalan guru tidak bisa hanya dilihat dari sisi kom­petensi pedagogic semata.

Posisi guru juga bukan han­ya menghadapi peserta didik. Tetapi, menghadapi berbagai pemangku kepentingan. Kepala sekolah, pemerintah atau yayas­an (bagi sekolah swasta) dan orang tua peserta didik atau ma­syarakat.

Ironisnya, organisasi guru yang mestinya melindungi dan turut serta meningkatkan kom­petensi guru sehingga para guru mengajar dengan tanang, malah terjadi friksi-friksi seperti pada momentum peringatan Hari Guru Nasional beberapa waktu lalu.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Belum lagi gempuran infor­masi melalui media massa dan alat komunikasi. Sehingga perso­alan guru sangat kompleks yang tidak semua berasal dari dalam guru itu sendiri.

Tanggung Jawab Pemerintah

Peningkatan kompetensi guru diantaranya menjadi tanggung jawab pemerintah. Yang sudah berjalan bagi para guru yang sedang bertugas, antara laian melalui UKG dan ditindaklanjuti dengan berbagai pelatihan. Per­berian bantuan atau beasiswa untuk melanjutkan pendidikan kejenjang dan S2 atau S3.

Namun akan lebih efektif lagi, sebagaimana sering disampaikan oleh para pakar pendidikan mem­persiapkan calon guru agar menjadi guru yang berkualitas. Pertama, membenahi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).

LPTK eks IKIP saja masih perlu dibenahi. Apalagi bermun­culan, meminjam istilah pkar pendidikan HAR Tilaar, kampus abal-abal untuk menyebut pergu­ruan tinggi bermasalah atau tidak berkualitas.

Kedua, memperbaiki sistem rekrutmen. Rekrutmen yang di­maksud disini yaitu penerimaan calon mahasiswa keguruan. Dan sudah barang tentu rekrutmen ketika penerimaan guru PNS maupun guru swasta.

Penyakit lama, kolusi, korupsi, dan nepotisme tidak berlaku dalam proses penerimaan tenaga kepen­didikan. Gelombang pensiunnya sejumlah guru setiap tahun dapat setiap tahun dijadikan momentun memperbaiki kualitas guru.

Jika upaya peningkatan kuali­tas guru dari hulu hingga hilir telah dilakukan dan berhasil akan meningkatkan pamor profesi guru sejajar dengan profesi dokter, ten­tara, polisi, akuntan, manajer, ha­kim atau pengacara.(*)

sumber: suarakarya.id

============================================================
============================================================
============================================================