kpkUPAYA memberantas korupsi di negeri ini benar-benar ironis. Semakin gencar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memerangi korupsi, semakin berani pula mereka yang berotak korup melakukan korupsi. Perang melawan korupsi memang bukan perang sesaat, melainkan perang panjang nan melelahkan. Dari hari ke hari, korupsi bukannya surut, melainkan bertambah subur meski KPK tak kehabisan energi menghajar para pelaku korupsi.

Kabar penangkapan para pejabat dan sekutu mereka karena terlibat korupsi menjadi suguhan rutin bagi publik. Itu bukan lagi berita luar biasa. Mereka yang ditangkap pun komplet dari segala lini, mulai kalangan DPRD, DPR, hingga kepala daerah.

Tak ketinggalan juga penegak hukum yang semestinya menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi. Kabar menyesakkan terkini datang dari Bandung, Jawa Barat, kemarin, ketika seorang jaksa di Kejaksaan Tinggi Jabar, Devianti, diringkus KPK dalam operasi tangkap tangan.

Ia diringkus karena diduga terlibat suap terkait dengan penanganan perkara korupsi BPJS di Kabupaten Subang yang tengah disidangkan di Pengadilan Tipikor Bandung.

KPK kemudian juga menangkap Bupati Subang Ojang Sohandi dan satu jaksa lainnya. Kita prihatin, amat prihatin, masih ada saja pejabat yang dibekuk karena diduga korup. Kita muak, amat muak, masih saja ada penegak hukum yang malah menghancurkan hukum.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Lebih daripada itu, kita tak habis pikir kenapa korupsi terus saja bersemai di negeri ini meski langkah penindakan dilakukan tiada henti. Harus kita katakan perang besar melawan korupsi yang dikobarkan negara belum menghasilkan efek jera.

Kenapa? Karena baru sebagian elemen bangsa yang menjadikan perang itu sebagai perang sungguhan, sedangkan yang lain masih menganggapnya sebagai perang-perangan. Di jajaran penegak hukum pun, masih banyak yang memosisikan perang melawan korupsi sebatas perang kata-kata. Di lapangan, tak hanya tak serius memerangi korupsi, mereka bahkan bersahabat dengan korupsi.

Hukuman bagi koruptor yang dari tahun ke tahun semakin ringan merupakan bukti tak terbantahkan bahwa sebagian penegak hukum masih memanjakan pelaku korupsi. Data Indonesia Corruption Watch menunjukkan rata-rata vonis buat koruptor pada 2015 hanya 2 tahun 2 bulan, turun ketimbang 2014 yang cuma 2 tahun 6 bulan.
Terdakwa korupsi yang divonis bebas juga meningkat pada 2015, yakni 68 orang, sedangkan pada 2014 yang dinyatakan tak bersalah 28 orang dan 16 orang pada 2013. Demikian pula tuntutan jaksa terhadap para perompak uang rakyat itu rata-rata sangat enteng.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Berulang kali melalui forum ini kita mengingatkan bangsa ini hanya bisa menang perang melawan korupsi jika seluruh elemen satu tekad dan kemauan untuk memberangus korupsi. Sehebat apa pun penindakan yang dilakukan akan sia-sia jika di pengadilan, jaksa dan hakim terus bermurah hati.

Akan semakin sia-sia pula jika petugas penjara tetap menganggap koruptor sebagai narapidana istimewa yang perlu diperlakukan istimewa.

Di tengah ancaman korupsi yang kian menjadi-jadi, sudah saatnya pula penyelenggara negara memberikan senjata lebih ampuh bagi penegak hukum. Hukuman minimal bagi pelaku korupsi yang saat ini cuma satu tahun, misalnya, tak mungkin lagi dipertahankan dan sudah saatnya diperberat.

Sudah saatnya DPR dan pemerintah merevisi ketentuan itu, ketimbang mereka terus bernafsu merevisi UU KPK. Perang melawan korupsi harus benar-benar total, total dalam hal perangkat hukum, total pula menjalankannya. Tanpa itu, jangan harap koruptor, calon koruptor, dan kroni-kroni mereka jera.(*)

============================================================
============================================================
============================================================