Oleh: ANDI IRMANPUTRA SIDIN
Founder Sidin Constitution
Inti dari putusan itu ialah bahwa pasangan calon tungÂgal dimungkinkan setelah ada upaya maksimal dan telah sempurna dilakÂsanakan oleh KPU menurut UUD 1945 bukan menurut Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) semata. Apabila usaha maksimal dilaksanakan, tapi ternyata tetap menghasilkan hanya satu pasanÂgan calon, KPU tidak boleh serta-merta menunda pemilihan kepala daerah di daerah tersebut pada pemilu serentak berikutnya.
Calon tunggal tersebut tetap harus dikonteskan guna pemenuÂhan hak pilih (memilih dan dipilih) warga negara, tapi bukan dengan pasangan calon kotak kosong, meÂlainkan dengan cara plebisit alias referendum meminta rakyat peÂmilih untuk menentukan pilihanÂnya `setuju’ atau `tidak setuju’. Apabila pemilih mayoritas meÂmilih `setuju’, calon tersebut akan ditetapkan menjadi kepala daerah terpilih, apabila mayoritas rakyat memilih `tidak setuju’, itu berarti rakyat sendiri telah menentukan untuk menunda mendapatkan keÂpala daerah definitif.
Pada saat itulah KPU harus mendeklarasikan penundaan peÂmilihan kepala daerah tersebut hingga pilkada serentak berikutÂnya. Putusan itu memang tidak bisa dikatakan sempurna, karena hakim konstitusi Patrialis Akbar memiliki pendapat berbeda. Argumentasi yang dibangunnya juga tidak bisa dianggap remeh dan sepicing mata.
Menurutnya, pilkada itu adalah pemilihan, yang berbeda denÂgan referendum. Pemilihan adalah pilihan yang dihidangkan lebih daripada satu subjek hukum alias pasangan calon, sedangkan referÂendum hanya menghidangkan satu subjek hukum.Hal itupun memang akan menimbulkan kekhawatiran tersendiri, karena jangan sampai nanti kekuatan pasar akan `memÂbeli’ semua kekuatan politik untuk menciptakan calon tunggal, karena dengan plebisit, analisis probabiliÂtas kemenangan akan lebih mudah guna kepentingan kekuatan pasar tersebut. Argumentasi itu memang sangat mencemaskan sebab jikalau itu terjadi, negara akan diperbuÂdak pasar dan tentunya sangkakala kematian NKRI.
Kekuasaan Tertinggi
Terlepas dari perdebatan-perdebatan yang muncul tersebut, referendum sudah menjadi kepasÂtian konstitusional untuk pilkada yang bercalon tunggal. Alasan yang dibangun MK memang rasional. MK masuk terlebih dahulu membeÂdah Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 bahÂwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.Bahwa kedaualatan meruÂpakan kekuasaan tertinggi rakyat, sehingga undang-undang harus menjamin pemenuhan kedaulatan itu dalam hal pemilihan kepala daerah.Artinya, desain konstituÂsional yang harus dibangun ialah tidak ada kata `tunda’ apabila saaÂtnya rakyat harus melaksanakan kedaulatannya, salah satunya ialah hak untuk memilih dan dipilih.
Dari konstruksi konstitusional itu MK kemudian `menyenggaÂmakannya’ dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, bahwa gubernur, bupati, wali kota dipilih secara demokratis.Frasa `dipilih secara demokratis’ se sungguhnya tiÂdak lain merupakan anak kandÂung kedaulatan berada di tangan rakyat menurut Pasal 1 UUD 1945. Artinya, ketika saatnya pengisian jabatan kepala daerah itu tiba, tiÂdak boleh ada kata tunda untuk pemenuhan kedaulatan itu unÂtuk memilih dan dipilih kecuali rakyat itu sendiri menundanya. Di sinilah kemudian kata `dipilih’ diÂtafsirkan secara cerdik oleh hakim bahwa `dipilih’ itu merupakan sebuah kontestasi, dan kontestasi secara demokratis artinya harus ada perlibatan hak rakyat untuk memilih dan dipilih.
Oleh karenanya, seandainya pun terjadi calon tunggal alias hanÂya satu pasangan calon dan semua calon yang mendaftar memang suÂdah dinyatakan tidak layak menuÂrut konstitusi, pilkada tidak dapat ditunda.Yang bisa menunda pilkada ialah rakyat sendiri melalui referenÂdum ketika mereka diberikan ruÂang kontestasi yang ternyata lebih banyak `tidak setuju’ terhadap calon kepala daerah tersebut untuk ditetapkan menjadi kepala daerah.
Sebagai catatan, calon yang dinyatakan tidak memenuhi syarat, tapi cara yang ditempuh tidak sesuai konstitusi, KPU tidak dapat sertamerta menetapkan sebagai calon tunggal. Apalagi jikalau ternyata pasangan calon tersebut sedang menempuh upaya hukum guna pemenuhan hak konstituÂsionalnya untuk dipilih.
Ambang Batas
Konstruksi MK itu memang menimbulkan pertanyaan beriÂkutnya, fenomena pilkada calon tunggal ini bukan hanya mungkin terjadi pada pilkada, melainkan bisa jadi pada pemilihan presiden. UUD 1945 memang tak pernah mau menuliskan mimpi buruk tentang calon tunggal pada pilÂpres tersebut, tapi hal tersebut tak mustahil terjadi.
Apalagi dalam pemilihan presÂiden tidak mengenal istilah calon perseorangan. Memang pada PeÂmilihan Presiden 2019 nanti juga akan diterapkan pemilu legislatif dan pemilu presiden secara serenÂtak, dengan seluruh parpol peserÂta pemilu legislatif juga merupakÂan peserta pemilu presiden.
Artinya, secara kalkulatif, pemilu presiden ini sudah tidak mengenal ambang batas parpol dan/atau gabungan parpol untuk dapat mengusulkan calon presÂiden. Semua parpol peserta peÂmilu dapat mengusulkan pasanÂgan calon presiden, artinya secara kalkulatif, probabilitas peluang untuk calon tunggal sangat kecil.
Namun, realitas politik ternyaÂta juga tak semudah itu, karena jangan sampai juga terdapat sosok capres yang kemudian memiliki popularitas dan elektabilitas yang sangat tinggi, tapi tidak ada parÂpol yang mau membuang energi untuk melawannya. Atau malah semua mendukungnya atau malah parpol yang nonpendukung memÂboikot tidak mau mengusulkan paÂsangan calon presiden.
Lalu bagaimana solusi konÂstitusionalnya? Apakah linear dengan pilkada seperti putusan MK kemarin? Tentunya, ini meÂnarik untuk dipolemikkan dan bisa jadi serupa namun tak sama. Saya sendiri belum tertarik untuk membahasnya, untuk kemudian menyenggamakan dengan putuÂsan MK itu. Yang pasti, kepastian konstitusional sudah ada mengeÂnai pilkada calon tunggal, terlepas setuju atau tidak, semua sistem pasti ada kekurangan dan kelebiÂhannya. (*)