Oleh: Gus Uwik
Anggota Devisi Politik DPP HTI

Banyak dari mereka mendatangi sekretar­iat Gafatar. Namun, sekretariat-sekretar­iat itu sudah kosong ditinggalkan penghuni dan pen­gurus Gafatar. Masyarakat sema­kin resah, khawatir salah satu anggota keluarganya ada yang terpengaruh paham Gafatar. Se­bab, dari pengakuan eks Gafatar, seseorang yang telah terpenga­ruh paham Gafatar, cenderung diam atau tidak mau mencerita­kan pahamnya kepada keluarga dekatnya. Namun, tiba-tiba men­cuat ternyata telah terpengaruh.

Isu Gafatar itu akhirnya anti klimaks dengan munculnya aksi pembakaran camp Gafatar di Mempawah oleh massa pada Se­lasa (19/1) silam. Warga eks Ga­fatar diusir agar meninggalkan Mempawah. Pemerintah akh­irnya memutuskan untuk memu­langkan warga eks Gafatar ke dae­rah asalnya.

Kapolri Jenderal Pol. Badro­din Haiti di DPR (25/1) men­gatakan Kepolisian tengah men­data eks Gafatar yang berada di Kalimantan Barat. “Tindak lanjut penanganannya melakukan pen­dataan dan memfasilitasi proses pemulangan eks Gafatar saat ini yang terdata di Kalimantan Barat sebanyak 4.010 jiwa, ter­diri dari 907 laki-laki, 632 perem­puan dan 2.471 anak-anak,” jelas Badrodin (Viva.co.id, 25/1).

Sebenarnya apa dan siapa Ga­fatar? Menurut Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Gafatar berawal dari gerakan Al-Qiyadah al-Is­lamiyah yang dipimpin Ahmad Mushadeq (DetikNews, 25/1). Tim Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem), yang terdiri atas sejumlah lembaga negara, melakukan investigasi untuk me­nyelidiki dugaan penyimpangan ajaran yang dilakukan Gafatar. “Kami telah meneliti kegiatan Ga­fatar selama sebulan terakhir dan kami menilai itu ajaran meny­impang,” tutur Wakil Ketua Tim Pakem Adi Toegarisman saat kon­ferensi pers di Kejagung, Kamis, 21 Januari 2016 (Tempo.co, 21/1).

Dari hasil investigasi tersebut, Pakem mendapatkan tiga alasan yang mendasari anggapan bahwa ajaran Gafatar menyimpang. Per­tama: Gafatar dinilai menyebar­kan ajaran Islam dan sejumlah agama lain dengan cara menyatu­kan berbagai agama menjadi satu kepercayaan. Kedua: Ga­fatar merupakan metamorfosis dari Komunitas Millah Abraham (Komar). Sebelumnya, organ­isasi tersebut juga merupakan metamorfosis dari organisasi Al- Qiyadah al-Islamiyah. Organisasi tersebut telah dilarang sejak 2007 dengan keputusan Jaksa Agung RI nomor: KEP-116/A/JA/11/2007 tentang Larangan Kegiatan Aliran dan Ajaran Al-Qiyadah al-Islami­yah di seluruh Indonesia yang didasarkan pada Fatwa MUI. Ke­tiga: Ajaran Gafatar mempercayai Ahmad Mushadeq sebagai Al-Ma­sih Al’Maw’ud, Mesias (juru se­lamat) yang dijanjikan menggan­tikan Nabi Muhammad saw. Jadi, jelas bahwa Gafatar adalah aliran baru yang sesat dan menyesat­kan. Sangat berpotensi dalam memecah belah kesatuan umat dan kerukunan umat beragama.

Pertanyaan menarik selan­jutnya adalah apa gerangan yang menjadikan seseorang rela atau tertarik dengan Gafatar? Bu­kankah pahamnya tidak masuk dalam akal sehat manusia? Toh begitu ternyata banyak juga para pengikut Gafatar yang berpendi­dikan tinggi. Seperti dokter, sar­jana, dll.

Ternyata, banyak faktor yang membuat orang bergabung den­gan Gafatar. Di antara faktor yang menonjol adalah masih lemahnya pengetahuan masyarakat ten­tang Islam. Akibatnya, orang bisa terpengaruh dengan Gafatar dan ajarannya meski menyimpang dari Islam.

Faktor lain adalah kondisi dan kesulitan ekonomi yang diderita rakyat. Mayoritas pen­gungsi eks Gafatar yang dipulang­kan melalui Pelabuhan Tanjung Emas Semarang mengaku moti­vasi mereka bergabung dengan ormas tersebut hanya karena in­gin bertani. Untuk itu sebagian dari mereka rela menjual rumah dan kendaraan agar bisa memi­liki modal untuk sewa lahan dan menyokong kehidupan di Mem­pawah, Kalimantan (Liputan6. com, 25/1).

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Kapolres Lamongan AKBP Trisno Rachmadi menyebutkan pengikut Gafatar yang menjadi sasaran adalah warga pelosok desa dan rata-rata dengan kondi­si ekonomi relatif lemah. Mereka dijanjikan ditampung di rumah-rumah dengan diberi jaminan ke­cukupan finansial.

Namun dari sekian faktor, yang paling berpengaruh adalah karena pemerintah tidak tegas. Padahal sejak awal pemerin­tah telah mencium indikasi peny­impangan Gafatar. Andai pemer­intah tegas sejak awal, tentu tidak perlu terjadi kehebohan sep­erti saat ini. Gafatar sudah sejak dari awal bisa ‘diluruskan’ dan kembalikan ke dalam jalan yang benar. Tidak perlu sampai ada reaksi dari masyarakat hingga jatuh kerugian materiil yang tidak sedikit. Pemerintah seolah-olah menunggu reaksi dan jatuh ko­rban, baru bertindak. Padahal, semua kita sepakat bahwa untuk permasalahan agama dan aliran sesat, hanya pemerintah yang bisa menyelesaikan.

Kemunculan Gafatar dan berbagai aliran sesat lainnya— termasuk berbagai penistaan terhadap Islam dan simbol-sim­bolnya—menunjukkan bahwa neg­ara tidak sungguh-sungguh men­jaga akidah Islam. Hal itu karena negara saat ini dibangun di atas asas sekularisme yang memisah­kan urusan negara dengan agama. Urusan agama dan keyakinan di­anggap sebagai urusan pribadi. Negara tidak boleh turut campur. Karena itulah aliran sesat hanya akan diproses jika ada pengaduan dari masyarakat atau jika sudah menimbulkan masalah serius di masyarakat. Kalaupun dilakukan penindakan maka itu bukan un­tuk menjaga dan melindungi aki­dah Islam, tetapi untuk menjaga keamanan dan kestabilan.

Ditambah lagi kampanye sesat yang dilancarkan oleh kaum lib­eral yang berlindung di balik jar­gon ‘beragama atau berkepercay­aan termasuk hak asasi’. Memang benar sebagai hak dasar, namun jangan lupa, bahwa semua orang juga mempunyai hak dasar agar agamanya tidak dicampur aduk dengan agama lain apalagi dis­esatkan. Dengan demikian, tidak sembrono mengambil dalih den­gan berlindung dari jargon kebe­basan beragama.

Logika HAM ini dan kampa­nye yang dilakukan oleh kaum liberal, kadang-kadang membuat pemerintah ‘keder’. Takut di­katakan tidak toleran atau me­langgar HAM. Apalagi sampai ‘di­hujat’ oleh pihak internasional. Akhirnya pemerintah ‘gamang’ dalam mengambil sikap dan tin­dakan. Walhasil yang muncul adalah reaksi tatkala masalah sudah ada tuntutan dan korban. Tidak bersikap preventif sebelum semuanya berkembang, ada ko­rban dan banyak yang telah tersesatkan.

Persoalan Gafatar dan ali­ran sesat lainnya harus segera diselesaikan dengan tuntas. Jika terbukti menyimpang dan sesat, Gafatar harus segera dilarang, dibubarkan organisasinya dan seluruh aktivitasnya dihentikan. Warga eks Gafatar harus dibina agar kembali pada Islam (rujû’ ilâ al-haqq). Kepada mereka har­us dijelaskan dan dibantah peny­impangan-penyimpangan ajaran Gafatar. Akidah dan ajaran Is­lam yang benar harus dijelaskan kepada mereka dengan disertai argumentasi dan bukti, dengan mengaktifkan akal pikiran mere­ka dan melibatkan perasaan mer­eka, sehingga akidah dan aja­ran Islam itu tertanam kuat pada diri mereka. Paham campur aduk agama harus diluruskan. Bahwa ini adalah tidak benar.

Mereka juga harus difasilitasi dan dibantu untuk bisa memban­gun kehidupan yang baru. Harta benda mereka yang ditinggalkan di Kalimantan harus dikemba­likan kepada mereka dan tidak boleh dirampas oleh siapapun termasuk oleh negara.

Para pengurusnya dan yang menyebarkan ajaran yang meny­impang itu harus ditindak dan dihukum. Penyimpangan aja­ran mereka dengan tetap men­catut Islam jelas merupakan penistaan terhadap Islam. Jika terbukti, mereka harus dihukum berat. Tidak menutup kemungki­nan di dalam operasi organisasi ini juga terjadi eksploitasi eko­nomi terhadap orang-orang yang terjerat bergabung di dalamnya.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Selain itu, dalam jangka panjang harus diusahakan agar masalah seperti itu tidak terus muncul dan berulang. Problem mendasar yang menjadi faktor terulangnya masalah ini adalah karena negara tidak berperan menjadi penjaga akidah Islam. Sebabnya, negara saat ini diban­gun di atas asas sekularisme, pe­misahan agama dari negara dan pengaturan kehidupan.

Hanya jika negara dibangun di atas landasan akidah Islam dan menerapkan syariah Islam, ma­salah aliran sesat, penyimpan­gan dari Islam dan penistaan terhadap Islamtidak akan mun­cul. Dalam perspektif Islam, salah satu tugas utama pemer­intah adalah membina, menjaga dan melindungi akidah umat dari segala bentuk penyimpangan, pendangkalan dan pengaburan serta penodaan. Negara wajib secara terus-menerus membina keislaman seluruh rakyat. Negara wajib mengajarkan dan mendidik masyarakat tentang akidah dan ajaran Islam baik melalui pendi­dikan formal maupun informal. Bahkan hal itu menjadi salah satu tugas utama negara menurut Is­lam. Ketika akidah umat kuat dan mereka paham ajaran Is­lam yang benar, mereka tidak akan terjerumus dalam ajaran sesat.

Di sisi lain, penerapan syari­ah Islam dalam ekonomi akan bisa mewujudkan pemerata­an kekayaan secara adil. Me­lalui hukum-hukum Islam ten­tang kepemilikan harta, tentang pengembangan kepemilikan dan pengembangan harta serta hu­kum tentang pendistribusian kekayaan di tengah masyara­kat, Islam akan mampu mewu­judkan pemerataan kesejahter­aan kepada seluruh rakyat. Jika masyarakat sejahtera, orang ten­tu tak akan terjerumus ke dalam aliran sesat akibat faktor eko­nomi.

Dari sisi penegakan hu­kum, syariah akan bisa meng­hentikan pelaku penistaan ter­hadap Islam dan penyebar aliran sesat sehingga mereka kembali pada kebenaran dan jera tidak akan melakukannya lagi. Para ulama dan fukaha sepakat bahwa hukuman bagi penghina Islam adalah huku­man mati jika dia tidak mau ber­tobat. Jika dia bertobat maka dia tak dihukum mati, tetapi tetap bisa dijatuhi sanksi sebagai ‘pela­jaran’ kepada dia sesuai dengan ketetapan khalifah atau qadhi, dengan memperhatikan tingkat penghinaannya. Hukuman yang tegas itu akan bisa memberi efek jera kepada pelakunya dan akan mencegah orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Penyimpangan dan kesesatan bisa menyebabkan pelakunya murtad/keluar dari Islam. Misal­nya, dengan menolak kewajiban shalat lima waktu, puasa, Haji, dsb; meyakini ada nabi setelah nabi Muhammad saw; meya­kini masih ada wahyu setelah al-Quran dan sebagainya. Pelaku­nya—jika tidak mau bertobat kem­bali pada Islam dan meninggal­kan keyakinan itu—dihukum mati. Rasul saw. bersabda: Siapa yang mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah (HR al-Bukhari, an-Nasai, Abu Dawud, at-Tirmid­zi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Semua itu akan bisa menun­taskan masalah aliran sesat yang tidak bisa dituntaskan dalam sistem saat ini. Semua itu hanya bisa terwujud jika sya­riah Islamiyah diterapkan se­cara menyeluruh dan formal melalui kekuasaan negara. Hal itu hanya bisa diwujudkan di bawah sistem pemerintah­an Islam, yaitu Khilafah Rasy­idah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Itulah yang harus diperjuangkan oleh semua komponen umat Is­lam agar segera terwujud nyata di tengah kehidupan. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. (*)

============================================================
============================================================
============================================================