Oleh: AHMAD AGUS FITRIAWAN
Guru MTs. Yamanka Kec. Rancabungur Kab. Bogor
Jangankan untuk sebuah kekalahan dalam mereÂbut kekuasaan, “mengaÂlah†untuk sesuatu yang lebih bermakna bagi kelangsungan sebuah kehidupan pun, seringkali kita tidak siap.
Kalau perlu, sebuah kehiduÂpan tak apalah harus berhenti, asal jangan ada istilah kalah dalam kamus perjalanan hidup kita.
Karena itu, kalah dalam dunia politik mengandung makna dan tafsir sungguh beragam dengan implikasi tak bisa kita prediksiÂkan. Karena itu, seringkali kita membuat tafsir yang rancu untuk memaknai akibat sebuah pertaÂrungan politik.
Sejatinya, kekalahan dalam konteks perebutan kekuasaan meÂmiliki implikasi yang sungguh tak terjangkau kata-kata.
Seseorang yang mengalaÂmi kekalahan dalam perebuÂtan kekuasaan, maka ia sejatinya telah terpental dari tempatnya berpijak. Ia telah kehilangan segÂala-galanya, karena ia telah juga mempertaruhkan segala-galanya.
Kalau seseorang bersaing memperebutkan kekusaan denÂgan modal dana, tenaga, atau duÂkungan suara yang besar, strategi yang benar, taktik yang tepat dan kiat yang terukur, lalu karena satu dan lain hal ia kalah, maka seÂjatinya ia telah kehilangan semua modalnya.
Yang paling mengerikan adalah kalau ia kehilangan modal pengaruh dan kepercayaan dari para pendukungnya. Kiamat keÂcillah yang bakal dia terima.
Untuk sebuah pertarungan politik, deretan modal tadi sesÂungguhnya kuranglah memadai. Perjuangan politik tentu haruslah dilakukan dengan pendekatan politik pula. Nakal-nakallah seÂdikit! Kalau tidak, maka sebaiknya Anda berjuang untuk menunggu kotak amal saja!
Karena tabiatnya yang “nakal-nakal sedikit†itulah, maka perÂtarungan di dunia politik kadang sarat perjudian, penuh premanÂisme, dan kadangkala melahirkan political assasination. Berharap fairness, janganlah bermimpi.
Fairness, kata sebagian orang, hanya bisa ditemukan di dunia olahraga. Hanya di beberapa caÂbang, karena beberapa cabang olahraga tertentu justru membuÂtuhkan politik tertentu pula unÂtuk meraih poin. Begitu petinju kawakan Oscar De La Hoya dikanÂdaskan oleh Manny Pacquiao dari Filipina, maka pemilik julukan The Golden Boy itu disebut “loosÂingâ€; kehilangan. Ia kehilangan gelarnya dan ia kehilangan moÂmentumnya.
Seharusnya demikian pula halnya dengan mereka yang berÂtarung dalam memperebutkan kekuasaan tetapi kandas, maka sejatinya ia telah kehilangan.
Kehilangan sangat banyak, yang sepatutnya sudah diperÂhitungkan jauh-jauh hari. Ia keÂhilangan harta, dukungan, keÂpercayaan, kesempatan, tenaga, momentum dan banyak bentuk kehilangan lainnya.
Untuk mereka yang tidak siap, tentu perlu kita tunjukkan bahwa kehilangan kesadaran jauh lebih mengerikan. Sehingga untuk itu, tak perlulah menyesali nasib kareÂna menjadi seorang pecundang.
Pecundang kalau masih memiÂliki mental fairness, maka ia maÂsih memiliki modal tersisa untuk tetap menjadi seorang manusia.
Kekalahan adalah kemenanÂgan! Pernyataan ini mungkin terdengar aneh dan irrasional. Tetapi faktanya memang sering demikian. Kekalahan dalam Pilkada misalnya, akan membawa kemenangan, kalau setiap kekalaÂhan selalu diterima dan disikapi dengan lapang dada serta dijadiÂkan sebagai momentum introsÂpeksi dan kontemplasi.
Bagi umat muslim cara meÂnyikapi kekalahan terdapat dalam Al-Qur’an. Surah as-Syarh ayat 1-8, menjadi isyarat dan tuntunan meÂnyikapi kekalahan.
Ayat Pertama (Bukanlah Kami telah melapangkan dadamu (MuÂhammad); memberikan pesan dan saran agar siapa pun itu, dan apa pun jabatannya, agar jika berkompetisi lalu kalah atau menang, haruslah berlapang dada. Yang menang berlapang dada tidak menyombongkan diri, dan terutama untuk yang kalah harus berlapang dada menerima kekalahan.
Ayat Kedua dan Ayat Ketiga (Dan Kami pun telah menurunkan bebanmu darimu; yang memberÂatkan punggungmu); suatu komÂpetisi dalam pilkada telah menyÂita waktu, biaya, dan tenaga yang tidak sedikit, dimana semua itu adalah sebuah beban yang memÂberatkan.
Maka jika Allah telah memÂberikan keputusan dengan memenangkan salah satu pihak, meski dengan selisih yang tiÂpis sekalipun, haruslah mampu menerima kekalahan itu, serta janganlah kekalahan menjadi suatu beban baru yang memberÂatkan, sebaliknya malahan segala upaya yang telah dicapai dalam rangka berkompetisi adalah beÂban yang telah dilepaskan Allah dengan memenangkan pihak lain.
Ayat Keempat (Dan Kami tinggikan sebutan (nama)-mu bagimu); jika ingin nama dan sebutan ditinggikan Allah, maka bersikaplah rasional dan proporÂsional dalam menerima kekalaÂhan itu. Mampu mengakui keleÂbihan orang lain dibanding diri sendiri. Mungkin ada kelebihan pihak yang menang terhadap piÂhak yang kalah di mata Allah SWT.
Ayat Kelima dan Ayat Keenam (Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan; Sesungguhny bersama kesulitan ada kemudahan); niscaya jika kita mampu menerima kekalahan itu pada saat ini dan tidak ngeyel dengan mencari-cari alasan denÂgan menuding bahwa seharusnya diri kita yang menang, maka Allah akan memberikan kemudahan, baik itu dalam hal memudahkan diri kita dalam menerima kekaÂlahan itu dengan ikhlas, maupun tidak menutup kemungkinan memenangkan kita dalam komÂpetisi periode berikutnya atau dalam urusan yang lainnya.
Ayat Ketujuh (Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain); tatkala kompetisi telah usai, tugas baru menanti, bagi pihak yang menang terbentang tugas baru yang tidak mudah diselesaikan.
Terpenting adalah bagi pihak yang kalah, tugas baru menanti pula, baik itu mempersiapkan diri untuk tampil lebih baik pada kompetisi periode berikutnya nanti, atau bisa turut membantu menyumbangkan tenaga memÂbantu pihak yang menang melakÂsanakan programnya, agar terÂcapai hakikat berkompetisi yang sehat, yakni kemenangan bagi semua. Bukannya mencari-cari jalan agar dapat menang setelah dinyatakan kalah, padahal komÂpetisi telah usai, dan seharusnya menyelesaikan tugas baru lagi, tinggalkanlah yang sudah berlalu.
Ayat Kedelapan (Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berÂharap); tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali kepada Allah. Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’uun. Karenanya dalam rangÂka berkompetisi, terutama setelah menerima hasil kompetisi itu, berserah dirilah dan hanya berÂharap kepada Allah.
Kalah dalam suatu kompetisi, maka itulah yang terbaik dari AlÂlah bagi pihak yang kalah, terlebih lagi jika disadari bahwa apa pun yang ada di dunia ini, yang kita kejar mati-matian, baik itu harta, jabatan, dsb. Tidak akan dibawa mati. Yang akan ikut menemani kita ke akherat hanyalah amal perbuatan kita. Wallahu’alam. (*)