Oleh: Febriana Firdaus
wartawan Rappler Indonesia, fokus membahas isu korupsi, HAM, LGBT, dan buruh migran.

Tahun ini menjadi ta­hun yang tak jauh beda dengan tahun-tahun sebelumnya, minoritas sekali lagi menjadi konsumsi media dan so­sial media. Mulai dari penyegelan gereja, LGBT (Lesbian, Gay, Bisek­sual, Transgender), Gafatar (Ger­akan Fajar Nusantara), hingga Ah­madiyah.

Bedanya, tahun 2016 baru berjalan 1 bulan lebih 6 hari, tapi topik minoritas ini seperti virus yang melanda dalam 1×24 jam, menyebar dengan luas dan me­nimbulkan reaksi yang cukup mengkhawatirkan, mulai dari uja­ran hingga ekspresi kebencian.

Ujaran kebencian itu bisa kita temukan di twitter, “Kamu homo ya kok dukung homo?” atau di lingkungan tempat tinggal kita: sweeping kaum LGBT, pemba­karan pemukiman pengikut Ga­fatar, hingga pengusiran jamaah ahmadiyah dari tempat tinggalnya di Bangka Belitung.

Hingga saat ini, kerangka ber­pikir yang saya pahami dari kaum yang menghendaki kaum minori­tas untuk tunduk pada peraturan mayoritas adalah eksistensi mi­noritas dianggap sebagai ancaman sehingga perlu dievaluasi, nilai-nilai yang dianut minoritas mena­brak ‘moralitas’ masyarakat pada umumnya, hingga harus dibumi­hanguskan dari muka bumi ini. Ingat peristiwa Syiah di Sampang?

Mengapa kelompok minoritas yang rentan ini malah menjadi sasaran? Jawabannya tentu saja kekhawatiran atau perasaan tidak aman dari kelompok mayoritas atau bahasa gaulnya insecure.

Seperti anak muda, masyara­kat kita masih labil menyikapi perbedaan. Masih ada perasaan cemburu yang tak berdasar pada golongan yang lain.

Padahal jika kita mau men­gakui, tak ada orang yang ingin menjadi minoritas. Mereka hanya ingin secara sadar memilih menjadi seorang syiah, lesbian, gay, ahmadi­yah, gafatar, sesuai dengan keya­kinan masing-masing. Belakangan mereka sadari bahwa pilihan keya­kinan itu tidak populer, karena itu mereka menjadi minorias.

Tapi meski tidak populer teta­pi mereka rela memeluk apa yang mereka yakini. Apa bukti bahwa mereka rela untuk memeluk keya­kinan itu?

Dari wawancara saya dengan Mubaligh Jamah Ahmadiyah Indo­nesia wilayah Bangka Belitung Sya­fei Muhammad, beberapa anggota Ahmadiyah memutuskan menjadi bagian dari perkumpulan tersebut setelah mereka bermimpi. Mimpi itu yang dianggap sebagai petun­juk atau hidayah. “Mimpi itu tidak bisa direkayasa, itu alam bawah sadar,” kata Syafei pada saya.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Sebagian, kata Syafei, me­nyatakan kerelaannya menjadi pengikut Ahmadiyah setelah belajar sendiri apa itu aliran yang dibawa oleh Mirza Ghulam Ahmad tersebut.

Jamaah Gerakan Fajar Nusan­tara juga demikian. Ketika berita mengenai hilangnya Rica Tri Han­dayani di Sleman pada 30 Desem­ber 2015 menjadi tajuk utama di media nasional selama beberapa hari. Perempuan yang berprofesi sebagai dokter itu bersama anaknya akhirnya ditemukan pada Senin, 11 Januari lalu oleh tim dari Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ke mana Rica pergi selama lebih dari sepekan itu? Ia diduga bergabung dengan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).

Publik pun ramai-ramai me­nyoroti organisasi. Media juga ikut meramaikan dengan mengabar­kan bahwa satu-per satu warga negara Indonesia ‘menghilang’

Tapi sesungguhnya Rica tidak menghilang melainkan hijrah ke markas Gafatar di Kalimantan Barat. Hijrah itu dianggap sebagai salah satu tanda persetujuan bah­wa mereka ingin hidup bersama orang-orang yang memiliki keya­kinan sama dengan mereka.

Komunitas LGBT juga demiki­an. Anda bisa membaca tulisan seorang kolumnis gay di Rappler, Amahl S Azwar, ia menuturkan bagaimana ia mengaku sejak awal sudah tak tertarik pada perem­puan.

“Sejujurnya, saya sama sekali tidak punya masalah dengan orientasi seksual saya. Saya sudah mengetahui diri saya “berbeda” sejak masih kecil, sudah seperti ini sedari dulu, dan sama sekali ti­dak ada “trauma” yang membuat saya menjadi tidak tertarik dengan perempuan. I am what I am,” katanya.

Jika seorang ahmadiyah, gafa­tar, atau gay sudah menetapkan pilihan hidup mereka, apakah itu berarti mereka tidak berhak menikmati yang mereka yakini seperti Anda? Tentu saja menurut saya bisa.

Hanya saja pilihan yang tidak populer ini membuat ruang gerak mereka terbatas, sehingga tak bisa mengekspresikan kesukaan hing­ga kebencian seperti Anda dan saya, sebagai bagian dari kelom­pok mayoritas.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR

Tapi mengutip dari Aan Ansh­ori, Dewan Ahli Ikatan Sarjana NU wilayah Jombang, yang juga ang­gota Jaringan Islam Antidiskrimi­nasi ( JIAD) Jawa Timur, “Yang na­manya benci, ya, tidak boleh. Kita harus melakukan sesuatu dengan ramah santun, tidak menimbul­kan kebencian. Poinnya jangan membenci sebelum memahami, apalagi lebay menuntut negara melakukan diskriminasi.”

Dewasa itu pilihan, termasuk dewasa menyikapi perbedaan. Ke­bencian seharusnya tidak menutu­pi hati nurani kita, bahwa ada hak-hak mereka yang seharusnya kita penuhi. Seperti hak untuk men­jalani apa yang mereka yakini.

Karena tidak ada jaminan kelak kita akan tetap menjadi mayoritas, suatu hari bisa saja Indonesia di­penuhi oleh mereka yang sudah lelah dengan repotnya beragama di tanah air, lelahnya mendengar fatwa dari Majelis Ulama Indo­nesia, ditambah rentetan konflik antara umat beragama di daerah yang berkepanjangan. Bisa saja.

Agama bisa kehilangan peso­nanya jika kita sebagai umatnya ti­dak menunjukkan betapa bijaknya seorang yang beragama, betapa adilnya seorang imam menyikapi perbedaan syiah dan sunni, dan betapa rukunnya seorang muslim dan nasrani di satu komplek tanpa perlu segel-menyegel gereja.

Kita harusnya merawat sikap ramah pada perbedaan itu, bukan­nya semakin hari semakin keras dan brutal menyikapi perbedaan.

Ada baiknya merenungi kata-kata Menteri Agama Lukman Ha­kim Saifuddin, “Dalam melihat suatu persoalan, tidak tunggal cara kita memahaminya, karena ulama-ulama kita melihat dari berbagai perspektif. Maka sesuatu yang meskipun tunggal, bisa di­maknai beragam. Di sinilah ses­ungguhnya berkah dari Tuhan menciptakan keragaman itu.”

“Bahwa dengan keragaman tersebut kita bisa mempunyai pili­han, sesuai yang kita percaya, dan masing-masing dari kita tidak me­miliki otoritas untuk menyalahkan pilihan yang lain.”

Mungkin tulisan saya hari ini masih setara dengan ‘mimpi di siang bolong’ tapi semoga kelak jika anak-cucu kita membacanya, mereka telah memasuki masa di mana perbedaan agama, keyaki­nan, dan orientasi seksual tak lagi menjadi duri dalam kehidupan sehari-sehari.

sumber: Rappler.com

============================================================
============================================================
============================================================